Rabu, 24 Maret 2010

Serba Salah Televisi

Oleh: Tian Arief

Hidup tanpa televisi, kenapa tidak? Kami pernah menjalaninya kira-kira tiga tahunan. Itu terjadi setelah Sony 17 inch yang bertahun-tahun setia menghuni ruang tamu kami, rusak total. Televisi imut itu sengaja kami biarkan teronggok di bawah meja, biar kami tidak bisa menonton plus-minusnya siaran televisi.

Aku sendiri sih, tetap bisa nonton televisi sesekali, sewaktu di kantor. Dan kami juga masih bisa sesekali nonton televisi, sewaktu berkunjung ke rumah mertua di Jakarta.

Tayangan televisi, selain informasi (berita, talkshow, atau features), juga berisi hiburan, mulai dari film hingga sinetron --yang banyak mengumbar hedonisme dan kekerasan. Selain itu, ada pula iklan, yang memicu kami pada sikap komsumtif.

Ada tambahannya, Fay, anak semata wayang kami, kosa katanya banyak didominasi kata-kata iklan. Fay, terus menyerap kosa kata dari tayangan televisi, khususnya iklan, yang memang disukainya.

Sejak pesawat televisi rusak, kami jadi lebih tenang. Tak ada lagi bujuk rayu dari tayangan iklan yang menggugah selera, tak ada lagi suara teriakan-teriakan dari promo sinetron kejar tayang.

Tapi lama-lama Fay tidak tahan juga. Ia memaksa kami untuk kembali mengadakan televisi di rumah, dengan caranya sendiri. Setiap bertemu siaran televisi, di mana pun berada, Fay antusias sekali menyaksikannya dari dekat. Tampak sekali seperti anak yang tak pernah nonton televisi (dan memang kenyataannya begitu).

Yang terasa mengganggu, saat Fay memaksa-maksa menonton televisi dari tetangga, kapan pun ada kesempatan. Fay, yang belum mengerti tata krama, langsung menerobos begitu saja di mana pesawat televisi menyala; di ruang tamu, ruang keluarga, bahkan kamar tidur. Kami jadi tidak enak dibuatnya.

Hingga akhirnya, kami mengalah. Sebuah TV Tunner pinjaman kami pasang di monitor komputer yang sudah tidak terpakai. Maka, monitor komputer itu jadilah sebuah pesawat televisi.

Fay kembali pada hobi lamanya: menyaksikan tayangan iklan, dan setelah habis, ia memindahkan channel ke stasiun lain yang tengah menayangkan iklan. Kosa-kosa kata, terutama dari operator seluler yang sedang "perang promo" pun sering menghiasi bibirnya.

Dampak lainnya, kami jadi punya sumber hiburan, di saat senggang.

Tapi kami sudah menetapkan aturan; saat adzan maghrib berkumandang, televisi harus dimatikan, dan Fay harus berwudhu untuk shalat maghrib. Menjelang pukul delapan malam, televisi juga dimatikan (sementara), biar Fay bersiap-siap tidur.

Dan malam hari, televisi monitor komputer itu pun jadi milik kami, ortu yang haus hiburan.


Note:
Gambar dipinjam dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar