Kamis, 31 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Negeri Warna-warni dan Pesannya

Oleh: Umi Laila Sari

Saya belum menemukan risetnya secara pasti. Mungkin hanya penilaian individu dengan lingkungan tinggal di kota. Tentang kenangan masa lalu di usia kanak-kanak saya, dongeng sebelum tidur. Sebab, sesudah zaman masa kecil saya, jarang –semoga bukan tidak ada-- lagi orang tua yang mendedikasikan waktunya satu atau dua jam untuk ngeloni seraya mengisahkan cerita tutur warisan nenek-kakek.

Tidak perlu bingung mencari sebabnya. Bahwa kehidupan modern telah merubah banyak hal. Termasuk kebiasaan dalam keluarga. Mendengarkan suara lembut penuh muatan cinta dari orang tua menjelang tidur bukan lagi satu-satunya pilihan anak. Sudah tersedia berbagai kecanggihan tehnologi yang siap membuai anak-anak millenium ke alam nirwananya. Tanpa harus –seolah- membuang waktu orang tua secara kurang efektif. Konsep realitisnya di kehidupan penuh persaingan sekarang ini memang demikian.

Tapi toh, kehidupan tidak hanya ditarik garis hitam-putih pada efektifitas waktu dan tuntutan materi. Kehidupan adalah investasi kebaikan dan menanam perbaikan adalah sisi terpenting humanisme. Dan hubungan orang tua-anak adalah ikatan humanisme paling hakiki dalam kehidupan.

Maka, mendongeng dalam tradisi leluhur ngeloni tadi, akan menjadi sangat bermakna bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana orang tua selalu menyelipkan ajaran hidup tentang keuletan dan kerja keras pada kisah lomba lari kura-kura dan kelinci. Bagaimana juga anak akan selalu mengingat bahwa sifat tamak dan licik tetap akan membawa kesengsaraan hidup seperti tokoh monyet yang tidak pernah puas dengan makanan yang dimilikinya. Rekaman masa kecil adalah memori kuat yang tentu tidak ingin disia-siakan orang tua.

Suatu ketika saya sempat tertegun dengan pengalaman adik saya. Usianya hampir memasuki usia sekolah. Saya menyempatkan diri mengajaknya ke toko buku. Ketika tiba di stand buku anak, saya biarkan ia beberapa saat melihat-lihat buku yang beraneka rupa. Sebuah buku tidak terlalu tebal dengan gambar lebih dari setengah halaman yang akhirnya dipilih adik saya. Si Anjing Bandel, demikian judulnya. Ternyata, ia memutuskan untuk mengambilnya karena tertarik dengan gambar beberapa ekor anjing yang warna-warni. Lucu dan menggenaskan. Meskipun ia sesungguhnya menyukai kucing. Begitu tiba di rumah, tanpa memberi saya jeda untuk istirahat, ia meminta saya membacakannya.

“Sayang, buku ini kan dibeli biar Didik belajar baca. Tu kan tulisannya besar-besar dan sedikit, jadi mudah bacanya. Ayo dong, kalau mau tau ceritanya, adek belajar baca.” Kata saya membujuknya.
“Iya, adek mau kok bacanya tapi besok, sekarang ayuk dulu yang bacanya. Didik dengerin dulu,” katanya yang telah siap berbaring di tempat tidurnya dan mengacungkan buku kearah saya. Saya mengalah. Membacakan dengan perlahan kisah di buku itu. Tidak hanya sekali, ketika telah sampai pada kata tamat, adik saya menginginkan untuk dibacakan ulang.
Saya tersadar ada yang berbeda manakala tidak lagi terdengar suara ‘guk… guk…’ dari bocah kecil itu. Sebelumnya, ia selalu menimpali teriakan itu setiap saya membacakan kalimat ‘… dan anjing bandel itu memakan pudding susu…’, atau ‘…dan anjing bandel itu menyelinap di dalam lobang…’. Ah, ternyata bujang kecil kami telah terlelap bersama imajenasi kebun rumput nan luas tempat sang anjng bermain.

Pengalaman pertama saya mendongeng. Nampaknya serupa pula keadaan ibu dulu sewaktu mendongengi saya Si Kancil yang Cerdik. Keesokan harinya adik saya begitu semangat membuka tiap lembar buku tersebut. Tertatih-tahih mengingat huruf lalu mengejanya agar dapat dibaca. Pada sela-sela waktu, ia menceritakan kembali pada dirinya seolah ia telah membaca hingga halaman terakhir. Padahal saya tahu ia telah menghafal ceritanya ketika malam saya mendongeng. Dan yang sangat luar biasa dalah ia tetap mengingatnya hingga kini. Saat buku tersebut telah di makan usia. Saat saya hampir tidak ingat lagi kejadian tersebut. Saat ia telah memiliki buku-buku lain. Ingatan luar biasa untuk satu kali saya mendongeng.
Meski demikian, tetap saja menumbuhkan minat anak untuk membaca dan orang tua untuk mendongeng bukan perkara mudah. Terkadang meski orang tua telah memiliki pemahaman yang baik tentang betapa berharganya kegiatan tersebut bagi tumbuh kembang anak. Saya sepakat pada pengalihan pemikiran bahwa membaca bukan kewajiban tetapi kegemaran. Orang tua tidak merasa terbebani dengan memberikan dirinya –bukan hanya waktu-- pada anak untuk mendongeng. Dan anak semakin menikmati dunia bahagianya dengan buku sebagai sahabat bermainnya. Ada beberapa tips yang saya yakini dapat mewujudkan kecintaan akan membaca.

Pertama, memberi prioritas khusus terhadap kegemaran membaca dan mendongeng. Jelas, ini akan sulit dilakukan hanya oleh salah satu orang tua. Suami-istri harus memiliki kesepakan tersebut. Perhatian yang dimaksud kesungguhan tekad untuk memberikan pikiran, tenaga, waktu juga meteri. Semisal, ada agenda dan budged khusus untuk aktifitas membaca dalam keluarga akan lebih baik.

Kedua, pastikan terlebih dahulu bahwa kita –orang tua atau orang dewasa disekitar anak—sangat menikmati aktifitas membaca atau mendongeng. Anak begitu mengetahui ketika kita tidak menghadirkan hati dalam menjalani sesuatu. Terkesan hanya kewajiban yang harus dilakukan orang tua kepada anak, tidak lebih. Mungkin dalam kondisi tertentu ketika kita tidak terlalu ‘baik’ untuk mendongeng atau menemani membaca, akan lebih bijak berkata, “maaf sayang, bunda sepertinya kurang enak badan butuh istirahat lebih awal, bunda akan sangat senang kalau kamu mau membaca sendiri dulu untuk hari ini,” dibanding tetap memaksakan diri.

Ketiga, libatkan anak dalam membuat keputusan tentang kegemaran membaca. Semisal, tentang ke perpustakaan umum bersama dan mendaftarkan diri menjadi anggota di sana. Tentang letak perpustakaan rumah. Tentang buku apa yang akan dibeli sebagai kado orang-orang terdekat dan trik ini adalah yang paling saya sukai.

Keempat, menciptakan suasana rumah yang nyaman untuk membaca. Standar kenyamanana sangat subjektif. Namun yang paling perlu diperhatikan adalah kecendrungan anggota keluarga ketika membaca. Ada sebagian orang yang lebih menikmati membaca dengan suasana sangat hening di dalam kamar. Tetapi ada juga yang lebih menyukai sedikit suara alam atau instrument. Selebihnya adalah hal umum yang memang harus diperhatikan misalnya kondisi tempat yang bersih serta pencahanyaan cukup. Ada keluarga yang mengkhususkan satu ruang khusus di rumah sebagai perpustakaan tetapi ada pula yang meletakkan buku hampir di setiap sudut rumah agar setiap anggota keluarga dapat membaca kapan saja dan dimana saja sesuka mereka, sebagaimana yang terjadi di rumah kami. Terserahlah, bagaimanapun wujudnya selama kenyamanan dapat diciptakan.

Kelima, bebaskan anak mencari buku atau kisah yang ingin didengar atau dibaca. Cara ini dilakukan agar anak merasa tetap menemukan dunianya. Tidak perlu memaksa anak membaca buku –yang dalam pandangan orang tua-- total bermuatan ilmiah. Sesungguhnya dalam kisah-kisah anak banyak pula pembelajaran yang dapat mereka peroleh. Tanpa perlu dikomandoi seiring kegemaran membaca, anak akan memperluas jenis bahan bacaannya.
Saya yang ketika kanak-kanak sangat menyukai mmembaca dongeng tentang kerajaan di negeri warna-warni, pada usia SMP akhirnya sangat menyukai membaca buku tentang astronomi, geografi hingga arkeologi. Dalam kondisi ini, orang tua berada ‘di samping anak’. Menegaskan kembali pesan moral yang terdapat dalam bahan bacaan. Artinya, meski anak membaca negeri warna-warni, orang tua mengingatkan ada pembelajaran di dalamnya.

Keenam, mintalah anak mereview kembali bahan bacaan yang telah dibaca atau didengar. Bagi saya, tidak bermasalah jika suatu ketika, orang tua dan anak bertukar peran. Sang anak yang mendongeng sebelum mereka tidur. Begitu pula dalam keseharian, orang tua dapat mengulang ingatan atau komentar anak tentang bacaan mereka. “Eh, dek, buku tadi cerita apa sich?” atau, “Menurutmu, tokoh Kupu-kupu di buku itu baik atau tidak?” Meminta anak menceritakan kembali hasil bacaannya saaat berkumpul bersama di ruang keluarga adalah bentuk penghargaan bagi anak. Tentunya setelah itu, orang tua memberinya tepuk tangan dan pujian karena ia telah dapat berbuat lebih baik.

Dari semua tips di atas, sejatinya kegemaran membaca pada anak adalah bermula dari kecintaan akan membaca. Dan untuk bisa cinta membaca, anak harus telah terbiasa membaca bahkan sejak mereka dalam kandungan. Yup, orang tua yang menginginkan anaknya mencintai membaca mereka harus telah lebih dahulu ‘menggilai’ membaca. Dan bersyukur, orang tua saya telah melakukannya meski awalnya tanpa mereka sadari.

Referensi;
Sumardiono, Homeschooling, A Leap for Better Learnig; Lompatan Cara Belajar, PT Alex Media Komputindo; Jakarta, 2007.
Teresa Orange dan Luuise O’Flynn, The Media Diet for Kids, terj., Penerbit Serambi; Jakarta, 2007.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel ”Cinta Dongeng, Cinta Baca")

note: gambar dipinjam dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar