Jumat, 30 Juli 2010

Musik Indah Untuk Keluarga

oleh : Wisnu Martha Adiputra

Setiap saya mampir ke dua tempat, toko CD dan toko buku, saya selalu berpikir, CD audio, film, atau buku apa yang bisa saya belikan untuk anak saya? Saya tidak ingin terlalu egois dengan mengakses konten media untuk saya sendiri. Saya juga ingin tetap mengingat konten media untuk anak walau pada prakteknya, kunatitas konten media yang saya akses kira-kira tiga kali lebih banyak dari konten media untuk anak saya.

Permasalahannya, untuk konten musik anak bukan hanya kuantitas yang sangat kurang, kualitasnya juga sedikit yang bagus. Beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca betapa musik untuk anak-anak sungguh terbatas. Bila pun ada, kebanyakan mendaur-ulang lagu jaman dulu dengan aransemen yang relatif sama. Ada juga album lagu anak-anak tetapi berasal dari sebuah acara kompetisi menyanyi untuk anak-anak yang menyanyikan lagu orang dewasa. Bagi saya, filosofi acara itu sudah salah sehingga outputnya pun lebih merupakan imitasi untuk anak-anak. Anak-anak di acara itu "dipaksa" menjadi bukan anak-anak bukan hanya karena lagu-lagu yang mereka nyanyikan tetapi sikap dan gaya mereka yang diarahkan seperti orang dewasa atau selebriti tidak bermutu.

Ada juga jenis musik anak-anak yang lain, yaitu lagu anak-anak dari "jaman dulu". Masih ada album-album dari Sherina dan Tasya walau itu akan berpotensi membingungkan anak-anak yang mengaksesnya karena keduanya telah dewasa. Beberapa album bahkan lebih lama lagi. Saya masih mendapatkan album kompilasi Trio Kwek Kwek dan Melisa, yang rupanya masih diproduksi karena musik untuk anak-anak memang langka.

Waktu saya berkunjung ke toko CD dan toko buku beberapa hari yang lalu itu, ada dua konten media yang agak mengagetkan sekaligus menyenangkan saya, yaitu buku komik tentang perjalanan musik Bono dan U2, dan album CD "Jazz for Family". Konten media pertama akhirnya saya coret karena walaupun berkisah tentang Bono dan supergrup U2 dengan menggunakan komik yang dituliskan di judulnya untuk anak-anak, komik ini bukan untuk anak-anak. Informasi yang diberikannnya lebih ditujukan untuk pembaca yang paham informasi lanjutan.

Konten media kedua benar-benar membahagiakan saya. Sebenarnya saya sudah membaca review-nya di sebuah suratkabar ibukota tetapi entah mengapa saya lupa dengan album ini dan baru saya teringat ketika melihatnya di toko CD secara tak sengaja. Walau untuk ukuran album Indonesia album ini agak mahal tetapi materinya sepadan. Album ini berisi interpretasi ulang lagu anak-anak dalam musik jazz yang disajikan dengan indah.

Begitu sampai di rumah, album ini langsung saya putar. Kami bertiga, saya, istri, dan anak, mendengarkannya dengan rasa bahagia atau mungkin juga rasa bahagia itu hadir setelah mendengarkan musiknya yang memang menenangkan. Dan yang paling membahagiakan saya adalah anak saya menikmati lagu-lagu yang telah dikenalnya dalam alunan jazz. Awalnya terlihat dia merasa aneh dengan lagu-lagu yang ada di CD karena dimainkan dengan cara berbeda. Kemudian, dia terlihat senang dengan semua lagu yang diputar. Setelah mendengarkan album ini anak saya menjadi terbiasa dengan improvisasi lagu. Sebelumnya, dia akan protes bila saya menyanyikan lagu dengan gaya berbeda seperti yang dia kenal.

Upaya semacam ini layak diapresiasi. Anthony S. dan kawan-kawan melakukan langkah yang bagus. Walau baru sedikit, menyediakan pilihan yang lebih beragam untuk musik anak-anak adalah upaya luar biasa. Mengenalkan improvisasi yang termaktub dalam musik jazz untuk anak-anak adalah misi berikutnya. Hal ini sejalan dengan beberapa album lagu daerah untuk anak-anak yang saya akses pula. Pelakunya pun sama "Gema Nada Pertiwi". Dari sisi bisnis, ini upaya bagus karena jarang produsen pesan yang "bermain" di wilayah musik anak. Ini juga kasus yang bagus diteliti oleh pembelajar kajian media. Dari sisi sosiokultural, upaya ini juga "mulia" karena mengenalkan keberagaman musik pada anak-anak Indonesia.

Berkat album ini saya juga mendapatkan moment indah mengakses pesan media. Kami sekeluarga mendengarkan album ini dengan bahagia, membagi kebersamaan di suatu sore yang indah.

Album: Jazz for Family, “Children Sngs with Jazz Flavour”
Artis: Anthony S, Imam Pras, Arief Setiadi, Galeri Anak
Produksi : Cakrawala Musik Nusantara/GNP, 2009
Harga: Rp. 50.000,-

Daftar lagu:
1. Burung Kakatua
2. Oe Oe, Oa Oa
3. Aku Anak Pintar
4. Desaku
5. Bermain Layang-Layang
6. Pepaya Mangga Pisang Jambu
7. Burung Ketilang
8. Kupu-Kupu
9. Burung Hantu
10. Kapal Api
11. Kapal Api (instrumental)
12. Aku Anak Pintar (instrumental)

Kamis, 22 Juli 2010

Minggu, 23 Mei 2010

Melepas Anak ke Dunia Maya

Oleh: Mamiek Syamil

Saya sangat faham dan aware akan bahaya yang mengintip di setiap sudut dunia maya. Tetapi mengapa saya lepas juga anak-anak saya ke sana? Saya sebenarnya termasuk jenis orang tua paranoid, tidak bisa membiarkan anak-anak saya mendekati, apalagi bersinggungan, dengan apapun yang mengandung bahaya.

Membawa anak-anak ke dunia maya ibarat membawa mereka ke pantai yang indah, yang berujung ke lautan luas. Bermain di pinggirnya-pinggirnya sangatlah menyenangkan, dan melenakan. Tak sedikit orang yang tak waspada, bahkan cenderung menyepelekan bahayanya. Sampai akhirnya ombak besar menggulung mereka. Bedanya, "ombak besar" dari dunia maya yang "menenggelamkan" anak-anak itu banyak tidak disadari oleh orang tua.

Membentengi anak-anak untuk tidak berhubungan dengan internet adalah tidak mungkin, kecuali kita ingin memangkas keingintahuan mereka. Internet juga sumber pengetahuan. Seperti halnya buku dan televisi, ada yang baik, ada yang buruk. Bedanya, isi internet yang buruk hanya sejauh satu "klik". Itulah sebabnya saya melepas anak saya seperti orang paranoid (untuk yang satu ini, I don't mind to be called paranoid, some people have done it). Saya ijinkan anak-anak mempunyai situs mereka sendiri, tapi dengan seribu satu persyaratan dan aturan yang harus mereka patuhi. Ibarat badan mereka saya lepas, tapi di badannya saya ikatkan sebuah tali yang bisa saya tarik dan ulur. Teorinya mudah. Prakteknya tidak.

Ini langkah yang saya tempuh :

1. Kalau mereka minta dibuatkan situs pribadi, set up account website (multiply, facebook, MySpace atau apapun) dengan e-mail orang tua. Sekarang ini anak-anak saya hanya punya blog. Rengekan mereka untuk membuka FB saya tolak karena menurut saya FB tidak suitable untuk anak-anak (beberapa temannya punya FB, jadi peer presure). Saya ijinkan nge-blog karena : bisa untuk latihan menulis, bisa menampilkan hasil karya mereka (gambar dsb) dan saya agak familiar. Ini dia. Orang tua harus familiar dengan oprekan anaknya. Jangan sampai si anak lebih melek internet daripada ortunya. Kalau anak anda punya situs, anda juga harus punya situs, minimal untuk menguasai pernak-pernik internetnya.

2. Untuk situs pribadi, syarat untuk menjadi kontak mereka :
- Seusia dengan mereka, preferably dari gender yang sama (saya bukannya membatasi dan pilih-pilih gender)
- Kalau tidak seusia, maka anak-anak saya harus mengenal mereka personally sebagai teman baik ibu (bukan hanya kenal lewat dunia maya).
- Sebelum "accept" any invitation, saya harus melihat dulu profile si pengundang, termasuk orang tua si anak (hopefully ada foto orang tuanya, untuk menunjukkan si anak ada di bawah pengawasan "mata elang" orang tua). Maksudnya, saya lebih pe-de jika anak saya berteman dengan anak yang juga mendapat pengawasan ketat dari orang tua-nya. Terus terang saya termasuk pilih-pilih dalam memilih teman untuk anak-anak saya.

Oh ya, sering-seringlah meninggalkan pesan di situs anak-anak kita, agar orang juga aware bahwa ortunya "ngglibet". Hal itu juga akan menimbulkan kesan bahwa si anak tidak dibiarkan berkeliaran di dunia maya sendiri (orang yang akan berbuat macam-macam akan berpikir seribu kali).

3. Periksa semua tautan/pernak-pernik yang dipasang di situs mereka. Penyedia jasa counter karena free wajar jika mereka menerima advertising dari mana saja, termasuk indutri pornografi.

4. Kita adalah tempat anak berkaca. Anak-anak melihat kita sebagai role model. Kalau kita ingin anak-anak kita baik, ya kita sendiri harus menajdi orang baik. Periksa isi situs kita. Jangan sampai ada kata-kata atau content yang tidak appropriate. Tunjukkan kepada anak kita bagaimana etiquette berinternet yang baik.

5. Usahakan agar anak-anak hanya berinternet di rumah. Selama itu, beri mereka pesan agar bersikap responsible. Tujuannya agar begitu mereka berinternet di luar rumah, mereka tetap responsible.

6. Saya sudah coba pasang parental control, tapi sejauh ini tidak terlalu efektif. Memang sebaiknya parental control dipasang. Tapi semakin anak besar, mereka menuntut jelajah yang lebih luas. Ibaratnya waktu kecil kita bisa menuntut mereka untuk main di halaman rumah. Tapi begitu besar, kita tidak bisa "mengurung" mereka. Jadi hanya bekal keimanan dan kepercayaan saja yang bisa kita tanamkan.

7. Set up e-mail hanya jika mereka sudah cukup dewasa, karena dengan e-mail mereka bisa sign-up kemana-mana. E-mail juga susah dimonitor. Kalau ingin bertukar pesan lewat situs saja, lebih mudah dimonitor.

8. Yang terakhir, keep them in our pray!


note:
gambar dipinjam dari sini

Kamis, 22 April 2010

Demi Lagu Anak Indonesia

oleh: Ning Raswani

Anak bagi saya laksana playdough, masih sangat mudah untuk dibentuk karena masih dalam masa perkembangan mental. Sangatlah wajar apabila perilaku anak sehari-hari dipengaruhi oleh apa yang dia lihat, amati, dengar dari lingkungan sekitarnya. Anak akan cenderung menirukan segala sesuatu dari lingkungan dekatnya apa saja yang membuat dia merasa suka, nyaman yang dapat memuaskan keinginan hatinya, walaupun belum tentu hal tersebut memberikan manfaat atau berdampak baik baginya dan lingkungannya.

Televisi, merupakan salah satu media yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anak sehari-hari, karena sekian banyak stasiun TV on air non stop 24 jam; disamping ada radio, PS, internet dan lain-lainnya. Anak akan cenderung menirukan apa saja yang didengar dan dilihatnya setiap acara di televisi, tidak peduli itu acara khusus untuk anak atau bukan. Salah satu bentuk hiburan yang paling mudah ditirukan oleh anak adalah nyanyian, karena hampir setiap anak suka menyanyi. Sayangnya, lagu-lagu yang disuguhkan oleh TV lebih dominan lagu yang sebetulnya diperuntukkan bagi usia remaja/dewasa. Tidak heran apabila anak yang baru berusia 3 tahun bisa hafal semua lagu yang ditayangkan di TV. Celakanya lagi, apabila anak diminta menyanyi bebas di sekolah , dia akan menyanyikan lagu-lagu yang lagi ngetrend di pasaran, sehingga lagu –lagu anak yang indah dan sarat dengan makna yang ditulis oleh para pengarang lagu pada masa lalu itu hanya kadang-kadang dinyanyikan di sekolah untuk event tertentu saja.

Sebagai seorang ibu dari dua anak, saya merasa prihatin melihat situasi demikian. Saya berpikir, apa yang harus saya lakukan untuk mengurangi dampak negatip dari media tersebut. Selektif dalam memilihkan acara yang ditonton oleh anak, mendampingi anak saat menonton TV, mengajak diskusi tentang acara yang ditonton, sehingga tidak ditelan mentah-mentah, misalnya menonton dan menirukan lagu-lagu yang maknanya tidak jelas, belum sesuai dengan tingkat usia anak dan mengapresiasi lagu-lagu yang bagus dan memiliki makna yang baik.

Melihat situasi yang mana lagu-lagu anak yang baru kurang banyak dibuat, terbetik dalam pikiran , mungkinkah saya bisa menulis lagu yang memiliki makna yang baik dan dapat memberikan inspirasi positip bagi perkembangan pikiran anak dan tidak sekedar sebagai hiburan semata-mata? Persoalannya, saya tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang dunia seni musik. Saya belum pernah sama sekali belajar tentang musik.Yang saya tahu hanya sebatas do re mi fa sol la si saja. Latar belakang pendidikan saya di bidang farmasi dan sampai sekarang pun saya masih bergelut dengan pekerjaan di bidang farmasi. Mungkinkah? Mungkinkah? Rasanya tidak mungkin. Namun, pikiran saya selalu terbayang-bayangi oleh keinginan tentang keberadaan lagu anak yang baik. Jadilah saya kuatkan niat untuk mewujudkannya. Walaupun tidak pandai menyanyi, namun seperti anak-anak pada umumnya, sejak kecil saya juga suka bersenandung (bhs.Jawa : rengeng-rengeng) pelan, malu didengar orang lain, karena suara yang tidak berkualitas. Kebiasaan tersebut masih terbawa terus hingga kini, karena itu sebagai bentuk hiburan bagi diri sendiri. Waktu yang paling menyenangkan untuk bersenandung adalah saat mengerjakan pekerjaan di pagi hari, misalnya saat memasak, mencuci baju dan juga saat mandi.

Di tahun 2007, anak-anak saya tidak pernah ketinggalan menonton acara lomba menyanyi di TV dan di akhir tahun 2007 mereka merengek-rengek mau ikut audisi. Wah, repot nih. Kesibukan saya bekerja tidak memungkinkan anak untuk mengikuti berbagai lomba yang sangat merepotkan dan ditambah lagi persaingan yang begitu ketat tersebut. Belum saatnyalah untuk anak-anak mengikuti lomba yang demikian.

Kebiasaan anak-anak yang suka bernyanyi itu menambah dorongan bagi saya untuk menjawab pertanyaan saya di atas. Mungkinkah? Apa salahnya kalau saya coba. Dengan modal do re mi fa sol la si saya mulai mencoba menulis lagu. Pada awal tahun 2008, setiap pagi saat bangun tidur selalu muncul ide-ide yang mengusik hati saya Sayang rasanya kalau hal itu dibiarkan hilang begitu saja; sedikit demi sedikit berbagai ide yang muncul itu saya kumpulkan. tidak terasa di akhir tahun terkumpul cukup banyak.

So, what’s next? Saya tidak tahu apakah tulisan saya itu memiliki nilai? apakah memenuhi persyaratan sebagai layaknya lagu-lagu ynag lain? Saya tidak tahu. Saya memberanikan diri untuk cerita ke seorang teman yang saya anggap cukup bijaksana dan bersedia membantu saya, dia menyarankan saya untuk mencari bantuan musisi. Mencari musisi ternyata cukup sulit juga. Beberapa kenalan musisi sangat padat kesibukannya sehingga tak dapat membantu saya. Baru pada akhir tahun 2009, seorang teman memiliki kenalan yang bersedia membantu saya, dengan catatan tidak bisa dikerjakan dengan cepat karena kesibukan dia.

Tahap berikutnya adalah proses rekaman. Untuk mengajak anak saya mau merekam lagu-lagu saya tidaklah mudah, karena anak saya tahu bahwa ibunya bukan seorang seniman. Mereka meragukan saya. Dengan membujuk pelan-pelan akhirnya anak saya bersedia asalkan ditemani oelh temannya. Baiklah, satu persoalan selesai. Persoalan lain, saya juga tidak tahu studio musik yang baik. Dengan bertanya sana sini akhirnya saya peroleh informasi tentang studio yang cukup baik. Jadilah, rekaman dimulai. Proses rekaman memakan waktu cukup lama, karena kesibukan anak-anak bersekolah dan di hari libur kadang-kadang anak-anak juga berkegiatan.

Setelah proses rekaman selesai, saya mendesain cover CD bersama anak-anak saya dan memperbanyak CD untuk diberikan ke beberapa kenalan. Namun belum bisa berhenti sampai disitu . Untuk apa CD yang sudah jadi tersebut? Beberapa teman yang mendengarkan lagu-lagu saya memberikan tanggapan positip dan mendukung untuk mempublikasikan lagu-lagu itu. Saya berpikir lagi dan di waktu senggang saya searching di internet. Kira-kira lembaga apa yang bisa bisa mem-follow-up lagu-lagu tersebut. Saya hubungi WALHI. Alhamdulillah mendapat sambutan sangat positip. Semoga terlaksana nanti akan dilombakan dalam rangka HARI ANAK NASIONAL pada bulan Juli mendatang. Disamping itu saya email ke KOMPAK, untuk sharing pengalaman saya dan berharap dapat memperoleh dukungan untuk karya-karya saya.

Semoga sharing ini bermanfaat bagi pembaca semua. Semoga tulisan ini dapat menyemangati orang tua di seluruh Indonesia, bahwa kita memang harus berusaha keras untuk pendidikan anak. Tidak mungkin jika kita menyerahkan anak pada lingkungan media dan hiburan yang ada pada saat ini. Kita mampu melahirkan mereka, tentu kita mampu untuk memberi mereka pendidikan yang terbaik. Semangat inilah yang ingin saya bagi kepada para pembaca semua. Untuk mendengarkan sebagian lagu saya secara online bisa meluncur ke 4shared.com dengan judul : "suara anak dunia" atau "the voice of the world's children"

22 April 2010
Salam
Ning Raswani
raswanining@yahoo.com


note: gambar dipinjam dari google

Rabu, 24 Maret 2010

Serba Salah Televisi

Oleh: Tian Arief

Hidup tanpa televisi, kenapa tidak? Kami pernah menjalaninya kira-kira tiga tahunan. Itu terjadi setelah Sony 17 inch yang bertahun-tahun setia menghuni ruang tamu kami, rusak total. Televisi imut itu sengaja kami biarkan teronggok di bawah meja, biar kami tidak bisa menonton plus-minusnya siaran televisi.

Aku sendiri sih, tetap bisa nonton televisi sesekali, sewaktu di kantor. Dan kami juga masih bisa sesekali nonton televisi, sewaktu berkunjung ke rumah mertua di Jakarta.

Tayangan televisi, selain informasi (berita, talkshow, atau features), juga berisi hiburan, mulai dari film hingga sinetron --yang banyak mengumbar hedonisme dan kekerasan. Selain itu, ada pula iklan, yang memicu kami pada sikap komsumtif.

Ada tambahannya, Fay, anak semata wayang kami, kosa katanya banyak didominasi kata-kata iklan. Fay, terus menyerap kosa kata dari tayangan televisi, khususnya iklan, yang memang disukainya.

Sejak pesawat televisi rusak, kami jadi lebih tenang. Tak ada lagi bujuk rayu dari tayangan iklan yang menggugah selera, tak ada lagi suara teriakan-teriakan dari promo sinetron kejar tayang.

Tapi lama-lama Fay tidak tahan juga. Ia memaksa kami untuk kembali mengadakan televisi di rumah, dengan caranya sendiri. Setiap bertemu siaran televisi, di mana pun berada, Fay antusias sekali menyaksikannya dari dekat. Tampak sekali seperti anak yang tak pernah nonton televisi (dan memang kenyataannya begitu).

Yang terasa mengganggu, saat Fay memaksa-maksa menonton televisi dari tetangga, kapan pun ada kesempatan. Fay, yang belum mengerti tata krama, langsung menerobos begitu saja di mana pesawat televisi menyala; di ruang tamu, ruang keluarga, bahkan kamar tidur. Kami jadi tidak enak dibuatnya.

Hingga akhirnya, kami mengalah. Sebuah TV Tunner pinjaman kami pasang di monitor komputer yang sudah tidak terpakai. Maka, monitor komputer itu jadilah sebuah pesawat televisi.

Fay kembali pada hobi lamanya: menyaksikan tayangan iklan, dan setelah habis, ia memindahkan channel ke stasiun lain yang tengah menayangkan iklan. Kosa-kosa kata, terutama dari operator seluler yang sedang "perang promo" pun sering menghiasi bibirnya.

Dampak lainnya, kami jadi punya sumber hiburan, di saat senggang.

Tapi kami sudah menetapkan aturan; saat adzan maghrib berkumandang, televisi harus dimatikan, dan Fay harus berwudhu untuk shalat maghrib. Menjelang pukul delapan malam, televisi juga dimatikan (sementara), biar Fay bersiap-siap tidur.

Dan malam hari, televisi monitor komputer itu pun jadi milik kami, ortu yang haus hiburan.


Note:
Gambar dipinjam dari sini

Kamis, 18 Maret 2010

Dunia Palsu

Oleh: Luqman Hakim


Imitation is the sincerest form of television
Kepalsuan adalah bentuk yang paling tulus dari televisi

Fred Allen, Komedian Absurd Amerika (1894 - 1956)


Pulang kerja, akhir pekan, bersantai di rumah, hiburan mudah dan gampang dicari adalah televisi. Ada 11 saluran televisi nasional dan beberapa saluran televisi lokal yang selalu menunggu dan siap untuk diperhatikan.

Menyaksikan kepalsuan, melihat keindahan di luar angan, mengamati kehidupan orang lain dalam kotak kaca, hal yang meninabobokkan.

Lahirlah generasi televisi, anak-anak yang dibesarkan dengan suara dan gambar yang keluar dari layar kaca. Orang tua dan pengasuh yang capek menjaga anak, membiarkannya berimajinasi dengan tontonan di luar batas kapasitas mencerna.

Di Jepang, tahun 1997 tercatat tak kurang 685 anak terserang photosensitive epilepsy atau bentuk kejang yang dipicu oleh rangsangan visual saat menyaksikan film kartun Pokemon episode 'Pocket Monster' (webmd.com).

Menonton televisi di ruangan gelap dalam jarak dekat, tayangan dengan transisi gambar sangat cepat dengan warna cahaya yang mencolok, membuat mata bekerja ekstra keras untuk dikirim ke otak dan dicerna di sana. Saat begini rentan dan mudah terkena photosensitive epilepsy.

Acara liputan investigatif apalagi reality show banyak memiliki sisi kelam. Acara yang mengangkat kisah nyata tentang kehidupan beserta pernak-perniknya sebenarnya tidak nyata dan sudah diset oleh produser dengan seperangkat kru lewat skrip kreatif. Tayangan-tayangan aneh yang sepertinya tak akan ada di dunia nyata tapi bisa tampil di tv, semua itu ada makelarnya, broker khusus yang menyediakan talent sampai eksekusi shooting. Mau liputan investigatif apalagi reality show, semua bisa disediakan berdasarkan skrip.

Bayaran masing-masing talent berkisar antara Rp 25.000 s.d. Rp 250.000, tergantung atas kelihaiannya dalam berakting (baca: menipu pemirsa). Ketika program acara disodorkan ke televisi, harga jelas di-generate dalam sebuah paket tayangan dan tidak dijabarkan secara rinci. Kecuali bila diminta, namun sangat jarang. Elemen harga termahal adalah konsep dan ide kreatif (baca: seluk-beluk menipu pemirsa hingga kecanduan menonton acara model begini).

Bak membuat film, sebuah adegan yang ter-captured kamera bisa disuruh ulang apabila gambar tak bagus.

Di studio juga sama. Apabila bangku penonton di dalam studio tak terisi penuh, ini jelas merusak gambar. Untuk menyiasatinya broker khusus penonton menyediakan pemirsa studio bayaran yang bisa disuruh-suruh produser. Disuruh teriak, mencemooh, tepuk-tangan, ikut aktif dalam acara, pokoknya apa saja. Istilahnya PSK (Penonton Studio Komersial), dibayar oleh televisi dengan bayaran Rp 50.000 perorang untuk tiap acara, tapi oleh broker sudah dipotong dan para PSK hanya menerima Rp 20.000 s.d. 30.000 saja.

Tak ada kejujuran dalam tayangan model begini, tanpa harus menyebut program acara apalagi stasiun televisinya, semua yang ada sudah teratur dan terencana.

Liputan kriminal lebih menyeramkan lagi, jurnalis di lapangan bisa mengarahkan polisi saat penggerebekan. Tersangka bisa diarahkan untuk dipukuli massa, bahkan ditembak mati di lokasi dengan alasan biar gambar bagus dan mencengangkan pemirsa. Polisi sudah mahfum dengan hal-hal begini, hanya polisi bodoh saja yang mau menuruti kemauan jurnalis bodoh.

Dalam televisi, pemirsa disuguhi acara sampah yang jauh dari mencerdaskan. Sedikit sekali yang benar-benar dekat dengan pengetahuan. Kebohongan, kepalsuan, kemunafikan, kekerasan, itulah yang disuguhkan oleh televisi.

Maaf, sebagai orang yang pernah ada dalam lingkaran dunia broadcasting, terpaksa harus saya bongkar segala kepalsuan ini. Toh kita senang dibohongi, dan itulah yang jadi komoditi televisi.

Mengupas Habis Rating & Share Televisi

Oleh: Luqman Hakim


"Wah keren lho, acara 'anu' ratingnya sampe 9..."

Omongan yang kerap dibincangkan ketika membicarakan acara televisi. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan rating juga share di dunia televisi?

Rating:

Jumlah pemirsa
–––––––––––––––– X 100%
Populasi Penduduk

Persentase jumlah pemirsa atau target pemirsa pada ukuran satuan waktu tertentu terhadap populasi atau suatu target populasi.


Share:

Pemirsa pada channel tertentu
––––––––––––––––––––––––– X 100%
Jumlah total pemirsa

Persentase jumlah pemirsa atau target pemirsa pada ukuran satuan waktu tertentu pada suatu channel tertentu terhadap total pemirsa di semua channel.

* * * * *

Sebelum bertambah pusing dengan rumus di atas, mari kita bahas pertanyaan paling dasar tentang televisi; Mengapa stasiun televisi kerap berpedoman pada rating dan share sebagai barometer dari kesuksesan sebuah acara?


Sekilas Abstrak Rating & Share

Punya teman yang kerja di stasiun televisi?

Coba tanyakan apa itu rating dan share, tanyakan sejelas mungkin sampai kita benar-benar mengerti istilah ini. Tanyakan saja sebagai orang awam yang tak mengerti istilah 'aneh' dunia televisi. Berani dijamin, tak semua orang yang bekerja di stasiun televisi mengerti benar tentang rating dan share kecuali mereka yang memang ada di divisi programming yang biasa mengurus penempatan slot acara, terutama juga yang ada di departemen riset yang memaparkan fakta data rating & share untuk ditindaklanjuti keberlangsungan program acara, pun para eksekutif produser, produser dan asisten produser.

Sudah menjadi keharusan seorang eksekutif produser, produser dan asisten produser mengerti benar istilah rating dan share agar mahfum, apakah acara yang dikelolanya masuk kategori ditonton atau diacuhkan pemirsa. Sudah menjadi kewajibannya juga bagi para manajer apalagi direksi mengerti istilah ini untuk menentukan kebijakan ekspansi atau malah memberangus sebuah acara.

Setiap hari Rabu, AGB Nielsen lembaga riset yang mengkhususkan diri pada Survey Kepemirsaan Televisi (Television Audience Measurement TAM) mengucurkan data statistik ke 10 stasiun televisi nasional minus TVRI. 10 stasiun televisi terestrial (sebutan untuk tv yang siarannya sampai ke seluruh Indonesia) antara lain; RCTI, SCTV, Trans TV, Indosiar, TPI, Trans 7, tvOne, Global TV, ANTV dan Metro TV.

Ya, kebetulan perusahaan yang membuat Survey Kepemirsaan Televisi di Indonesia yang dipercaya oleh stasiun televisi di Indonesia hanya AGB Nielsen. Entah percaya atau terpaksa percaya, karena tidak ada perusahaan survey riset sejenis yang mampu melakukannya dengan sangat kompleks dan lengkap seperti AGB Nielsen.


Siapa AGB Nielsen?

AGB Nielsen adalah joint venture antara VNU-Media Measurement & Information dan Audits of Great Britain Group (AGB Group) dengan Nielsen Media Research-nya yang berdiri Maret 2005.

Sejak itulah AGB-Nielsen Media Research Indonesia resmi beroperasi sebagai badan hukum di Indonesia untuk bisnis Survey Kepemirsaan Televisi.

Jauh sebelumnya di tahun 1976 Nielsen sudah masuk ke Indonesia dan bergabung dengan Survey Research Indonesia dalam bagiannya dengan Survey Research Group yang mendata informasi dan pelayanan media cetak dan elektronik untuk keperluan industri periklanan.

Tahun 1991, ketika televisi swasta nasional baru ada tiga, RCTI (1989), SCTV (1990), TPI (1991), Nielsen menawarkan jasa Survey Kepemirsaan Televisi untuk memudahkan televisi swasta nasional mendapatkan kue dari bisnis iklan.

Tahun 1994, Nielsen mengambil-alih Survey Research Group dan bisnis Survey Kepemirsaan Televisi jadi bagian dari Departemen Media AC Nielsen Indonesia.

Barulah di tahun 2005 nama AC Nielsen sedikit berganti menjadi AGB Nielsen.

Setidaknya ada 30 negara yang sudah didatangi oleh AGB Nielsen dalam melakukan kegiatan Survey Kepemirsaan Televisi, yaitu; Australia, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Armenia, Azerbaijan, Kroasia, Cyprus, Georgia, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Macedonia, Moldova, Polandia, Serbia, Slovenia, Swedia, Turki, Libanon, Afrika Selatan, Republik Dominika, Meksiko, Puerto Rico dan Venezuela.


Penentuan Populasi Data oleh AGB Nielsen

AGB Nielsen membagi populasi data pada 2273 rumahtangga koresponden yang tersebar di 10 kota besar Indonesia1, yaitu:
  • Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek)
  • Surabaya dan sekitarnya (Gerbangkertasusila)
  • Bandung
  • Semarang
  • Medan
  • Makassar
  • Yogyakarta dan sekitarnya (DIY, Sleman & Bantul)
  • Palembang
  • Denpasar
  • Banjarmasin
Sumber: AGB Nielsen Peoplemeter Technology, January 2010 (agbnielsen.net)

Ini sungguh aneh, apabila data yang diambil dari kota besar berdasarkan tingkat populasi penduduk terbanyak, seharusnya riset diambil dari kota berdasarkan urutan penduduk terbanyak seperti data di bawah ini2:

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Jawa Barat - Bandung
Jawa Timur - Surabaya
Jawa Tengah - Semarang
Banten - Serang
DKI Jakarta
Sumatera Utara - Medan
Sulawesi Selatan - Makassar
Lampung
Sumatera Selatan - Palembang
D.I. Aceh
Riau - Pekanbaru
Sumatera Barat - Padang
Nusa Tenggara Timur - Kupang
Nusa Tenggara Barat - Mataram
Kalimantan Barat - Pontianak
Bali - Denpasar
D.I. Yogyakarta
Kalimantan Selatan - Banjarmasin
Kalimantan Timur - Samarinda
Jambi
Sulawesi Tengah - Palu
Sulawesi Utara - Manado
Sulawesi Tenggara - Kendari
Kalimantan Tengah - Palangkaraya
Papua - Jayapura
Bengkulu
Kepulauan Riau - Tanjung Pinang
Maluku - Ambon
Kepulauan Bangka Belitung - Pangkal Pinang
Sulawesi Barat - Mamuju
Gorontalo
Maluku Barat - Ternate
Papua Barat - Manokwari
(38.965.440)
(36.294.280)
(31.977.968)
(9.028.816)
(8.860.381)
(12.450.911)
(7.509.704)
(7.116.177)
(6.782.339)
(5.201.002)
(4.579.219)
(4.566.126)
(4.260.294)
(4.184.411)
(4.052.345)
(3.383.572)
(3.343.651)
(3.281.993)
(2.848.798)
(2.635.968)
(2.294.841)
(2.128.780)
(1.963.025)
(1.914.900)
(1.875.388 )
(1.549.273)
(1.274.848)
(1.251.539)
(1.043.456)
(969.429)
(922.176)
(884.142)
(643.012)

Sumber: BPS Number of Population by Province, 2005 (datastatistik-indonesia.com)

Tidak diketahui pasti alasan Nielsen mengapa membagi data populasi pada 10 kota besar yang tak runut berdasarkan jumlah penduduk terbanyak. Apabila memang diambil berdasarkan jumlah populasi terbesar, harusnya Denpasar, Banjarmasin, DI Yogyakarta tidak masuk dalam hitungan, yang masuk adalah DI Aceh, Riau, Padang juga Lampung.

Perlu dicatat, yang diukur dalam Survey Kepemirsaan Televisi oleh AGB Nielsen hanya untuk televisi terrestrial alias televisi dengan jaringan siaran nasional, adapun televisi lokal tidak masuk dalam hitungan.


Rahasia Penghitungan Rating & Share

Koresponden AGB Nielsen tersebar di 10 kota besar Indonesia dan dibagi berdasarkan SES (Social Economic Status) kelas A, B, C, D dan E. Tidak diketahui pasti dasar pembagian tersebut, berapa banyak koresponden dari masing-masing kelas, Nielsen hanya mengatakan bahwa tingkat penyebaran panel didasarkan pada Establishment Survey (ES) di 10 kota besar. Dari sini dilakukanlah pembagian SES berdasarkan populasi yang persentasenya tidak sama antara kelas A, B, C, D dan E. Data yang diambil adalah pola kebiasaan penonton.

Adapun mengenai korespondennya siapa saja, Nielsen memberi batasan bahwa koresponden yang diambil adalah bukan orang televisi dan periklanan, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang memiliki hubungan teman atau tetangga.

Dalam Survey Kepemirsaan Televisi yang dilakukan Nielsen, mereka memberikan alat survey elektronik (peoplemeter) pada 2273 rumah tangga koresponden untuk dipasang di televisi yang ditonton dan untuk nantinya dipakai sebagai dasar pengukuran kebiasaan menonton televisi. Pembantu, sopir, satpam, tamu dan yang tidak terdaftar sebagai anggota rumah tangga koresponden tidak akan diukur.

Peoplemeter akan mengambil data pada koresponden ketika menonton televisi, jumlah penonton televisi di sekitar dengan tingkatan umur. Ada alat seperti remote control yang berisi tombol-tombol, seperti tombol 1 untuk ayah, tombol 2 untuk ibu dan sebagainya. Alat ini terhubung langsung ke kantor AGB Nielsen melalui sinyal GSM, Magnetic Media (CD) pun FTP untuk mencatat aktivitas dan perilaku pemirsa dalam rumah tangga koresponden. Saat mengganti channel, alat itu kembali menanyakan data penonton, begitu pula jika selesai menonton televisi, tombol untuk mematikan pengukuran harus ditekan sebagai tanda tidak diukur lagi. Cukup merepotkan, tapi itu sudah menjadi resiko dari koresponden AGB Nielsen, toh ada imbalan tertentu bila menjadi koresponden.

Data yang terkumpul oleh AGB Nielsen diolah dengan software statistik 'Ariana', data yang diolah adalah data-data berupa pemirsa, demografi, program yang ditonton, iklan, juga saat mengganti-ganti acara. Hasilnya berupa data kepemirsaan, data rumahtangga dan demografi responden, serta data perpindahan channel yang ditonton per menit dari panel rumahtangga yang telah diproses.

Agar kelihatan (agak) sedikit transparan di mata klien terhadap metode penghitungannya, Nielsen memberikan kesempatan bagi orang televisi untuk mengetahui validitas penghitungan dengan langsung melihat lokasi di lapangan, memantau langsung di lokasi apa yang dilakukan korespondennya. Tapi tetap dengan catatan, orang dari televisi itu tidak diperkenankan untuk mengenalkan diri pada koresponden dan menyebutkan identitas dirinya berasal dari stasiun televisi mana. Ditakutkan orang dari televisi tertentu bisa mempengaruhi kebiasaan menonton koresponden Nielsen.

Di sana orang televisi tersebut bisa melihat secara langsung perilaku koresponden dalam mengikuti pengambilan data riset Survey Kepemirsaan Televisi, pun alasan-alasan kenapa acara itu yang ditonton.

Selasa, 23 Februari 2010

Tentang Televisi, yang Makin Tak Bisa Diandalkan

Oleh: Hayu Hamemayu

Saya sudah sering mengeluh tentang televisi. Tapi kali ini saya ingin mengeluh lagi.

Ini tentang ketidakmampuan televisi menjawab kebutuhan dasar saya, atas informasi, dan juga hiburan. Awalnya saya masih mengira bahwa televisi mampu menjadi penyedia hiburan yang cukup ampuh. Kotak ajaib yang bisa menghapus lelah dan gundah di kala luang. Tapi ternyata saya salah. Televisi tak cuma tak pandai dalam menyampaikan informasi, tapi juga gagal dalam menghibur.

Bagaimana tidak? Tayangan apa yang bisa menghibur saya saat ini ketika televisi didominasi oleh acara-cara tidak bermutu yang membosankan dan begitu-begitu saja. Berita yang monoton. Reality show yang sok menggurui. Sinetron yang aktingnya pas-pasan dan adegannya menangis saja. Hingga tayangan komedi yang terus-terusan merusak properti.

Mulanya ada beberapa tayangan yang bisa saya andalkan. Macam Ninja Warrior, America’s Got Talent, atau TV Champion. Tapi lagi-lagi saya harus kecewa karena jadwal yang tidak menentu dan diubah-ubah sesuka hati stasiun televisi. Tak lagi bisa saya melihat acara yang cukup menarik dan apik dalam kacamata hiburan itu. Lalu apa yang saya dapat dari media yang penetrasinya paling besar di Indonesia ini? Jangankan informasi, hiburan saja sudah tak bisa dinikmati.

Belum soal “kepandaian” televisi dalam “mengajari” masyarakat sehingga orang sekarang bangga sekali jika kesedihan dan ruang privatnya diekspose di media. Mereka berlomba-lomba menangis, meratap, dan media memberikan ruang (yang sangat lebar) untuk itu. Bahkan ketika ratapan dan tangisan itu hanya untuk sekedar eksistensi, bukan untuk mencari dukungan atau meraih simpati.

Orang kemudian berbondong-bondong meniru, mengikuti apa yang mereka lihat di televisi. Kasus yang paling sering terjadi saat ini adalah soal kenakalan anak kecil (biasanya SD) yang berujung ke pengadilan. Entah dengan motivasi apa, orang tua zaman sekarang gemar sekali mengadukan perkelahian anaknya hingga pengadilan. Meskipun itu hanya gara-gara ketidaksengajaan atau ejek-ejekan khas anak kecil. Misal memanggil dengan nama bapak atau mengejek nama orang tua. Suatu hal yang sangat umum terjadi di saat kita SD atau SMP.

Saya masih ingat benar, ketika saya sekolah dulu, saya dibilang anak dalang karena nama bapak saya Sugito, hampir sama dengan nama dalang terkenal di masa itu: Hadi Sugito. Bahkan saat SMA, David, salah seorang sahabat saya “memfitnah” saya dengan mengatakan bahwa bapak saya adalah calon bupati Gunungkidul. Gara-garanya, nama salah satu kandidat calonnya adalah Sugito, meskipun bukan Sugito bapak saya. Tapi saya tidak marah, saya hanya ketawa-ketawa. Bahkan bapak saya pun tak tersinggung. Meski dia tahu benar apa yang menjadi permainan anaknya. Begitu juga dengan teman saya yang lain, dengan orang tua dan panggilan mereka masing-masing.

Lain dengan orang tua sekarang yang gemar sekali mengajak anaknya ke meja hijau untuk permasalahan yang menurut saya kadang terlalu sepele, bisa diselesaikan tanpa pengadilan. Mereka tidak mempertimbangkan kondisi psikologis anak, yang belum akil baliq saja sudah dilabeli sebagai terdakwa. Saya dengar, ada anak yang sampai stres, pingsan dan muntah-muntah segala. Kasihan, dalam kasus ini, justru anak yang jadi korban. Sementara orang tua sibuk sok-sokan menuntut tanpa mempedulikan duduk perkara yang sebenarnya.

Menurut saya, hal ini salah satunya disebabkan oleh apa yang mereka tonton di televisi. Ketika televisi menayangkan kasus-kasus seperti itu, mereka jarang menggulirkan wacana bahwa sebenarnya hal-hal seperti ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja. Misal dengan meminjam komentar ahli, psikolog anak atau hakim sendiri yang sering menekankan bahwa kasus-kasus seperti ini tidak perlu dibawa ke pengadilan. Media terutama televisi justru gencar memberitakan, mengekspos muka si anak dan menggembar-gemborkan informasi tentang kenakalan anak tanpa mempertimbangkan beban anak yang masih sangat belia tersebut.

Rupa-rupanya, selain tak lagi bisa diandalkan, televisi juga masih memberi dampak negatif bagi masyarakat. Meski studi tentang audiens pasif telah lama dikritik dan ditinggalkan, bagi saya, barangkali kemungkinan adanya tipe masayarakat yang seperti itu masih perlu kita kaji lagi. Karena ternyata, media tak hanya punya dampak bagi anak-anak tapi juga untuk orang dewasa.


note:
gambar dipinjam dari sini

Catatan Perjalanan Mendongeng

Assalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Salam dongeng,

Setelah hampir sebulan (bahkan "setahun") menunaikan amanah mendongeng
keliling di Jogja, barulah saya berkesempatan menuliskan laporan ringkas ini,
sebagai bentuk tanggung jawab moral sebagai pendongeng ...:-).

Perjalanan dongeng keliling (selanjutnya ditulis DK) terwujud atas undangan
penuh cinta dari mbak Yusi, pendiri Perpustakaan Keliling Bali, serta dukungan
penuh dari komunitas sanggar baca (Harapan Mulia-Bantul, Brayat Pesing - Kulon
Progo,Bukit Hijau-Bantul, Rumah Pelangi-Muntilan, Omah Ngisor-Magelang). Kami
bertiga (saya, mbak Yusi, mbak Susan asal Inggris) menghampiri sekaligus
menghibur anak-anak di beberapa sanggar di atas, dengan dongeng dan kegiatan
mewarnai.Kami pun juga berbagi ilmu dan pengalaman dengan para relawan di sana,
seputar pengelolaan taman baca.

Dari perjalanan DK tersebut,saya sampaikan beberapa catatan sebagai berikut :

1. Taman baca yang dipadukan dengan sanggar kesenian, merupaan kombinasi yang
tepat dalam "menggiring" minat baca anak-anak dan remaja. Aneka aktivitas
terkait membaca, dilakukan seiring dengan aneka aktivitas kesenian, yang
tampaknya merupakan ciri khas sekaligus kebanggaan tersendiri bagi tiap-tiap
sanggar.

2. Peran serta para relawan kesenian yang sekaligus sebagai relawan baca,
mengukuhkan dan mengikat anak-anak untuk selalu datang ke sanggar. Berlatih
menari, melukis, bermain musik, menonton video bersama-sama, menjadi kegiatan
keseharian.

Hal ini mestinya menjadi "cambuk" bagi pengelola taman baca yang belum/tidak
menggabungkan kegiatan seni dengan kegiatan membaca, untuk melengkapi
taman/rumah baca menjadi sebuah sanggar seni sekaligus taman baca.

3. Semangat untuk saling belajar sekaligus "bertukar" relawan demi langgengnya
kegiatan sanggar, juga terlihat. Mas Anto dari sanggar Omah Ngisor, misalnya,
rela menempuh perjalanan jauh untuk membagikan ilmu kepada pengelola sanggar
lain di sekitar lereng Merapi. Demikian pula mas Gunawan, pengelola sanggar
Rumah Pelangi, kerap bertandang ke beberapa lokasi yang cukup jauh, untuk
merancang dan mewujudkan kegiatan kesenian massal gabungan beberapa sanggar
taman baca.
Luar biasa !

4. Mendongeng, merupakan aktivitas "selingan" yang menarik minat anak-anak.
Demikian pula bagi para relawannya, yang sebagian tidak percaya diri bila
diminta mendongeng. Alhamdulillah, kami bisa berbagi pengalaman dan menumbuhkan
minat mereka untuk tampil mendongeng.

Oh ya, "amunisi" mendongeng yang sudah saya siapkan sejak dari Jakarta, juga
menarik minat mereka, karena saya membuat sendiri pernak-pernik dongeng dari
bahan-bahan di sekitar rumah. Guntingan kertas, tusuk gigi, serbuk teh, piala
imitasi, topi, sudah bisa dimanfaatkan sebagai alat mendongeng.

5. Pertukaran koleksi bacaan antar taman baca, seperti yang selama ini telah
dilakukan oleh mbak Yusi di Bali, turut menambah gairah para relawan. Secara
bergilir (setiap 2 bulan),koleksi bacaan baru yang sudah dikemas rapi dalam
kotak plastik besar, diantarkan langsung ke sanggar lain. Pertukaran koleksi
antar sanggar telah dikoordinasikan dengan baik oleh mas Gunawan dari Rumah
Pelangi.
Bagaimana dengan kota-kota lain ?

Mudah-mudahan laporan ringkas diatas memberikan inspirasi dan wawasan tambahan
bagi rekan-rekan pengelola taman baca dan perpustakaan dimanapun.

Terakhir, sebagaimana biasanya, saya menawarkan diri untuk mendongeng gratis
bagi taman baca dan panti asuhan di seputar Jakarta, di akhir pekan
(sabtu-minggu)atau sesudah jam kerja. Kirimkan saja SMS ke 0815 8604 9900 untuk
permintaan mendongeng. Tak perlu dijemput..;-).

Wassalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Hormat saya,


Sidik Budiyanto
Pendongeng Keliling
Ketua Dompet Sosial Al Kautsar (DSAK) - Jakarta

note:
gambar diambil dari facebook Pak Sidik

Kamis, 18 Februari 2010

Diperlukan Segera: Literasi Digital

Oleh: Wisnu Martha Adiputra

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan dua peristiwa yang berkaitan dengan Facebook. Peristiwa tersebut adalah prostitusi terselubung yang melibatkan perempuan-perempuan di bawah umur dan “penculikan” perempuan muda. Sebagian pihak menyalahkan Facebook sebagai sarana terjadinya tindak kejahatan. Sebagian lagi menyalahkan anak-anak muda yang terlalu naif dalam berinteraksi dengan orang lain yang masih asing. Sementara sebagian yang terakhir menyalahkan pengawasan orang tua yang kurang intens pada anak-anaknya.

Menurut penulis, semua pihak mesti bertanggung-jawab dalam beberapa kejadian yang melibatkan media baru, terutama internet, belakangan ini. Kecenderungan yang terjadi saat ini, terutama terbaca di media televisi, kita menyalahkan Facebook. Pengambinghitaman ini adalah sesuatu yang kurang tepat. Facebook bukanlah akar permasalahan yang sebenarnya. Lebih luas lagi, internet bukanlah permasalahan sebenarnya. Seperti halnya jenis media yang lain, baik itu media “lama” (majalah, suratkabar, radio, dan televisi), ataupun media “baru” (internet, game, dan handphone), semuanya potensial berdampak positif ataupun negatif. Tergantung dari penggunanya dan motif-motif yang melatarbelakanginya.

Penyebab utama dari penyalahgunaan media baru adalah ketidakpahaman dan ketiadaan kecakapan dalam berinteraksi dengannya. Kini kita sebagai masyarakat memerlukan literasi digital agar dapat mengakses media baru dengan lebih baik dan efektif. Apa itu literasi digital? Secara singkat literasi digital dapat didefinisikan sebagai ragam keterampilan atau kecakapan yang diperlukan oleh seorang individu ketika mengakses media baru.

Literasi digital merupakan perkembangan lebih jauh dari dua jenis literasi lain yang telah dikenal sebelumnya, literasi dan literasi media. Literasi adalah kecakapan yang berhubungan dengan media cetak. Pengakses yang memiliki tingkat literasi yang bagus akan lebih mungkin membaca, menulis, dan memahami konvensi dalam media cetak dengan lebih baik. Literasi seringkali disebut sebagai melek huruf. Pada masa lalu literasi dianggap sebagai indikator kemajuan sebuah masyarakat. Kemampuan baca tulis adalah salah satu penanda penting tingkat pembangunan di sebuah negara.

Sementara itu, literasi media yang dikembangkan dari konsepsi literasi, adalah kecakapan individu dalam mengakses media audio-visual, terutama televisi. Literasi media melihat bahwa rangkaian isi pesan media melalui gambar dan suara yang ditata sedemikian rupa tidak dapat menggunakan literasi. Literasi media di dalam bahasa Indonesia seringkali disebut dengan nama melek media. Kini literasi media berkembang dengan pesat di berbagai negara. Di Kanada dan Amerika Serikat, pengetahuan mengenai literasi dan literasi media bahkan masuk di dalam kurikulum sekolah dasar. Kedua negara tersebut sudah menyadari bahwa pemahaman atas media cetak dan media audio-visual mesti diteguhkan secara formal karena begitu pentingnya pemahaman atas media pada masa sekarang ini.

Kini di banyak negara di seluruh dunia, pemahaman mengenai literasi digital berusaha disebarkan dengan cepat karena dampak penggunaan media baru sudah sangat terasa. Literasi digital sendiri tidak memiliki nama yang sama di berbagai kalangan. Literasi digital bisa disebut literasi media baru (new media literacy), dan juga literasi komputer. Hal yang terpenting, apa pun namanya, jenis literasi terbaru ini memiliki prinsip bahwa pesan media baru itu konvergen atau bisa diakses dari banyak jenis media baru, proses komunikasi yang terjadi adalah proses multi arah, dan memperpendek ruang dan waktu.

Literasi digital diperkuat lagi dengan perkembangan teknologi internet yang telah mengarah pada perubahan mendasar yang menyatukan jaringan sosial di dunia nyata dan dunia maya. Karakter penyatuan tersebut hadir dalam web 2.0 (atau lebih). Media baru sekarang semakin menyatukan kehidupan sosial dan kehidupan virtual individu. Pesan media baru kini juga kebanyakan diproduksi oleh individu. Individu saling bertukar berita dan cerita yang berpotensi “mengganggu” kemapanan media arus utama. Kini lahirlah di media baru, varian lain jurnalisme, yang disebut sebagai peer to peer journalism dan citizen journalism.

Anak-anak adalah pengguna media baru yang cenderung belum tinggi tingkat kecakapannya sehingga rentan menerima interaksi yang multi arah tadi. Di dalam media lama atau media konvensional, datangnya pesan bisa diduga walaupun banyak. Sementara di dalam media baru, seperti Facebook di internet, pesan itu bisa hadir dari mana saja dan cenderung tidak terduga, baik jumlah dan arahnya. Bila tidak cakap, tidak hati-hati dan diawasi dengan baik, anak-anak adalah pengakses yang rentan terhadap efek negatif media.

Literasi digital seperti halnya kedua jenis literasi yang lain, perlu pula untuk diperluas menjadi urusan kolektif walaupun awalnya lebih ditujukan untuk individu. Hal ini terutama ditujukan untuk anak-anak yang belum lengkap kemampuannya dalam mengakses media baru. Dalam urusan mengakses internet, anak-anak seharusnya ditemani oleh para orang-tua untuk di sekolah dan para guru di sekolah.
Orang-tua dan guru adalah mitra anak-anak dalam mengakses media bukan pihak yang berbeda. Ironisnya, orang-tua dan guru belum menganggap menemani anak-anak bermedia sebagai aktivitas yang penting dan bermakna.

Ketiga ragam literasi sudah kita perlukan secara mendesak, terutama literasi digital. Literasi digital diperlukan untuk mengarungi samudera pesan media baru. Literasi digital diperlukan bagi anak-anak kita dalam “berenang” di media baru agar mendapatkan manfaat darinya. Anak-anak juga memerlukan orang dewasa sebagai mitra mengakses media. Tetapi, apakah itu mungkin, sementara ada orang-tua yang memiliki anak usia sekolah dasar membiarkan anaknya membuka account Facebook? Sebab individu sebenarnya baru boleh membuka account Facebook ketika berusia tiga belas tahun ke atas sesuai ketentuan pengelola Facebook dan tentunya rekomendasi dari para ahli.


(Opini ini dalam versi yang sedikit lebih singkat muncul di harian Kedaulatan Rakyat, 16 Februari 2010. Semoga literasi, literasi media, dan literasi digital semakin termasyarakatkan dengan baik)

note:
Gambar dipinjam dari sini

Minggu, 31 Januari 2010

[PENGUMUMAN] Pemenang Lomba Menulis Artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca"

Akhirnya tiba juga saat yang kita nantikan bersama, pengumuman pemenang Lomba Menulis Artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca" yang diselenggarakan atas kerjasama KOMPAK dan Lingkar Pena Publishing House!

Awalnya kami akan mengambil 3 pemenang utama dan 2 pemenang hiburan dari 26 artikel yang masuk. Namun ternyata kami menemui kesulitan karena seluruh artikel yang masuk ditulis dengan bagus, baik dari isi maupun penuturannya. "Beti alias beda tipis!" kata Mbak Deeyand Rahmadiyanti, CEO Lingkar Pena, yang menjadi juri untuk lomba kali ini. Karena "beti" itulah, akhirnya Mbak Dee meemutuskan untuk mengambil 3 pemenang utama dan 3 pemenang hiburan. Ini dia pemenangnya:

Pemenang:
1. Cinta Baca Sejak Dini (Syasya Azisya)
2. Panggung Imajinasi (Gita Lovusa)
3. Ayo Kenali Indonesia Lewat Dongeng dan Cerita Rakyat (Eka Nugraha Putra)

Hiburan:
1. Negeri Warna-warni dan Pesannya (Umi Laila Sari)
2. Membuka Dunia Bersama di Kecil (Dian Arymami)
3. Cinta Dongeng Cinta Baca: Virus yang harus Ditularkan (Norma Widayati)

Selamat kami ucapkan kepada para pemenang. Mohon dapat mengirimkan alamat untuk pengiriman hadiah ke alamat email yang sama dengan alamat email pengiriman artikel.

Kami juga mengucapkan terima kasih atas seluruh peserta yang telah berpartisipasi dalam lomba ini, semoga terus bersemangat berbagi untuk pendidikan anak bangsa.

salam KOMPAK!
Admin

Minggu, 03 Januari 2010

Dicari: Televisi Peduli Anak

oleh: Wisnu Martha Adiputra

Ada yang ingat atau tahu dengan nama Heri Setyawan? mungkin hanya sedikit dari kita yang tahu. Heri Setyawan, 12 tahun, adalah pelajar kelas I SMP. Namanya tidak seterkenal Prita Mulyasari dan Luna Maya, dua orang yang menjadi korban dan hampir menjadi "martir" dari UU ITE yang “katro” itu. Nama Heri juga tidak sepenting nama presiden kita yang cengeng, yang sedikit sedikit mengeluh dan mengadu pada rakyatnya. Semestinya pemimpinlah yang menjadi tempat mengadu rakyatnya. Bukan sebaliknya. Walau nama Heri Setyawan tidak begitu terkenal bila dibandingkan dengan Prita, Luna Maya, dan nama presiden kita, tetapi nama Heri bisa menjadi penting bila kita menjadikannya sebagai tonggak pembenahan televisi (swasta) kita. Peristiwa yang berkaitan dengan Hery Setyawan adalah salah satu peristiwa media pada bulan Desember lalu yang menarik untuk didedah.

Heri Setyawan adalah korban terkini dari tayangan televisi. Berdasarkan keterangan polisi, Heri tewas karena kecelakaan yang terjadi akibat menirukan aksi Limbad. Limbad adalah bintang acara The Master, acara kompetisi para pesulap profesional di salah satu stasiun televisi, RCTI. Pada berbagai aksinya, Limbad sering melakukan atraksi yang spektakuler dan membahayakan. Walau lebih banyak muncul pada malam hari di atas pukul 22.00 WIB, Limbad juga hadir sebagai bintang tamu pada program acara di waktu yang mudah diakses oleh anak-anak walau pada pukul 22.00 ke atas pun anak-anak masih mungkin menonton bila orang-tua yang seharusnya bertanggung-jawab tidak mengawasi.

Heri Setyawan adalah korban anak-anak kesekian sebagai akibat tayangan televisi yang tidak “sehat” bagi mereka. Belum lekang dalam ingatan kita, bagaimana acara Smackdown pada tahun 2004 dikecam habis-habisan oleh masyarakat karena menimbulkan korban jiwa dan luka-luka anak-anak yang tidak berdosa. Acara tersebut akhirnya dihentikan penayangannya setelah beberapa kali mengabaikan peringatan dari pihak berwenang.

Korban anak-anak ini adalah korban yang “riil”, artinya korban yang terluka ataupun meninggal dunia. Bagaimana dengan korban yang tidak riil? Misalnya anak-anak korban acara ngerjain beberapa tahun
yang lalu, anak yang depresi karena dikerjain membawa narkoba ke sekolah. Atau bagaimana anak-anak yang “dipaksa” menyanyikan lagu-lagu dewasa pada kontes menyanyi lagu anak-anak? Efek negatifnya mungkin tidak terlihat secara langsung tetapi berpengaruh secara psikis dan dalam waktu yang lebih panjang.

Biasanya, bila sudah timbul korban seperti ini, tidak ada pihak yang mau disalahkan atau bila tidak, berbagai pihak yang seharusnya bertanggung-jawab malah saling menyalahkan satu sama lain. Pihak RCTI misalnya, seperti diberitakan oleh Koran Tempo tanggal 17 Desember 2009, tidak ingin disalahkan karena telah mengklasifikasikan acara the Master sebagai tayangan untuk dewasa dan ditayangkan di atas pukul 22.00. seharusnya, pihak stasiun televisi juga mengawasi tayangannya dengan ketat dan jangan sampai tayangan yang tidak sesuai untuk anak-anak “merembes” ke mana-mana.

Pemerintah, seperti biasanya, tidak terdengar di dalam kasus meninggalnya Heri. Padahal untuk kasus yang lain, misalnya pelarangan buku, pemerintah terlampau cepat “bertindak” dan mengklasifikasikan buku yang dilarang sebagai hal yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Seharusnya pihak pemerintah membantu pihak berwenang lain, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), untuk mengawasi siaran televisi yang tidak sesuai untuk anak-anak dengan mensinergikan pengawasan tersebut pada pihak berwenang, semisal bidang pendidikan dan bidang budaya.

Pemerintah dan lembaga negara atau masyarakat sipil yang mewakili kepentingan publik juga mesti memperhatikan “tayangan” pesan media yang lain, tidak hanya televisi. Kasus munculnya korban dari Smackdown dulu sebenarnya juga dipengaruhi oleh game konsol Smackdown yang mudah didapatkan dan dimainkan di rumah atau pun di arena bermain. Demikian juga pesan media yang lain. Perhatian harus terus ada walau hampir tidak mungkin mengawasi keseluruhan pesan media mengingat perkembangan teknologi komunikasi yang demikian canggih dan cepat.

Negara juga bisa merevitalisasi lembaga penyiaran publik yang telah digagas sejak tahun 2002. Bila memang “mendisiplinkan” televisi swasta begitu sulitnya, model penyiaran alternatif bisa dikembangkan, yaitu penyiaran publik dan juga penyiaran komunitas. Negara, atau pemerintah dalam skup lebih kecil, bisa memfasilitasi produksi pesan audio visual seperti pada masa lalu di mana fasilitasi oleh negara menghasilkan program acara bagus seperti Aku Cinta Indonesia,Si Unyil, Losmen, Jendela Rumah Kita dan Rumah Masa Depan.

Pihak yang paling berkaitan dengan anak-anak adalah pihak yang paling penting. Siapa mereka? Mereka adalah orang dewasa yang ada di masyarakat. Tidak hanya orang tua, tetapi juga seluruh warga dewasa dalam sekelompok masyarakat. Di sekolah misalnya, kelompok manusia dewasa itu adalah guru. Guru bisa memberikan pemahaman tentang televisi yang sebenarnya pada peserta didik, sekaligus menggunakannya sebagai media pembelajaran. Di rumah, kelompok dewasa itu antara lain adalah orang-tua. Orang tua harus memperhatikan tayangan televisi untuk anaknya. Seperti halnya konsumsi makanan, “konsumsi” tayangan televisi pun seharusnya diatur dan diawasi oleh orang tua.

Komisi Penyiaran Indonesia juga wajib memberikan peringatan dan pengawasan terus-menerus agar stasiun televisi tidak terlalu lepas tangan terhadap tayangannya sendiri walau hal ini sulit. Ada banyak kejadian yang menunjukkan bagaimana stasiun televisi di Indonesia bisa seenaknya dan tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Bukti yang terakhir adalah pihak stasiun televisi yang belum sepenuhnya mau bersinergi dengan pihak lokal padahal sudah diamanatkan oleh UU no 32 tentang Penyiaran sejak tahun 2002 dan seharusnya sudah diterapkan pada tahun 2007.

Orang tua wajib menemani anak-anak yang belum mengerti ketika menonton selain juga membatasi durasi waktu menonton. Bila orang tua tidak dapat melakukannya karena berbagai hal, terutama karena bekerja, orang tua dapat menitipkan anaknya pada orang dewasa lain di rumah untuk menemani anak-anak menonton televisi.

Para orang tua dalam sebuah komunitas juga sebaiknya saling berbagi mengenai tayangan televisi. Hal ini mesti dilakukan karena tingkat literasi media untuk para orang tua pun berbeda-beda, ada orang tua yang paham tetapi juga ada yang tidak. Ada orang tua yang tidak peduli dengan dampak tayangan televisi dan orang tua yang peduli haruslah mengingatkannya.

Bila sudah demikian, berarti kita menempatkan tayangan televisi sebagai kepentingan bersama. Bila banyak kelompok masyarakat sudah sadar akan arti televisi yang sehat bagi anak-anak, mereka akan memiliki keinginan dan “kekuatan” untuk memberi masukan kepada pihak penyelenggara siaran televisi. Setahu saya, sudah banyak elemen masyarakat sipil yang bergerak di bidang literasi media secara umum dan juga secara khusus, gerakan penyadaran media peduli anak. Yogyakarta misalnya, memiliki sekitar sepuluh organisasi masyarakat sipil yang peduli pada peningkatan pemahaman terhadap media.

Kasus ini adalah tonggak kita sebagai bangsa untuk membenahi (lagi) tayangan televisi kita yang cenderung melupakan peran pentingnya bagi masyarakat. Jangan sampai ada Heri yang lain, anak-anak korban tayangan televisi yang tidak sesuai bagi mereka.

Sebab, bagaimana pun juga, televisi Indonesia mungkin memiliki potensi bagi kemajuan bangsa ini…

Sebab, anak-anak pasti adalah elemen terpenting bagi bangsa ini di masa mendatang….

note: gambar dipinjam dari sini