Kamis, 18 Maret 2010

Dunia Palsu

Oleh: Luqman Hakim


Imitation is the sincerest form of television
Kepalsuan adalah bentuk yang paling tulus dari televisi

Fred Allen, Komedian Absurd Amerika (1894 - 1956)


Pulang kerja, akhir pekan, bersantai di rumah, hiburan mudah dan gampang dicari adalah televisi. Ada 11 saluran televisi nasional dan beberapa saluran televisi lokal yang selalu menunggu dan siap untuk diperhatikan.

Menyaksikan kepalsuan, melihat keindahan di luar angan, mengamati kehidupan orang lain dalam kotak kaca, hal yang meninabobokkan.

Lahirlah generasi televisi, anak-anak yang dibesarkan dengan suara dan gambar yang keluar dari layar kaca. Orang tua dan pengasuh yang capek menjaga anak, membiarkannya berimajinasi dengan tontonan di luar batas kapasitas mencerna.

Di Jepang, tahun 1997 tercatat tak kurang 685 anak terserang photosensitive epilepsy atau bentuk kejang yang dipicu oleh rangsangan visual saat menyaksikan film kartun Pokemon episode 'Pocket Monster' (webmd.com).

Menonton televisi di ruangan gelap dalam jarak dekat, tayangan dengan transisi gambar sangat cepat dengan warna cahaya yang mencolok, membuat mata bekerja ekstra keras untuk dikirim ke otak dan dicerna di sana. Saat begini rentan dan mudah terkena photosensitive epilepsy.

Acara liputan investigatif apalagi reality show banyak memiliki sisi kelam. Acara yang mengangkat kisah nyata tentang kehidupan beserta pernak-perniknya sebenarnya tidak nyata dan sudah diset oleh produser dengan seperangkat kru lewat skrip kreatif. Tayangan-tayangan aneh yang sepertinya tak akan ada di dunia nyata tapi bisa tampil di tv, semua itu ada makelarnya, broker khusus yang menyediakan talent sampai eksekusi shooting. Mau liputan investigatif apalagi reality show, semua bisa disediakan berdasarkan skrip.

Bayaran masing-masing talent berkisar antara Rp 25.000 s.d. Rp 250.000, tergantung atas kelihaiannya dalam berakting (baca: menipu pemirsa). Ketika program acara disodorkan ke televisi, harga jelas di-generate dalam sebuah paket tayangan dan tidak dijabarkan secara rinci. Kecuali bila diminta, namun sangat jarang. Elemen harga termahal adalah konsep dan ide kreatif (baca: seluk-beluk menipu pemirsa hingga kecanduan menonton acara model begini).

Bak membuat film, sebuah adegan yang ter-captured kamera bisa disuruh ulang apabila gambar tak bagus.

Di studio juga sama. Apabila bangku penonton di dalam studio tak terisi penuh, ini jelas merusak gambar. Untuk menyiasatinya broker khusus penonton menyediakan pemirsa studio bayaran yang bisa disuruh-suruh produser. Disuruh teriak, mencemooh, tepuk-tangan, ikut aktif dalam acara, pokoknya apa saja. Istilahnya PSK (Penonton Studio Komersial), dibayar oleh televisi dengan bayaran Rp 50.000 perorang untuk tiap acara, tapi oleh broker sudah dipotong dan para PSK hanya menerima Rp 20.000 s.d. 30.000 saja.

Tak ada kejujuran dalam tayangan model begini, tanpa harus menyebut program acara apalagi stasiun televisinya, semua yang ada sudah teratur dan terencana.

Liputan kriminal lebih menyeramkan lagi, jurnalis di lapangan bisa mengarahkan polisi saat penggerebekan. Tersangka bisa diarahkan untuk dipukuli massa, bahkan ditembak mati di lokasi dengan alasan biar gambar bagus dan mencengangkan pemirsa. Polisi sudah mahfum dengan hal-hal begini, hanya polisi bodoh saja yang mau menuruti kemauan jurnalis bodoh.

Dalam televisi, pemirsa disuguhi acara sampah yang jauh dari mencerdaskan. Sedikit sekali yang benar-benar dekat dengan pengetahuan. Kebohongan, kepalsuan, kemunafikan, kekerasan, itulah yang disuguhkan oleh televisi.

Maaf, sebagai orang yang pernah ada dalam lingkaran dunia broadcasting, terpaksa harus saya bongkar segala kepalsuan ini. Toh kita senang dibohongi, dan itulah yang jadi komoditi televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar