Rabu, 30 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Pesona Buku dalam Warna-Warni Kehidupanku

Oleh : Nola Sangkuntala

Kalau ada yang menanyakan kepadaku, kegiatan apa yang paling menyenangkan sedunia, pasti aku akan spontan menjawab : membaca. Sebentar, jangan buru-buru menjawab, benar nih, bukan tidur, makan, atau belanja, itu juga aktivitas yang menyenangkan lho, terutama buat wanita? Tidak lah, aku yakin karena biasanya aku lebih pilih memundurkan waktu tidurku untuk menyelesaikan buku yang sudah sekian persen dibaca, sering lupa makan kalau sudah tenggelam dengan kisah-kisah di buku yang aku baca, bahkan rela mengurangi anggaran belanja demi segerobak daftar buku-buku yang sudah antri ingin dibeli.

Aku benar- benar bersyukur Allah mengaruniaiku minat baca yang luar biasa. Kalo dikilas balik, kadang heran juga, kenapa aku begitu menikmati segala sesuatu yang berbau-bau baca dan buku. Seingatku, nenekku dulu memang sering bercerita dongeng anak-anak saat aku dan kedua adikku menginap di kediamannya, ibuku juga termasuk rajin membacakan cerita-cerita di majalah bobo pinjaman (saat itu kami tidak mampu membeli), dan kami bertiga mendengarkan cerita itu sambil tidur berdesak-desakan di satu bantal. Hmmm, kenangan yang menyenangkan, menurutku. Aku juga ingat benar, salah satu guruku di kelas 3 SD, pada hari-hari tertentu, pas di ujung jam pelajaran, mendongengi kami dengan cerita-cerita yang menakjubkan. Asyik sekali rasanya, kami sekelas yang biasanya hingar bingar, bisa duduk manis dengan mulut terkunci, mendengarkan dengan rasa ketertarikan yang besar, bahkan rela pulang sedikit lebih lambat daripada cerita tidak usai didongengkan, meskipun terkadang kami harus pulang dengan rasa penasaran luar biasa saat cerita dinyatakan bersambung ke episode berikutnya yang berarti harus menunggu kesempatan di lain hari.

Untunglah, meskipun dengan kondisi keuangan yang sangat pas-pasan cenderung kurang, orangtuaku mampu menyekolahkan kami di sekolah yang memiliki fasilitas perpustakaan sangat memadai. Ada dua perpustakaan dengan ruangan cukup lapang, meja-meja yang tersekat rapi, serta koleksi buku-buku yang lengkap. Aku selalu merasa, perpustakaan merupakan surga bagiku, dan tidak mungkin meluangkan sedikit waktu istirahatku tanpa menengok kesana. Rasanya tidak ada puas-puasnya berkelana dari satu buku ke buku yang lain. Serunya lagi, diantara padatnya jadwal pelajaran selama seminggu, selalu terselip satu mata pelajaran resmi dengan judul ”Perpustakaan”, artinya, sekolahku mewajibkan setiap kelas mengunjungi perpustakaan selama satu jam pelajaran sesuai jadwal yang sudah disusun, dan murid-murid dibolehkan meminjam buku untuk dibawa pulang. Aku benar-benar menghargai kebijakan ini, mau tidak mau, setiap anak, dalam seminggu harus ke perpustakaan, harus bersentuhan dengan buku-buku, suka maupun tidak suka.

Bersekolah di sekolah yang muridnya rata-rata golongan menengah ke atas (aku tidak termasuk kategori ini), ternyata juga menguntungkan bagiku. Masa kecilku yang dihimpit kesulitan finansial kelas wahid, tentu saja menempatkan buku sebagai komoditi larangan yang tidak layak dibeli. Sebenarnya sih bukan tidak layak dibeli, tapi tidak akan pernah mampu terbeli, karena harganya tidak murah, dan kami lebih membutuhkan benda yang bisa mengenyangkan perut daripada memuaskan batin. Nah, punya teman-teman kaya, ternyata cukup menjadi solusi untuk memenuhi hasrat membacaku yang terus menerus bergelora. Mereka, yang kebetulan terlahir dari orang tua dengan pendapatan lebih dari cukup, biasanya dijejali dengan beraneka bacaan, buku-buku berwarna warni, serial-serial top saat itu, komik-komik menawan hati, dan tentu saja merupakan berkah luar biasa bagiku karena aku bisa meminjam kapan saja aku mau. Dari merekalah aku kenal dongeng-dongeng seperti Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju, juga buku-buku Pustaka Cerita Gramedia, novel-novel Enid Blyton seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Malory Towers, atau komik serial Nina, Smurf, Asterix, Tintin, dan masih banyak lagi.

Syukurlah, orang tuaku tidak pernah melarangku membaca, sekalipun itu buku komik, tetapi tentu saja dengan pengawasan bahwa prestasi belajarku tidak pernah mengalami penurunan. Memang sih, hobi membacaku tidak lalu secara otomatis membuatku menjadi orang yang cerdas sepanjang masa. Tapi setidaknya, kebiasaan membaca telah terbukti mempermudah hidupku. Saat aku kecil, buku merupakan benda ajaib yang bisa membuatku melupakan kesedihan-kesedihan, membuatku berani bermimpi dan selalu berharap bahwa esok hari pasti keadaanku akan membaik seperti cerita dan dongeng di buku, asal aku mau berusaha sekuat tenaga. Aku tidak pernah mengalami kesulitan saat pelajaran mengarang, yang biasanya jadi momok bagi siswa lain. Bahkan pertanyaan pertama yang diajukan teman SDku setelah sekian tahun tidak bertemu dan akhirnya bisa bertegur sapa lagi lewat facebook adalah apakah aku masih jago mengarang seperti dulu. Aku jadi geli, padahal sebenarnya waktu dulu itu aku bukannya mengarang, tetapi menceritakan kembali dongeng-dongeng yang pernah aku baca, meskipun memang sih karangan esayku tentang sekolah yang bersih dan sehat waktu jaman SD sempat memperoleh juara ketiga pada lomba porseni tingkat propinsi. Lumayan juga ya, bisa mengharumkan nama sekolah.

Jaman kuliah, aku juga sangat terbantu dengan kebiasaanku membaca. Sekian banyak laporan-laporan praktikum yang harus aku buat dengan tenggat waktu yang bisa bikin gila, alhamdulillah selalu bisa terselesaikan dengan hasil yang baik, nilai yang cukup bagus, karena aku tidak pernah mengerjakan asal-asalan, comot sana sini dari laporan kakak tingkat. Yang ada, aku rajin ke perpustakaan daerah, mencari-cari buku yang berhubungan, dan membuat intisari dari buku-buku tersebut, sampai jadi entah berapa rangkuman buku ala aku yang masih tersimpan saat ini. Kapan saja butuh bahan, aku membuka-buka lagi dari rangkuman buku yang ada. Kadang memang menjemukan berkubang dengan buku-buku usang di perpustakaan, untunglah dari kecil aku sudah suka buku, sehingga tidak terlalu terganggu dengan keharusan ini, meskipun kalo boleh memilih, aku pasti lebih suka meninggalkan buku-buku tebal itu dan beralih ke komik-komik manga yang ngetop jaman itu. Jangan berpikir kebiasaan membaca hanya berguna saat kita masih jadi anak sekolahan. Setelah bekerja, dan kebetulan aku bekerja di bidang yang agak menyimpang dengan latar belakang pendidikanku, satu-satunya cara belajar tanpa perlu merepotkan orang lain dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kadang bikin malu, adalah rajin membaca dan mencari informasi lewat literatur-literatur yang ada. Bedanya, sekarang yang aku baca tidak harus benar-benar dalam bentuk buku, karena fasilitas internet memudahkan semua hal, tapi intinya tetap sama, yaitu membaca.

Sebagai pencinta buku, pastinya aku juga selalu ingin menularkan hobiku itu ke orang lain. Rasanya kok sayang sekali kalo sampai ada orang yang tidak sempat mengetahui indahnya kisah-kisah yang sudah mempesonaku. Begitu juga yang aku inginkan untuk kedua jagoan kecilku yang baru berumur 3 tahun dan 2 tahun. Tapi aku tidak pernah memaksakan ke anak-anak untuk harus jadi orang yang suka membaca. Aku hanya memfasilitasi dan memberikan contoh. Aku dan suami yang kebetulan juga suka membaca, menyediakan satu area khusus untuk menempatkan dua rak buku yang sarat dengan berbagai buku. Kami rajin membelikan mereka buku-buku, bahkan sampai berburu buku-buku masa kecilku yang saat ini masih dijual dalam kondisi bekas sekalipun. Kemudian membacakannya kapan saja mereka minta, dan kapan saja kami ada waktu luang. Mereka sangat tertarik dengan buku-buku yang penuh aneka warna, meskipun kadang kisahnya sangat standar. Anakku yang sulung bahkan sudah bisa menceritakan kembali beberapa buku anak-anak karangan Clara Ng dengan satu kalimat per halaman saat masih berusia kurang dari 2 tahun, saking seringnya minta dibacakan buku tersebut. Sementara anakku yang kedua, ternyata lebih suka lagi dengan buku, dalam sehari entah berapa kali ia mengobrak-abrik rak buku, memintaku atau suami, bahkan kakek, nenek dan tantenya untuk membacakan, dan saat semua orang sibuk, dia akan duduk sendiri, membuka halaman demi halaman, dan mengocehkan cerita-cerita menurut versinya. Kadang ia minta kakaknya yang mendongeng, dan pasti terdengar celotehan2 menggemaskan dari mereka berdua yang sama-sama belum bisa membaca, tapi sok tau.

Contoh paling nyata yang bisa mereka lihat tentang efek nikmatnya membaca, tentu dari kita sebagai orang tua. Mereka sangat terbiasa melihatku membaca novel setebal bantal sambil mengasuh mereka, menemani mereka bermain, atau saat mereka tidur dan tiba-tiba terbangun di tengah malam. Mereka paham mama dan papanya suka membaca, meskipun dengan jenis bacaan yang berbeda, dan biasanya mereka suka meniru. Satu lagi yang bisa mereka nikmati dari hobiku membaca, aku memiliki satu blog yang membahas buku-buku yang pernah aku baca, belum terlalu banyak sih yang dibahas, tetapi mereka menyadari kehadiran blog itu meskipun belum bisa membaca, dan hanya bisa menikmati foto-foto buku yang mereka kenal, sering tiba-tiba mereka bilang, ”Buka laptop, Ma, mo liat buku mama yang ada di komputer”.
Usaha mengenalkan dunia baca kepada mereka tentunya sangat terlalu dini untuk dilihat hasilnya. Mereka masih akan terus berkembang dan mengalami perubahan minat seiring pertumbuhan fisik dan mental mereka. Tapi setidaknya saat ini kami berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka secara seimbang, baik buku maupun mainan, bahkan film anak-anak bermutu (meskipun ternyata mereka tidak atau belum menyukai kegiatan menonton, mau tak mau aku ikut bersyukur akan hal ini), dan yang paling penting kami tak lupa berusaha memenuhi kebutuhan mereka terhadap waktu kebersamaan serta perhatian dari kedua orang tuanya. Aku dan suamiku hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka seperti dongeng-dongeng masa kecilku yang selalu berakhir bahagia.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel ”Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note : gambar dipinjam dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar