Rabu, 16 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Mendongeng Mengalihkan Perhatian Anak dari Televisi

Oleh: Kahar S. Cahyono

Saya bersorak. Gembira sekali rasanya. Betapa tidak, kami menjuarai lomba mendongeng yang diselenggarakan Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA) Kabupaten Serang untuk kategori kelompok. Sepanjang perjalanan pulang, tidak henti-hentinya saya memandangi piala. Penuh rasa syukur dan luapan rasa bahagia.

Kebiasaan mendongeng yang kami lakukan kepada anak didik Raudhatul Athfal (setingkat TK) setiap Jum`at pagi merupakan pelajaran yang paling diminati. Anak-anak duduk melingkar di halaman. Wajah-wajah cerah itu terlihat sangat antusias. Hal ini tentu saja membuat kami, para guru, semakin bersemangat. Kami menyisipkan pesan-pesan moral, pelajaran berhitung, akhlak, budi pekerti, dan sebagainya. Pendek kata, kami mengajar melalui dongeng. Dengan dongeng anak-anak mendapatkan ilmu pengetahuan.

Saya kira, saya tidak perlu menguraikan pendapat para ahli terkait dengan manfaat mendongeng bagi perkembangan anak pada kesempatan ini. Mendongenglah, dan kemudian lihat perubahan apa yang akan terjadi pada anak-anak kita. Hasilnya sungguh ajaib. Mereka lebih peka, memiliki interpersonal yang tinggi, lebih mudah mengingat pelajaran yang diberikan, dan lebih dekat kepada guru/orang tua.

Maka ketika kami menang dalam lomba, saya pikir itu hanyalah sebuah bonus dari apa yang kami lakukan selama ini. Bisa karena biasa. Apalagi yang perlu dikhawatirkan, toh kami sudah terbiasa mendongeng. Begitu pikir saya sesaat sebelum lomba digelar.

Rasanya, untuk bisa mendongeng tidak diperlukan keahlian khusus. Bukankah hampir setiap hari kita bercerita, tentang semua hal? Ini sebenarnya sudah cukup sebagai modal untuk mendongeng. Hanya, memang, kita harus membiasakan diri untuk memdeskripsikannya dalam bahasa yang mudah dicerna oleh anak-anak.
“Abi, tadi kami menang lomba mendongeng lho?” ujar saya kepada suami, penuh kebanggaan.
Diluar dugaan, laki-laki yang saya panggil Abi itu terdiam. Menatap tepat ke mataku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Umi menang lomba?” Akhirnya suaranya keluar juga.
“Iya dong,” jawab saya dengan senyum merekah.
“Kok saya nggak pernah mendengar umi mendongeng untuk Fadlan dan Haya?”

Deg! Rasanya seperti ketabrak kereta api mendengar kalimat itu. Ya, apa saja yang saya lakukan selama ini? Bahkan sampai-sampai tidak sempat mendongeng untuk anak sendiri?
Kalau saya mendongeng di sekolah, itu memang karena tututan sebagai seorang guru. Suka tidak suka, mau tidak mau, harus dilakukan. Karena memang sudah terjadwal demikian. Tapi dirumah? Seharusnya saya semakin bersemangat, karena itu untuk buah hati kami sendiri. Untuk sosok mungil penerus cita dan asa orang tuanya. Nyatanya, saya tidak melakukannya.
Ada yang salah dalam diri saya.

“Kenapa diam? Jawara dongeng kok jadi pendiam gitu,” suara suami membuyarkan lamunanku.
“Iya, umi salah.”

Inilah awal mula kami membiasakan diri mendongeng untuk anak-anak di rumah. Sulitnya bukan main. Bukan sulit mendongengnya, tetapi menyempatkan diri untuk istikhomah yang menurut saya susah luar biasa. Terlalu banyak alasan buat saya untuk tidak mendongeng. Memasak, mencuci, menyetrika, menyiapkan media pembelajaran esok pagi, dan seterusnya dan seterusnya.

Pelajaran berharga yang bisa dipetik, kita harus menetapkan tujuan (visi dan misi) yang hendak dicapai agar bisa istikhomah dalam mendongeng. Di sekolah, tujuan saya jelas, ini merupakan tuntutan pekerjaan. Lagi pula beberapa wali murid yang kebetulan sedang mengantarkan anaknya juga ikut mendengarkan. Sementara di rumah, bisa saja saya mengatakan bahwa kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Tetapi itu kan jawaban standar. Sebab realitasnya, tidak semudah yang diucapkan. Saya bahkan butuh waktu beberapa minggu untuk terbiasa mendongeng kepada anak-anak.

Subhanallah, ternyata anak kecil dimana-mana sama saja. Semua suka mendengarkan dongeng. Anak murid saya di Raudhatul Athfal, juga cerita banyak kawan, semua mengatakan anak-anaknya suka mendengarkan dongeng.

Benar saja, perubahan besar segera terjadi. Saat ini, Fadlan (4,5) dan Haya (2) lebih senang mendengarkan dongeng-dongeng saya daripada menonton TV. Kalau sebelumnya anak-anak sampai menangis karena dilarang menonton acara televisi yang menurut saya tidak baik untuk perkembangan kepribadiannya anak, saya tinggal mengatakan, “Umi mau mendongeng lho, tapi syaratnya tivi-nya harus dimatikan.” Tanpa menunggu instruksi dua kali, mereka segera mendekat ke samping kanan dan kiri.

Biasanya saya baru mengakhiri dongeng ketika mereka sudah lelap dalam tidur. Jelas sekali, di bibirnya tersungging senyuman. Barangkali keduanya sedang bermimpi bertamsya bersama bidadari.

Seperti yang diceritakan Maimunah,
Tenaga Pengajar di RA As-Sanariyah. Serang - Banten


(diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca")

Note:
gambar diambil dari google

1 komentar:

  1. Banyak orang mengira, bahwa mendongeng dan memerkenalkan bacaan sejak dini adalah pekerjaan yang remeh. Padahal aktivitas yang satu ini memberikan konstribusi besar bagi perkembangan anak. Membaca misalnya, perintah ini bahkan diserukan yang pertamakali dalam Islam.

    BalasHapus