Jumat, 31 Juli 2009

Pengumuman Pemenang Kuis "Media Diet for Kids"

Dear sahabat KOMPAK,

Seperti yang telah kami tulis dalam pengumuman kuis yang lalu, pemenang kuis akan diumumkan pada hari ini. Sungguh, sulit bagi kami, admin KOMPAK dan perwakilan dari penerbit Serambi untuk memilih pemenangnya. Semua tulisan disusun dengan sangat bagus, baik dari materi maupun penulisannya.

Namun karena harus memilih, akhirnya, berikut ini 5 tulisan yang kami anggap sebagai tulisan terbaik dari 15 artikel yang masuk :

Pemenang I : Pengaruh Media (Debby M. Yunitasari)
Pemenang II : Berbagi Jatah Waktu Menonton Meminimalisasi Dampak Buruk TV (Umi Laila Sari)
Pemenang III : Aku Ga Mau Nonton Itu, Ah! (Yudith Listiandri)
Pemanag Hiburan I : Selalu Ada Hari Tanpa TV (Yudith Fabiola)
Pemenang Hiburan II : Media Cetak & Media Elektronik (Elin Marlina)

Para pemenang harap dapat mengirimkan alamat (di Indonesia) untuk pengiriman hadiah ke e-mail pengiriman artikel kemarin.

Selamat kepada para pemenang dan terima kasih atas partisipasi sahabat semua. Semoga kita semua dapat makin bersemangat dalam usaha memberikan media & hiburan yang sehat bagi anak Indonesia!

salam KOMPAK! :)

Kamis, 23 Juli 2009

Menonton Televisi itu seperti Makan: Melindungi Anak dari Tayangan Televisi yang Tidak Sehat

Oleh Wisnu Martha Adiputra

Literasi media, terutama untuk anak-anak dan remaja, telah menjadi perhatian saya dan teman-teman sejak tahun 2005. Di tahun itu, saya dan beberapa teman mendapatkan grant riset dari Ristek untuk meneliti literasi media pada remaja di tiga kota.

Jadi, bila mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dan menyebarkan “virus” literasi media, saya akan sangat senang mengikutinya. Kesempatan itu datang kemarin (21 Juli 2009). Kemarin itu saya menjadi narasumber dalam debat interaktif di Jogja TV. Acara tersebut diselenggarakan oleh KPID dan Jogja TV dan berdiskusi tentang melindungi anak dari tayangan televisi yang tidak sehat.

Narasumber acara tersebut, selain saya, adalah Surach Winarni (anggota KPID DIY) dan Ratna Susetya W. (tim pemantauan dari KPID). Mbak Surah berbicara dalam kapasitasnya sebagai komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah yang memiliki program rutin mensosialisasikan cara menonton televisi yang baik pada masyarakat, selain tugasnya yang utama yaitu mengeluarkan peraturan berkaitan dengan penyiaran di DIY.

Mbak Ratna merupakan representasi dari masyarakat yang peduli pada tayangan yang baik. Ia adalah salah seorang anggota tim pemantau yang menjadi mitra KPID. Sementara saya sendiri mewakili akademisi, sekaligus juga individu yang mencoba peduli dengan kondisi penyiaran Indonesia yang tidak kunjung membaik.

Di dalam wilayah akademis, “perlindungan” atau kesadaran individu dalam mengakses pesan media, berada dalam wilayah konsep literasi media. Seringkali literasi media diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai melek media. Saya pribadi tidak setuju dengan padanan tersebut karena konsep melek media menghilangkan nuansa individu yang proaktif ketika berinteraksi dengan media.

Untuk memudahkan kita, terutama dikaitkan dengan tayangan anak, konsep literasi media itu bisa kita analogikan dengan aktivitas diet dan berenang.
Tayangan televisi ataupun pesan media secara umum dapat kita metaforkan sebagai makanan. Ia mesti dipilah dan dipilih agar kita mengkonsumsi “makanan” itu dengan baik. Selain itu, sebagaimana halnya makanan empat sehat lima sempurna di mana makanan itu memiliki banyak jenis dan kegunaan yang berbeda, demikian juga dengan pesan media.

Pesan media itu terdiri dari beragam jenis. Secara mudah, seperti yang dikatakan James Potter, pesan media terdiri dari tiga jenis; berita, hiburan, dan iklan. Ketiga jenis pesan itu memerlukan perhatian yang berbeda dan “dicerna” secara berbeda pula.
Melalui analogi tersebut, kita sering mendengar istilah diet media. Diet media memperhatikan apa dan bagaimana kita mengkonsumsi “makanan” yang ditawarkan media. Pesan media itu, untuk anak-anak, ada yang tidak boleh “dimakan”, ada yang boleh “dimakan” tetapi tidak boleh berlebihan, dan ada juga pesan media yang harus “dimakan”.

Pesan media yang tidak boleh “dimakan” oleh anak-anak misalnya sinetron untuk remaja dan berita. Pesan media yang boleh diakses oleh anak-anak tetapi dengan terbatas adalah semua film anak di mana orang tua mesti mengawasi. Ada yang pesan media yang sebaiknya, bahkan harus, diakses oleh anak-anak. Pesan media yang termasuk kategori ini adalah program acara yang sesuai dan aman untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Acara seperti “Bocah Petualang” dan “Laptop si Unyil” di stasiun televisi Trans 7 termasuk dalam kategori ini.

Analogi lain untuk aktivitas mencerna media adalah literasi media itu seperti berenang. Informasi dan pesan media bisa kita anggap sebagai “lautan” di mana audiens, terutama anak-anak, mesti memiliki kecakapan atau kemampun tertentu untuk menempuh “lautan” itu. Literasi media adalah kecakapan tersebut. Kecakapan yang membantu individu merasakan manfaat yang positif dari media, terutama televisi.

Literasi media sendiri terdiri dari tiga tingkat. Tingkatan tersebut adalah tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Literasi media tingkat tinggi diperlukan oleh orang-orang yang mempelajari media atau yang memiliki profesi berkaitan dengan dunia media dan komunikasi, semisal wartawan dan praktisi humas.
Sementara, masyarakat umum sebaiknya memiliki literasi media pada tingkat menengah, yaitu pada jenis-jenis pesan dan konsekuensinya. Literasi media tingkat dasar sebaiknya dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat karena ini adalah pondasi bagi masyarakat informasi.

Bila dikaitkan dengan anak, tayangan televisi memiliki problematikanya sendiri. Problem yang utama tentu saja dualitas konsep tersebut: anak sebagai penonton atau anak sebagai tontonan. Aspek pertama berkaitan dengan audiens, sementara yang kedua berkaitan dengan pesan atau tayangan.
Problem yang kedua adalah: anak-anak dalam usia apa? Anak-anak sebelum usia dua tahun, anak-anak usia 3 – 5 tahun, anak-anak pendidikan dasar, dan anak-anak pra-remaja. Semua jenjang usia anak-anak tersebut memiliki perbedaan besar dalam mengakses pesan media.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang-tua agar anak-anak kita tidak mengkonsumsi tayangan tidak sehat? Untuk anak usia dua tahun ke bawah direkomendasikan tidak menonton televisi sama sekali. Tidak hanya televisi sebenarnya, tetapi juga layar, termasuk layar monitor dan pesawat televisi untuk memainkan konsol game.

Anak-anak usia dua sampai lima tahun sebaiknya ditemani ketika menonton. Anak-anak usia ini benar-benar tidak diperbolehkan menonton acara yang bukan untuk usianya. Bila pun harus menonton, sebaiknya orang tua mengawasi aktivitas menonton tersebut. Orang tua sebaiknya ada di sisi anak untuk menjelaskan informasi di tayangan yang tidak ia pahami.

Bagaimana bila sang orang tua bekerja? Ini juga tidak masalah. Pengawasan tidak harus berarti kehadiran fisik. Pengawasan di sini adalah bagaimana orang tua mengatur dan merencanakan tontonan untuk anak. Bila tidak bisa betul-betul hadir mengawasi, orang tua dapat menitipkan diet menonton televisi tersebut pada orang-orang dewasa di rumah.

Anak-anak usia enam sampai dua belas tahun disarankan menonton televisi ataupun mengakses media yang lain asalkan isinya sesuai dengan usianya. Bagaimana pun juga, media adalah sumber informasi utama pada masa sekarang ini.
Walau demikian, hal yang juga mesti diingat oleh orang tua adalah keseimbangan antara aktivitas menonton tv dan mengakses media, dengan aktivitas fisik. Jangan sampai aktivitas menonton menjadikan aktivitas fisik, seperti bermain di lapangan dan berolahraga terlupakan. Jangan sampai aktivitas menonton tv menjadi saran eskapisme dari aktivitas fisik.

Akhirnya, jangan takut dengan tayangan televisi. Dengan analogi diet dan berenang kita bisa “menaklukkan” televisi dan mempergunakannya sebesar mungkin untuk kepentingan anak-anak kita.

note: gambar diambil dari sini

Anak dan Ketergantungan Media

Ditulis oleh Trias Saputra
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Manusia bergantung pada media. Media di sini tidak hanya terbatas pada media cetak maupun elektronik, namun juga media interaktif (contohnya internet). Hal inilah yang sedang menimpa manusia sekarang. Kita dapat melihat bagaimana kebutuhan akan media berkembang pesat. Kebutuhan akan media yang berkembang pesat disebabkan adanya suatu anggapan bahwa siapa yang menguasai informasi maka ia yang akan bertahan di tengah arus globalisasi yang kian deras. Selain kebutuhan akan informasi, media juga dapat dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lainnya seperti hiburan, membangun sebuah hubungan, bahkan kebutuhan yang bersifat rohaniah. Hal tersebut membuat media berperan besar dalam kehidupan manusia atau bahkan mengendalikan kehidupan manusia.

Perkembangan teknologi yang ada membuat media semakin mudah untuk diakses. Misalnya saja internet yang kini sedang populer. Menjamurnya warnet (warung internet), hadirnya hot spot, dan adanya handphone yang terkoneksi internet membuat internet menjadi mudah untuk diakses. Teknologi juga membuat media lain seperti koran dan televisi semakin asyik untuk dinikmati. Kemudahan dan keasyikan ini tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa namun juga oleh anak-anak. Harus kita sadari bahwa media telah menyentuh berbagai segi kehidupan manusia. Dan di dalamnya termasuk anak-anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak sekarang sangat menggemari media yang ada. Mulai dari komik, majalah, televisi, dan bahkan yang terbaru adalah internet. Fenomena ini tentu saja membawa berbagai dampak bagi anak-anak. Informasi dan pengetahuan yang melimpah yang didapatkan anak-anak dari media memang menjadi keuntungan tersendiri. Namun yang menjadi masalah adalah munculnya kekhawatiran dari beberapa kelompok individu terhadap dampak negatif adanya media. Kekhawatiran ini menjadi wajar ketika melihat berbagai kasus di mana anak-anak berbuat kekerasan hanya karena meniru apa yang disajikan oleh media. Kekhawatiran ini menjadi wajar mengingat media sekarang sedang terjebak fundamentalis pasar. Sehingga media lebih mementingkan kebutuhan pasar. Hal tersebut berimbas pada kualitas dari apa yang disajikan oleh media. Media menganggap apa yang disajikan hanya sebagai komoditas belaka. Sajian yang berorientasi pada nilai dan pelajaran moral mulai disingkirkan dan digantikan dengan sajian yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan industri.

Melihat fenomena tersebut, seharusnya kita menjadi waspada dan peduli terhadap masa depan anak-anak kita. Dapat kita bayangkan bila anak sebagai individu yang masih labil dan mudah terpengaruh harus mendapat pengaruh negatif dari media. Dalam sebuah teori yang bernama teori Jarum Hipodermik dikemukakan bahwa kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif tak berdaya. Kekuatan media yang mempengaruhi khalayak ini beroperasi seperti jarum suntik, tidak kelihatan namun berefek (Severin – Tankard, Jr, 2005: 152). Berdasarkan teori ini dapat kita lihat bahwa sajian negatif yang ada di media dapat mempengaruhi perilaku sang anak.

Oleh karena itu anak harus diberikan perhatian lebih. Perhatian ini tidak hanya diberikan oleh pemerintah melalui kebijakannya, namun yang lebih penting adalah kontrol dari keluarga. Kontrol keluarga tersebut harus berorientasi pada pencegahan. Sehingga pengaruh negatif tersebut dapat dikurangi sedini mungkin. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengontrol dan melindungi anak-anak dari dampak negatif media.

1.Mencari alternatif media yang lebih kecil dampak negatifnya. Pengalaman penulis dapat membuktikannya. Dulu ketika penulis masih duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), televisi penulis mengalami kerusakan. Penulis yang waktu itu sangat menggemari tayangan televisi dan bahkan dapat menonton hingga jam dua belas malam menjadi sangat bosan. Ternyata tanpa diketahui ibu penulis memang membiarkan televisi itu rusak. Selain karena ayah penulis yang bisa membenarkan televisi belum pulang dari Jakarta (rumah penulis berada di Yogyakarta), ibu juga prihatin melihat penulis yang berlebihan dalam menonton televisi. Ibu merasa bahwa penulis jadi malas dan selalu tidur malam. Tanpa sengaja penulis melihat radio yang lama tidak dipakai. Setelah mencoba menyalakan radio beberapa kali, ternyata ada kesenangan yang ditemukan. Penulis menganggap bahwa radio tidak membuat mata lelah, dapat meningkatkan imajinasi karena harus menggambarkan apa yang dikatakan penyiar dalam pikiran (pada waktu itu penulis suka mendengarkan cerita silat), dan membuat penulis belajar untuk mendengarkan orang lain.

2.Menulis apa yang didapatkan dari media. Keluarga harus mengajari anak untuk menjadi aktif dalam menikmati apa yang disajikan media. Misalnya saja ketika menonton acara di televisi, anak dapat diajak untuk menulis apa yang menarik yang ia dapatkan dari acara yang ditonton. Kemudian keluarga dalam hal ini orangtua memberikan catatan dan masukan untuk tulisan tersebut. Cara ini secara tidak langsung meningkatkan kreativitas anak.

3.Mencari kegiatan yang tidak berhubungan dengan media. Misalnya saja bermain permainan tradisional dan ikut dalam komunitas atau organisasi. Hal ini dikarenakan media seperti komik, televisi, game online, dan internet membuat anak tidak dapat berinteraksi dengan temannya secara maksimal. Anak akan cenderung individualistis dan egois. Langkah ini secara tidak langsung akan mengurangi ketergantungan anak terhadap media.

Akan tetapi dari berbagai cara yang ditawarkan, yang terpenting adalah teladan. Teladan dari orang tua dan keluarga yang membuat anak akan terhindar dari dampak negatif dari media. Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat, sehingga larangan terhadap sesuatu hanya akan membuat anak semakin penasaran. Teladan dari orang tua dan keluarga menjadi jawabannya dan akan membuat anak secara cerdas mengetahui hal yang buruk dan baik. Selain itu keberhasilan ketiga hal di atas juga ditentukan oleh teladan dari orang tua. Tanpa teladan dari orang tua dan keluarga, ketiga hal tersebut hanya bagaikan memukul dalam air.

Daftar Pustaka
Severin Werner J. dan James W. Tankard, Jr. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Ke-5. Jakarta: Kencana.


note:
gambar diambil dari sini

Pengaruh Media

Ditulis oleh Debby M. Yunitasari
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Anakku Daffa (kini 3 tahun 7 bulan) dapat mengoperasikan laptop sejak berusia 2 tahun. Awalnya ayahnya mengenalkan Daffa dengan “CD Interaktif Anak Cerdas” dari Akal Interaktif. Dari CD tersebut, Daffa belajar mengenal abjad, angka, warna dan bentuk. Kemudian, dilanjutkan CD-CD berikutnya dari Akal Interaktif, yakni 3 seri CD Interaktif Anak Mandiri: “Aku Berani Sendiri”, Aku Suka Sekolah” dan “Aku tidak Takut ke Dokter” serta “Aku Anak Islam”. Ada juga CD Interaktif dari G Compris dan Childsplay.

Kami berdua senang karena Daffa mempunyai mainan edukasi. Dengan cepat dia mahir bermain berbagai CD Interaktif tersebut. Meskipun begitu, kami juga tidak membiarkan Daffa bermain seharian penuh. Kami membatasi waktunya maksimal 1,5 jam tiap kali main. Dia kami izinkan bermain CD Interaktif setiap hari. Dan dalam sehari, dia bisa bermain beberapa kali.
Menjelang usia Daffa 3 tahun, ayahnya menambahkan games “Super Mario” dan mengenalkannya pada Daffa. Dalam waktu singkat, Daffa mahir memainkan games tersebut. Disusul dengan beberapa games lain, yaitu “Charma”, “Zuma Deluxe”, “Dynomite Deluxe” dan “Pac Mania II”. Akhirnya, Daffa “kecanduan” nge-games.Tiada hari tanpa main games. Akibatnya, kadang kesepakatan waktu maksimal 1,5 jam sekali nge-games terlanggar. Belum lagi, dia juga tertarik pada games yang terdapat di handphone.

Daffa bisa sangat asyik kalau sudah nge-games. Apa saja terkalahkan, pokoknya. Bahkan, terkadang jadwal mandi, makan, tidur menjadi kacau hanya karena dia tidak mau berhenti nge-games karena sudah terlanjur asyik. “Ntar dulu, Bunda!”,begitu selalu katanya.
Kami berpikir hal ini tidak baik buat Daffa. Akhirnya kami membuat kesepakatan baru, Daffa hanya boleh nge-games di laptop hari Sabtu dan Minggu. Kalau untuk games di handphone kami masih bisa fleksibel, asalkan dia tidak memainkannya terlalu lama. Awalnya Daffa menolak kesepakatan baru itu dan tak jarang juga dia menangis saat tidak diizinkan main games. Tapi kami selalu memberi pengertian padanya bahwa terlalu sering main games juga kurang baik. Kami sampaikan matanya bisa sakit jika terlalu sering menatap layar laptop dan handphone. Berkat kekonsistenan kami, lama lama Daffa bisa menerima bahwa dirinya hanya boleh nge-games Sabtu dan Minggu.

Kadang, saya merasa kasihan juga jika dia “menghitung hari”. “Bunda, ini hari Selasa ya. Berarti besok Rabu, Kamis, Jumat, terus Sabtu. Daffa boleh main games deh…”, begitu katanya. Tapi, kami meyakini anak memang harus diberi batasan tegas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan,demi untuk kebaikannya kelak.

Selain laptop dan handphone, kami juga sangat selektif dalam tontonan televisi. Dia hanya kami izinkan menonton film kartun pilihan kami, seperti “Dora the Explorer”, “Diego”, “The Backyardigans”, “Wonder Pets”, dan “Finley the Fire Engine”. Kami tidak mengizinkan Daffa menonton film film kartun yang banyak “adegan kasar ataupun kalimat yang kurang baik” seperti “Tom and Jerry”, “Sponges Bob”, “Popeye the Sailorman”, “Doraemon”, dan “Sinchan”. Juga film film kartun yang sebenarnya untuk konsumsi remaja seperti “Avatar” dan “Naruto”. Untungnya, Daffa mau menurut meskipun sebelumnya protes. “Kenapa gak boleh nonton Popeye?”,tanyanya. “Karena Popeye filmnya kasar, banyak berantem berantemnya, “ jawab saya. Lama-lama, Daffa bahkan mengganti sendiri channel TV jika ada film film yang kami larang. ”Gak bagus filmnya, banyak berantem berantemnya,” katanya, jika ada “Popeye” atau “Tom and Jerry” atau “Filmya gak bagus, buat seumuran Mas Heri,” katanya, jika ada film “Avatar” atau “Naruto” sambil menyebut nama anak tetangga kami yang sudah duduk di bangku SMP.

Daffa lebih banyak menonton film kartun pagi hari. Dia pernah mempunyai jadwal rutin menonton film kartun, yakni pukul 07.00-08.30, berturut-turut dari “Dora”, “Backyardigans”, dan “Wonder Pets” yang masing masing berdurasi 30 menit. Karena dia sudah menonton TV selama 1,5 jam, setelah film terakhir habis, habis pula jatahnya menonton TV di pagi hari. Siang atau sorenya jika dia ingin menonton TV lagi, saya mengizinkan. Biasanya Daffa menonton “Finley” atau “Rolli Olli Polli”.

Namun, kemudian ada perubahan jadwal acara di stasiun TV yang sama. Mulai pukul 08.30, film kartun “Blue’s Clues” diganti dengan “Diego”. Nah, Daffa juga suka nonton “Diego” dan kebetulan filmnya juga bagus. Film ini mengajarkan kepada anak untuk menyayangi hewan. Jadwal menonton Daffa pun bertambah, dari 1,5 jam menjadi 2 jam. Saya sendiri sebenarnya juga bingung film mana yang mesti “dihapus” dari jadwal menontonnya karena menurut saya kekempat film kartun tersebut bagus semua.

“Dora” bercerita tentang Dora yang pintar dan pemberani yang suka menjelajah. Versi TV, Dora di-dubbing Bahasa Indonesia, namun kadang kadang Dora mengucapkan kata kata dalam Bahasa Inggris dengan meminta penonton untuk menirukan. “Backyardigans” bercerita tentang lima sahabat yang sedang bermain di halaman belakang rumah mereka kemudian berimajinasi berpetualang ke tempat lain. Dalam petualangan itu, mereka berperan menjadi tokoh sesuai tema petualangan.

Dalam cerita “Petualangan di Texas”, misalnya, mereka menjadi koboi. Dalam cerita “Petualangan ke Mesir Kuno”, ada yang berperan sebagai Cleopatra, pelayan pelayan Cleopatra dan Spinx, Bahkan pernah ada petualangan ke Hutan Kalimantan. “Backyardigans” memberi pengetahuan kepada anak tentang suatu tempat dan kekhasan dari tempat tersebut, di samping juga mengajarkan baiknya persahabatan. Sementara “Wonder Pets” mengajarkan pentingnya kerjasama dalam melakukan pekerjaan. Sebagaimana penggalan lirik lagu dalam film kartun tersebut, “Kami bekerja sama melakukan hal yang benar…”

Daffa kadang-kadang ingin juga menonton film kartun lain yang diputar di stasiun TV yang berbeda, seperti “Curious George”. Karena film ini diputar mulai pukul 06.30, konsekuensinya dia harus mengurangi satu film yang ditonton dalam “jadwal rutin pukul 07.00-09.00”, agar durasi menontonnya tetap maksimal 2 jam.

Hal lain yang tidak kalah penting, Daffa tidak kami izinkan menonton sinetron, tak terkecuali yang berlabel sinetron anak anak. Pada kenyataannya, meski namanya sinetron anak anak, terdapat juga adegan kasar ataupun kata kata yang tidak pantas didengar anak, utamanya balita. Dalam sinetron Tarzan Cilik dengan pemain utama Baim yang terkenal itu, umpamanya, pernah ada adegan di mana ayah angkat Tarzan,yang notabene tidak menyukai Tarzan, diperlihatkan melakukan berbagai macam cara untuk “melenyapkan” Tarzan.

Demi Daffa, saya rela untuk tidak menonton sinetron, reality show, infotainment dan berita-berita kriminal kecuali jika dia sedang bermain di luar rumah atau sedang tidur. Pernah beberapa kali, saya melihat salah satu reality show terkenal. Daffa ada bersama kami, tapi dia sedang asyik bermain dengan ayahnya. Tak disangka, suatu waktu, saat ada iklan acara tersebut, Daffa ikut menyayikan theme song-nya “…saat cinta memang harus diakhiri…” Wah, kapok saya. Sejak itu, tak lagi lagi saya menonton acara dewasa jika ada Daffa di dekat saya.
Di samping media elektronik, kami juga selektif memilih media cetak yang baik bagi Daffa. Sebulan sekali, Daffa kami ajak ke toko buku. Kami meminta Daffa memilih buku mana yang ingin dibelinya. Tapi tentunya kami juga yang memutuskan apakah buku itu boleh dibeli atau tidak. Jika tidak, dia kami minta memilih buku lain dengan memberi pengertian mengapa buku tersebut tidak boleh dibeli.

Hal ini kami rasa penting karena ada buku bacaan anak yang menurut kami kurang bagus karena di dalamnya terdapat kata kata berkonotasi negatif. Suatu waktu Daffa pernah mendapat hadiah buku bilingual dari tantenya. Si Tante membelikan buku itu karena kemungkinan dilihat dari judulnya isi buku tersebut menarik, Terlebih buku itu terbitan penerbit anak terkenal.
Cerita dalam buku tersebut memang pada kenyataannya menarik, bercerita tentang seekor burung hantu yang berusaha menjadi ayam jago. Namun, disayangkan, ada beberapa kalimat berkonotasi negatif, seperti “dasar badut!”, “penipu!”, “dasar si mata melotot”, dan “ayam betina bodoh”. Beberapa bulan lalu Daffa belum bisa membaca, Jadi saat membacakan buku itu, kata kata tersebut tidak kami bacakan. Tapi sejak sebulan lalu, Daffa sudah bisa membaca sendiri. Saya agak khawatir juga jika dia kemudian ingin membaca buku tersebut sehingga kata kata berkonotasi negatif itu terbaca olehnya. Dan, berdasar karakter anak anak sebagai peniru ulung, bukan tidak mungkin Daffa akan menirukan kata kata tersebut saat berbicara dengan orang lain.
Berbekal pengalaman itu, sekarang jika ingin membelikan buku bacaan untuk Daffa, kami selalu memastikan di dalam buku tersebut tidak ada kata kata berkonotasi negatif yang kurang baik bagi anak.

Sebagai penutup, kemajuan teknologi dewasa ini, termasuk juga di bidang media, memang tidak terhindarkan. Ditambah lagi dengan pers di Negara ini yang makin bebas setelah reformasi, membuat kita para orang tua mesti lebih jeli dalam memilih dan memilah tontonan dan bacaan yang bermutu bagi anak anak kita. Jangan sampai anak anak kita menjadi “dewasa sebelum waktunya” karena tontonan dan bacaan yang tidak sesuai dengan usianya.


note:
gambar diambil dari sini

Televisi dan Anak-Anak Kita

Ditulis oleh Dwi Yuli Rahayu
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Judul di atas mungkin tidak jauh beda dari hal-hal yang pernah kita lihat sehari-hari. Baik di rumah kita, rumah tetangga, maupun di lorong-lorong sempit jalanan, terkadang tidaklah sulit kita menemuinya. Hampir mayoritas penduduk di muka bumi ini memiliki benda kotak yang konon ajaib itu. Kenapa ajaib, karena dia bisa menyihir bagi kita yang melihatnya. Bahkan di pelosok negeri inipun, yang konon katanya masyarakatnya terpinggirkan, juga tidaklah susah jika kita mencari televise. Sedemikian dasyatnya, hingga para remaja yang jauh dari kotapun bisa memakai baju yang sedang ngetrend karena informasi dari televise. Sungguh, sedemikian cepatnya informasi yang diperoleh dari televise.

Penulis mengambil salah satu media yakni televisi, karena benda yang satu ini sungguh-sungguh sangat hebat pengaruhnya. Tetapi tunggu dulu, apakah pengaruh itu baik atau buruk. Jika dilihat dari sisi kecepatan penyampaian informasi, televise mungkin akan menjadi favorit, lihatlah pada pilpres kemaren, berjuta suara bisa segera terkumpul dan disiarkan melalui televise, sehingga tak kurang dari lima jam, kita bisa mengetahui hasil dari pilppres. Luar biasa bukan?

Bagaimana dengan anak-anak kita?

Bagi anak usia 0-5 tahun banyak yang mengistilahkan masa ini adalah Masa Emas atau Golden Age, yaitu masa-masa di mana kemampuan otak anak untuk meyerap informasi sangat tinggi. Apapun informasi yang diberikan akan memberikan dampak bagi si anak di kemudian hari. Di masa-masa inilah peran orangtua dituntut untuk bisa mendidik dan mengoptmalkan kecerdasan anak baik secara intelektual, emosional, dan spiritual. Jika di masa-masa ini otak anak hanya diisi dengan tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat atau malah boleh dibilang tayangan yang sangat buruk, maka kita akan melihat beberapa tahun yang akan datang pengaruh itu akan muncul, dan sebagai orang tua kita hanya bisa menyesal, karena masa-masa penting ini (Golden Age) tidak akan pernah bisa diulang.

Pengalaman saya, jauh sebelum hadirnya si kecil di tengah-tengah kami, kami berdua sudah memutuskan untuk meng’gudang’kan sebauh kotak ajaib yang bisa mengeluarkan gambar dan suara itu. Setelah ada si kecil kami tidak menonton televisi, kadang jadi buta berita juga, hanya melalui internet saja kita meng update berita. Hingga si kecil menginjak usia satu tahun kami tergoda untuk menghadirkan kembali si kotak ajaib itu. Kami berkomitmen hanya untuk update berita saja. Tapi pada kenyataannya ternyata memang tidak mudah, selalu saja tergoda untuk menekan tombol power setiap harinya. Meskipun si kecil tidak terlalu suka, tapi saya yakin semakin besar usianya jika semakin terbiasa dengan televisi, maka diapun akan semakin susah dipisahkan kelaknya. Dan tentu akan menjadi kecanduan.

Saya tertantang ketika mengetahui ada KOMPAK, mudah-mudahan melalui tulisan ini bisa memberi manfaat.

Dari pengalaman saya, anak menyukai televis karena dia terbiasa dari kecilnya menonton televisi. Hal ini timbul karena ada kebanyakan dari orang tua yang tidak mau direpotkan dengan anak. Agar anak betah dan tidak kemana-mana, maka terkadang televisi menjadi pilihan agar anak bisa duduk manis, dan orang tua bisa mengerjakan pekerjaan tanpa harus diganggu dengan rengekan ataupun tingkah laku anak-anak yang biasanya selalu ingin tahu, baik dengan pertanyaan maupun tingkah laku mereka dengan mencoba beberapa barang-barang/perabotan di rumah yang kadang itu berbahaya.

Peran kontrol dan pendampingan dalam menonton televisi sangatlah penting. Tayangan-tayangan yang ada dalam televisi tidak bisa langsung mentah-mentah diterima oleh anak begitu saja, tapi harus ada penjelasan tambahan dari orang tua, baik itu berupa meluruskan, menerangkan, memberi contoh, member ilustrasi dan sebagainya.

Sebelum meneruskan, ada baiknya saya kutipkan sedikit tulisan dari Mohammad Fauzil Adhim, dalam Postive Parenting terbitan Mizania, “Televisi menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak teruatama kecerdasan special di otak sebelah kanan. Semakin sering menonton televisi, anak juga semakin kurang bergerak. Padahal gerakanlah yang mengaktifkan dan membangkitkan kapasitas mental mereka”

Setelah membaca kutipan di atas, akankah kita tetap menjadikan televisi sebagai sahabat dekat anak-anak kita. Tentunya tidaklah ya….

Beberapa tips dan trik yang mudah-mudahan bisa memberi manfaat.
1.Saya tidak membawa unsur sara di sini, tapi sebagai seorang muslim tentunya banyak tayangan-tayangan terutama iklan yang tidak menutup aurat dengan baik sehingga ada baiknya menonton acara televisi yang aman adalah sport, berita, dan acara anak-anak karena kemungkinan besar, iklannya juga dari unsur anak-anak dan yang bersankutan dengan tayangan tersebut.
2.Menghidupkan televisi ketika anak sudah tidur
3.Membelikan buku-buku yang bernuansa religi untuk anak-anak
4.Lebih sering menemani anak bermain, daripada membiasakan waktu berdua dengan anak dengan meononton televisi
5.Bagi ibu yang tidak berada di rumah/bekerja, beli VCD yang ada unsur pendidikannya, atau games-games interaktif yang dapat merangsang kecerdasan anak melalui permainan lewat games. Referensi CD interaktif untuk anak sangat banyak beredar di took-toko buku, VCD-VCD yang tidak melulu kartun DORA, Sponge Bob juga sudah banyak di jual di took-toko buku. Sehingga ketika kita meninggalkan rumah, kita bisa meninggalkan pesan kepada orang yang mengasuh anak kita, bahwa VCD-VCD itulah yang boleh ditonton oleh anak-anak.
6.Memberi pengertian kepada seluruh anggota keluarga, bahwa menonton televisi ada aturan jamnya.
7.Membuat tulisan di dinding jadwal-jadwal televise yang boleh dan tidak boleh ditonton bersama anak
8.Menambah wawasan mengenai buruknya pengaruh televisi terhadap anak, sehingga semakin menyadarkan kita untuk terus menjauhinya.


Referensi:
1.Majalah Ummi Edisi Spesial Juni-Agustus 2008/1429 H
2.Mohammad Fauzil Adhim, Positive Parenting, Bandung: Mizania

Aku Ga Mau Nonton Itu, Ah!

Ditulis oleh Yudith Listiandri
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

“Selingkuh itu apa sih, Ma?” begitu kata seorang kawan saya, menirukan pertanyaan anaknya yang membuat gelagapan. Seorang kawan lain bercerita bahwa anaknya sering tidak mau diajak berkunjung ke rumah neneknya jika waktunya bertepatan dengan jam tayang sebuah sinetron. Cerita seorang guru TK juga tak jauh berbeda. Saat anak-anak ditanya tentang acara TV apa yang mereka kenal, banyak di antara mereka yang menyebutkan beberapa judul acara yang tidak cocok dikonsumsi anak-anak seperti Suami-Suami Takut Istri, Intan, dan sebagainya.

Kasus anak saya sedikit berbeda. Ia hafal beberapa penggal lirik lagu yang dijadikan lagu tema sinetron. “Atas nama cintaaaa …” begitu ia sering menirukan. Di rumah dan di sekolah, ia sudah diberi pemahaman bahwa tidak semua yang ditayangkan TV bernilai baik. Tak urung, berkali-kali juga ia mendengar penggalan lagu orang dewasa itu dari TV yang dinyalakan neneknya. Berkaca dari pengalaman anak saya itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa salah satu unsur penting untuk mengerem pengaruh buruk media (yang salah satu bidak hitamnya adalah TV) adalah komitmen bersama.

Komitmen bersama diperlukan karena pendidikan yang berhasil harus bersifat konsisten dan berkelanjutan. Meski orangtua sudah memberi larangan, tetapi jika orang dewasa lain dalam rumah tidak dilibatkan, akan memberi pesan yang bias pada anak. Bagi anak, pesan yang berbeda itu membingungkan. Beberapa negara lain seperti Korea Selatan telah mengambil langkah yang lebih maju dalam hal komitmen bersama ini. Mereka membentuk forum bersama yang secara terbuka mendiskusikan layak tidaknya sebuah adegan ditayangkan. Forum ini terdiri dari unsur produsen maupun penonton, juga melibatkan tim ahli.

Kedua, karena kita tidak mungkin memantau anak selama 24 jam dan membendung sepenuhnya pengaruh media itu, anak perlu dibekali dengan pemahaman yang cukup atas apa yang dilihat atau didengarnya. Untuk itu, kita perlu sesering mungkin mendampingi saat mereka menonton TV atau mengakses media lain seperti internet. Tunjukkan secara konkret alasan sebuah tayangan layak atau tidak ditonton, layak diakses atau tidak. Ketika mereka melihat adegan pertengkaran, misalnya, tanamkan pemahaman bahwa pertengkaran dengan cara berteriak-teriak, mencaci maki, dan memukul bukanlah cara pemecahan masalah yang baik. Biarkan anak mencerna pemahaman ini, mengeluarkan pendapat, dan memberi penilaiannya sendiri. Ia juga perlu tahu bahwa tidak semua tontonan yang dibuat untuk anak itu baik. Tokoh-tokoh superhero atau tokoh kartun tidak sepenuhnya bebas dari kekerasan. Si tokoh memang jagoan, tetapi ia menang di atas penderitaan dan kesakitan tokoh lain.

Ketiga, buka seluas-luasnya ruang untuk berdiskusi. Anak memiliki keingintahuan yang besar. Gunakanlah naluri alamiah anak itu untuk mengenal lingkungan sekitar dan untuk melakukan penyaringan sendiri atas hal-hal buruk yang tidak patut dicontoh. Dalam hal ini, kita perlu belajar mendengarkan dan menghormati pendapat anak. Dengan metode self-filter inilah kelak anak yang tumbuh menjadi remaja akan memiliki bekal kecerdasan emosional yang cukup untuk menangkal pengaruh buruk lingkungannya, terutama dari teman sebaya.
Anak juga mudah terpengaruh dengan iklan-iklan yang menarik. Iklan dapat tertanam lebih kuat di otak anak daripada tayangan yang berdurasi lebih lama. Hal ini disebabkan karena durasinya pendek dengan kata-kata yang mudah diingat, ditayangkan berulang-ulang, dan didesain untuk mudah tertangkap mata. Anak paling sering tergiur dengan iklan makanan dan minuman yang seringkali tidak sehat, bahkan membahayakan bila dikonsumsi terlalu banyak. Pengalaman seorang keponakan saya cukup menggelitik. Ia yang baru berusia 3 tahun menetapkan bahwa makanan favoritnya adalah nasi berlauk kecap dan kerupuk, gara-gara melihat iklan sebuah produk kecap. Selama minggu, ia hanya mau makan itu. Kasus seperti inilah yang memerlukan dibukanya kesempatan yang seluas-luasnya untuk berdiskusi dengan anak.

Keempat, perlu disadari sepenuhnya bahwa TV hanyalah sebuah alat. Adalah tugas kita sebagai orang dewasa untuk menuntun anak agar bijaksana dalam memakainya. Seperti halnya alat lain, kita memerlukan aturan penggunaan. Aturan inilah yang perlu kita diskusikan bersama anak dan kita terapkan bersama dalam keluarga. Ajaklah anak untuk mendesain program apa saja yang boleh ditonton dan berapa waktu yang boleh dialokasikan untuk menonton. Suara anak patut didengarkan dalam membuat aturan ini dan doronglah anak untuk menepati aturan yang telah dibuat bersama.

Sambil terus berusaha menerapkan semua “teori” yang saya harap tidak terlalu muluk itu, saya merasa sedikit lega ketika mendengar anak saya menyeletuk, “Bu, Yang Ti nonton sinetron yang marah-marah sambil mbanting gelas … aku nggak mau nonton ah!”

Media Cetak dan Media Elektronik

Ditulis Oleh Elin Marlina
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Perlu sekampung untuk membesarkan seorang anak. Jadi memang tidak mudah. Orang tua perlu sangat kreatif. Termasuk soal tontonan. Semua stasiun TV berlomba-lomba menampilkan yang menurut mereka sinetron terbaik pada jam terbaik.. Untuk siapa? Jelas bukan tontonan anak-anak kita. Jadi anak-anak menonton apa? Atau melakukan apa? Ya, kembali, orang tua harus kreatif.
Salah satu yang kami lakukan guna menghindari tontonan sinetron tadi, adalah memasang TV berlangganan, dimana kami bisa mengunci, menjadwalkan tayangan yg ingin dan boleh diberikan. Kebetulan di rumah kami ada 2 orang anak balita.. lula (3,5 tahun) dan bayu (5,5 tahun).

Terus jadi bisa nonton terus? Tidak juga… kembali ke orang tua, terutama bunda, harus kreatif. Karena di rumah kami tidak ada pembantu rumah tangga, jadi kalau bunda sedang masak, tontonan disiapkan supaya mereka tidak keluar rumah, bisa menonton tv langganan atau menonton dvd/vcd yang tentu aja sudah disortir bunda. Khusus untuk VCD/DVD, kami sengaja menjalankan kedua jenis keping tersebut di komputer. Selain agar mereka bisa akrab dengan komputer, juga agar ganti suasana tidak selalu di depan TV. Ketika bunda sudah selesai, maka mereka saya ajak beraktifitas yang lain. Saya paling suka mengajak mereka membuat suatu karya, mulai dari kegiatan menggambar, menggunting, menempel dan mewarnai. Itu biasanya mereka kerjakan selesai makan. Ide kegiatannya saya dapatkan dari menjelajah dunia maya lewat internet. Supaya tidak lelah merapikan sendiri, saya juga mengajak mereka merapikan yang telah dikerjakan.

Setelah mereka selesai dengan karya mereka, dilanjutkan dengan bersih-bersih dan tidur siang. Sore mereka main sepeda atau main di luar rumah. Malam dimulai dengan mengaji, makan malam, menonton TV sebentar, bersih-bersih dan dilanjutkan baca buku menjelang tidur. Kami memang menyediakan banyak sekali buku, mulai dari buku cerita yang sederhana, buku ilmu pengetahuan, buku agama, juga buku keterampilan (melipat kertas, menggunting dan menempel). Kami bahkan mengkhususkan dana untuk membeli buku. Supaya lula tertarik dengan buku, kami (saya dan suami) mempertontonkan hobi membaca kami di depan lula. Karena kami percaya, lebih mudah memberikan contoh dan pembiasaan dari pada memberikan perintah. Selain itu, sejak lula bayi, saya usahakan untuk membacakan dongeng sebelum tidur.

Sekarang karena sudah lebih besar, bukan lagi buku dongeng, tapi buku ilmu pengetahuan. Awalnya karena dia sudah mulai banyak bertanya, mengapa begini, mengapa begitu. Jadi kami coba mencari tahu lewat buku. Kami membeli 1 (satu) set buku pengetahuan untuk anak. Dan supaya buku tersebut lebih berguna, kami menggunakan untuk menjawab pertanyaan lula atau bahkan bertanya kepadanya.

Selain itu, ketika kami akan pergi liburan, kami membuat suatu tema. Contohnya ketika liburan kemarin, kami akan pergi ke museum zoology yang ada di Bogor dan ke taman kupu-kupu di Cilember, maka seminggu sebelum pergi, kami membaca buku mengenai serangga. Wah, lula senang sekali ketika melihat binatang aslinya karena sebelumnya dia sudah membaca mengenai binatang tersebut.

Jadi untuk mengontrol media (cetak dan elektronik) hiburan bagi anak-anak, kami menyediakan banyak alternatif pilihan. Mulai dari jenis tontonan yang boleh ditonton, durasi menonton, media yang digunakan dan alternatif kegiatan pengganti. Kami tidak mau meminta mereka untuk berhenti menonton tanpa memberikan kegiatan pengganti dan alasannya. Membaca buku juga bisa menjadi alternatif kegiatan. Tentunya membaca buku-buku yang bermanfaat.

Alhamdulillah karena sudah terbiasa membaca, Lula sudah mencari sendiri buku yang mau dia baca. Durasi dia membaca lebih lama dari pada durasi dia menonton TV.
Berdasarkan pengalaman kami, jika ada kegiatan lain yang juga tidak kalah menarik dibandingkan dengan tontonan elektronik, anak-anak juga mau beranjak dari media tersebut. Hanya saja TV sering dijadikan suatu alat untuk membuat anak duduk diam atau selama anaknya diam ya tidak apa-apa nonton TV. Anak-anak adalah bentukan dari pembiasaan orang tua. Jadi jangan pernah menyalahkan kebiasaan seorang anak. Karena kebiasaan mereka adalah bentukan pembiasaan yang ditularkan lingkungan sekitarnya terutama dari orang tua.
Semoga dengan tulisan ini, kami dapat memberikan alternatif kegiatan lain dan membuat membaca bukanlah suatu yang membosankan, apalagi buku ilmu pengetahuan. Ayo jadilah orang tua kreatif. Dengan jadi orang tua yang kreatif, maka semakin kreatif juga kegiatan yang bisa diperkenalkan kepada anak-anak kita. Semua orang tua pasti bisa kreatif.

Berbagi Jatah Waktu Menonton Meminimalisasi Dampak Buruk TV

Ditulis oleh Umi Laila Sari
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Saya teringat ungkapan seorang Bapak, tetangga saya. Beliau mengatakan bahwa mendidik anak ibarat bermain layang-layang. Ada saat senar –benang layang-layang—ditarik dengan kuat. Ada saat senar dikendurkan. Juga pada kesempatan lain senar dibiarkan tanpa menarik atau mengulurnya. Kendati tetap saja, gulungan senar di bawah pengawasan sang pemain.
Semakin tinggi, layang-layang meliuk di angkasa, semakin menyenangkan bermainnya. Tetapi tentu akan semakin kuat angin menerpa. Ancaman alamiah terhadap keamanan layang-layang. Belum lagi gangguan dari pemain lain yang ingin memutuskan layang-layang kita. Untuk itu, pemain harus bijakdan cermat mengambil sikap dalam menjaga layangannya. Begitulah filosofis bersikap terhadap anak. Seperti layang-layang, jiwa anak-anak selalu berhasrat terbang tinggi namun masih butuh pengawasan orang tua.

Seorang anak tidak hidup sezaman dengan orang tuanya. Mereka memiliki dunia sendiri yang mungkin akan sangat berbeda karena memang realitas dunia setiap saat berkembang. Ada begitu banyak kemajuan peradaban manusia. Dengan kondisi tersebut, sangat tidak memungkinkan orang tua menerapkan pola pendidikan konservatif. Sudah saatnya orang tua atau orang-orang dewasa di sekitar anak lebih membuka diri. Memahami bahwa masalah yang dihadapi anak mereka kian kompleks. Salah satunya pengaruh negative dari tontonan dan bacaan.

Seperti diketahui bersama, media massa, cetak maupun elektronik memberi pengaruh cukup besar terhadap perubahan pola pikir dan perilaku anak bahkan juga orang dewasa. Setiap detik ada ribuan informasi masuk dalam daya serap anak yang memang masih sangat cepat menangkap pesan yang diterimanya. Fatalnya, informasi yang didapat sang anak lebih banyak hal buruk ketimbang baik. Sementara orang tua tidak dapat sepenuhnya, setiap saat mendampingi anak.

Saya berupaya menerapkan filosofis layang-layang tadi pada usaha memantau berbagai hiburan yang diperoleh anak dari media massa. Saya lebih fokus ke media elektronik sebab pengawasannya menurut saya lebih sulit. Kebetulan saya sulung dari delapan bersaudara dan masih memiliki adik-adik kecil.

Untuk media cetak, biasanya saya yang lebih banyak memilihkan bahan bacaan pada adik-adik. Seperti membelikan mereka buku cerita atau majalah yang memang terdapat nilai edukasi. Atau sesering mungkin memeriksa tas maupun tumpukan buku mereka, mengantisipasi bahan bacaan yang merusak.

Lalu, untuk media elektronik, saya punya kiat tersendiri. Meski sebelumnya orang tua saya sempat menghilangkan sama sekali TV dari perabot di rumah. Maka, sempat beberapa kesempatan, rumah kami tidak ‘bersuara’. Namun, nyatanya TV tetap menjadi sumber informasi mudah dan murah bagi orang tua saya.

Pertama, walaupun tidak tertulis, saya membuat atau membagi jatah waktu untuk menonton. Misalnya pagi hari bagian orang tua kami karena mereka terbiasa menonton program berita. Menjelang siang, adik saya yang duduk di SMP dengan lebih memilih program musik. Seusai makan siang, adik-adik saya yang kecil dengan program film kartunnya. Pembagian jatah waktu tersebut selain disesuikan dengan jadwal sekolah, les, atau aktifitas harian mereka lainnya juga dengan program acara yang sesuai dengan mereka. Jadi, ketika jatah waktu seorang anak, yang lain tidak ikut menonton sebab sedang melakukan aktifitas masing-masing.

Kedua, karena banyaknya chanel TV sebisa mungkin membujuk anak agar mengganti channel manakala dinilai program yang sedang ditonton tidak mendidik. “Eh, kayaknya acara di TV X lebih seru deh! Coba kita liat yuk!”

Ketiga, setelah mengubah-ubah channel, terkadang tetap saja tidak menemukan program yang aman untuk anak pada jam tertentu. Maka, ajaklah anak untuk bermain dengan konsep merealisasikan apa yang pernah mereka tonton. Umumnya anak-anak memiliki tokoh film idola, tidak ada salahnya menjadikan sang anak tokoh tersebut.
“Setahu ayuk, tokoh Y suka menolong orang yang sedang kesulitan. Nah, gimana kalau kamu sekarang jadi dia. Ayuk akan buat kamu mirip dia. Kamu mau kan? Eh iya sekalian, ayuk seolah-olah jadi korbannya. Ayuk butuh bantuan untuk merapikan tempat tidur. Apakah pahlawan itu akan datang ya?” kira-kira begitu saya berucap pada adik-adik.

Keempat, meminta ia menceritakan kembali apa yang telah ditonton. Saya membiasakan diri antusias untuk mengetahui jalan cerita film yang ditonton adik-adik saya. Pada saat mereka mengulas kembali acara tersebut dengan bahasa mereka sendiri, saya perlahan memberi pengarahan tentang hal yang baik atau buruk.

Tidak lupa di akhir ‘laporannya’, saya memberi semangat bahwa ia dapat pula melakukan perbuatan baik seperti dalam cerita tadi. Serta memberi kepercayaan pada anak bahwa tidak akan mencontoh perilaku negatif.

Kelima, sedikit tegas untuk tidak membuka TV pada saat jadwal kegiatan yang lain meski pun dapat dilakukan seraya menonton TV misalnya jadwal makan, membersihkan rumah, mengerjakan PR sekolah, dll. Dan memang, untuk usaha kelima ini, saya merasa cukup sulit meski bukan berarti tidak bisa. Terlebih ketika ada acara spesial pada event tertentu di stasiun TV. Bahkan ada beberapa kali, adik saya marah dan ngambek karena saya tetap mematikan TV ketika ia ingin menonton.
“Kasian dong sama makanannya dicuekin. Mata adik asyik nonton TV, bisa-bisanya nasinya masuk ke hidung karena nggak liat waktu menyuap. Kalo aja, makanannya bisa ngomong, mungkin dia teriak-teriak atau nangis karena lama banget dimakan.”

Keenam, karena adik saya pun telah terbiasa dengan game on line maka pengawasan terhadap tempatnya nongkrong juga saya lakukan. Tidak terlalu jauh dari rumah kami ada warnet yang memang juga jadi tempat favorit untuk ngegame anak-anak di sana. Jadi, sembari saya nge-net dapat melongok adik yang sedang on line.

Ketujuh, memberi penyadaran. Saya memahami bahwa seketat apapun pengawasan yang saya dan orang tua lakukan akan tetap bisa dilanggar jika anak tidak memiliki kesadaran individu. Konsep yang ada memang ideal, namun ada kondisi yang terkadang membuat pelaksaannnya kurang sempurna. Misalnya ketika saya harus berada di luar kota dalam waktu tertentu. Anak-anak sadar bahwa apa yang dilakukan orang tua untuk melarang mereka menonton acara yang negative adalah demi kebaikan mereka.

Semua tips diatas dalam aplikasiya tentu disesuikan dengan tingkat usia masing-masing anak. Pembahasaan anak usia 5 tahun tentu berbeda dengan pembahasaan anak usia 14 tahun. Selain pula karakter tiap anak menentukan bagaimana penyikapan yang terbaik. Orang tua diharapkan adalah orang yang paling mengerti tabiat anak-anak mereka dan mampu mengarahkannya. ^_^

Belajar Bersama Anak

Ditulis oleh Lusika Yuliana
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Jaman makin maju.. manusia semakin pintar menciptakan sesuatu..
Hanya dengan sebuah kotak ’ajaib’, seorang manusia bisa melihat seisi dunia..
Benar-benar sesuatu hal yang menarik , bahkan sangatlah menarik

Bagaimana tidak menarik ?
Karena hanya dengan memencet tombol-tombol yang ada, kita bisa melihat ke mana-mana, kita bisa memilih apa yang ingin kita lihat tanpa harus mendatangi tempat tersebut.

Tapi awas hati-hati..
Karena keasyikan pencet sana-sini..kita bisa lupa segalanya...

Kotak ’ajaib’ itu berbagai macam jenisnya. Awalnya kita hanya mengenal televisi, kemudian makin berkembang, ada yang berupa komputer, laptop, gameboy, dll

Jaman sekarang ini hampir di setiap rumah pasti memiliki kotak ’ajaib’ yang bisa membawa manusia melanglang buana.
Minimal televisi, pastilah ada.

Karena hampir semua orang memilikinya, sadar ataupun tidak sadar pada umumnya kotak ’ajaib’ sudah membudaya pada kehidupan sehari-hari; tak terkecuali pada keluarga kami.

Televisi, komputer dan DVD ada di rumah kami, sebagai sarana hiburan dan informasi, serta pendukung pekerjaan kami; maka secara tidak langsung anak-anak kami sejak lahir juga sudah mengenal benda tersebut.

Sebagai orang tua saya berusaha mengenalkan semua benda-benda yang ada di rumah kami termasuk televisi dan komputer.
Kami tidak membatasi apa yang boleh dan tidak boleh., karena kami berpendapat bahwa anak-anak bebas berekspresi menjelajah ke sana kemari..

Seperti halnya tontonan yang ada di televisi..
Awalnya, kami tidak menentukan waktu dan tayangan apa yang boleh ditonton anak kami, maka sebagai konsekwensinya kami sebagai orang tua dan pengasuh anak di rumah harus mendampingi setiap anak kami menonton televisi.
Dari situ anak kami bisa belajar, mana yang boleh ditonton dan ama yang tidak.. dan lagi anak kami bisa belajar kapan waktunya menonton televisi..

Di samping itu, kebiasaan di keluarga kami televisi hanya menyala pada menjelang jam-jam istirahat misal pada siang dan sore menjelang malam secara langsung juga mempengaruhi waktu anak kami menonton televisi.

Pada siang hari misalnya, anak-anak setelah pulang sekolah ataupun bermain-main menjelang tidur siang awalnya menyetel televisi, tetapi karena ada yang mendampingi dan memberitahu bahwa itu tayangan bukan untuk anak-anak Akhirnya anak-anak lebih memilih mendengarkan lagu-lagu dari VCD daripada menonton televisi

Pada sore hari, televisi menyala.. semua tayangan bisa ditonton anak-anak.. tayangan sinetron sekalipun, kadang anak kami juga menotonnya.. entah karena saat mengganti chanel atau memang sengaja ditonton oleh rumah.
Anak-anak tidak serta merta kami larang.. tapi kami biarkan anak-anak melihat beberapa saat sambil kami ajak bicara bahwa apa yang dia lihat itu bukan untuk anak-anak. Anak-anak juga selalu berkomentar tentang apa yang dia lihat.. dari komentar-komentar itu malah menjadi bahan diskusi menarik buat kami.

Dari situ anak-anak kami bisa belajar, bahwa ternyata tayangan di televisi itu tidak selamanya baik.
Anak-anak juga bisa mulai mengatur jadwalnya sendiri kapan waktunya menonton televisi.

Apabila dirasa terlalu lama, lebih dari setengah jam anak-anak menonton televisi, kami sebagai orang tua ataupun pengasuhnya akan mengajaknya bermain-main yang lain. Kebetulan juga anak-anak kami tipenya aktif ..selalu bergerak ke sana kemari.. jadi selalu tidak jenak bila harus duduk diam terlalu lama di depan televisi.. Jadi bila menonton tivi juga diselingi dengan acara bermain-main juga.

Jadwal rutin menonton televisi adalah hari libur, di mana bila saat hari libur tidak ada kegiatan lain, kami beri waktu dia untuk melihat film dari DVD, film untuk anak-anak tentunya. Saat menonton film yang berdurasi 1 – 1,5 jam itu anak-anak juga tidak hanya duduk diam.. dia bisa menitukan apa yang dia lihat plus mendiskusikannya dengan kami.

Jadi untuk menentukan waktu dan apa yang boleh ditonton anak-anak, kami lakukan berdasar kesepakatan dan berkembang secara alami dari kebiasaan sehari-hari.
Tidak serta merta kami larang menonton ini itu tanpa anak tahu yang dilarang/tidak boleh ditonton itu seperti apa.
Kami lebih memilih untuk memberinya kesempatan untuk melihat semuanya, kemudian kami diskusikan dan akhirnya bisa disimpulkan apa yang tepat untuk ditonton.

Untuk lama waktunya kami sepakati bersama kurang lebih setengah jam – satu jam maksimal.. Walau pada prakteknya televisi menyala lebih dari itu..
Tapi waktu efektif anak-anak duduk diam di depan televisi bila dihitung total rata-arata hanya setengah jam, karena nonton televisipun bebarengan dengan aktivitas lainnya.

Selain televisi, anak-anak kami juga akrab dengan komputer.
Komputer kami gunakanan untuk anak-anak dari mulai belajar ketak ketik sana sini, belajar menggambar bahkan bermain game.

Waktu khususnya awalnya tidak ada, tapi karena anak-anak selalu ’menganggu’ ayah atau ibunya yang bekerja dengan komputer menjelang tidur malam, jadi anak-anak kami beri waktu setengah jam untuk bermain-main dengn komputer menjelang tidur malam.

Kami sebagai orang tua menganggap bahwa kemajuan jaman yang bisa menghasilkan kotak ’ajaib’ seperti televisi, komputer ataupun media modern lainnya itu adalah merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari.

Untuk bisa dapat manfaat dari kotak ’ajaib’ sebagai media modern, kami ajak anak-anak untuk belajar bersama memilah apa yang baik dan nama yang buruk. Di sisi lain sebagai orang tua, kami berusaha untuk selalu konsisten mendampingi dan membimbing anak-anak.
Sehingga anak-anak bisa menyadari dan akhirnya menentukan mana yang bisa diambil manfaatnya.

Terima Kasih, Jalu. Upaya mendidik melalui lirik

Ditulis oleh Fakhri Zakaria
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Beberapa hari belakangan ini saya bisa tidur siang dengan nyaman di kamar belakang. Setidaknya sepupu saya dan teman-temannya yang masih kelas 5 SD , yang biasa bermain di lorong sempit tepat kamar saya menempel di temboknya tak lagi teriak-teriak menyanyikan lagu-lagu seperti, ”Lelaki buaya darat busyet aku tertipu lagi…” atau “Wo..o..kamu ketauan pacaran lagi..”. Gantinya adalah, “Persahabatan bagai kepompong..”

Ya, Sind3ntosca. Nama yang membuat pendengaran saya terasa nyaman beberapa hari ini. Paling tidak sepupu saya juga anak-anak di sekitar rumah saya punya lagu yang memang pantas untuk mereka nyanyikan. Miris rasanya jika melihat apa yang terjadi belakangan ini. Anak-anak “dipaksa” untuk menikmati fase waktu dimana mereka memang belum waktunya untuk menjalani itu semua. Salah satu contohnya ya ketiadaan lagu yang pantas bagi perkembangan psikologis anak-anak. Saya lumayan terkejut ketika melihat sepupu saya tadi asyik di depan tivi menonton Idola Cilik, sebuah ajang pencarian bakat yang (katanya) ditujukan bagi anak-anak. Sekali lagi anak-anak, karena jika melihat rata-rata usia kontestannya sebagian besar ada di rentang umur 6 hingga 10 tahun. Nah, pangkal masalahnya adalah dari lagu-lagu yang dinyanyikan. Kok bisa-bisanya lagu-lagu sadis mereka nyanyikan. Salah satunya adalah lagu bertema pembunuhan milik D’Masiv yang liriknya seperti ini
“Lelah hati ini meyakinkanmu, cinta ini membunuhku…”.

Memang kalau dirunut, belakangan ini anak-anak tak punya lagi lagu-lagu yang pantas mereka nyanyikan. Dalam artian lagu-lagu yang liriknya memang pantas untuk mereka nyanyikan. Pasca medio 1990-an, era dimana pengamat musik Denny Sakrie menyebutnya sebagai periode yang melahirkan lusinan penyanyi cilik (http://dennysak.multiply.com/journal/item/155/Masa_Transisi_Penyanyi_Cilik_), praktis tak ada lagi penyanyi anak-anak yang benar-benar berkibar seprti dulu halnya Sherina, Tasya dan teman-temannya meramaikan industri musik tanah air. Ya mereka juga seperti halnya manusia biasa, tumbuh dan berkembang dari anak-anak menuju usia remaja. Tak selamanya mereka menjadi anak-anak manis. Kosongnya penyanyi cilik ini kemudian diisi oleh pop-pop easy listening bertema percintaan remaja (perselingkuhan, cinta ditolak, ditinggal minggat, dsb) ala Ungu, D’Masiv, ST 12 dan sejawatnya. Lirik lagu dan aransemen yang catchy membuat anak-anak jadi gampang menyanyikannya. Orang tua pun adem-adem saja, terlalu sibuk dengan urusan mencukupi kebutuhan pokok mungkin. Wajar. Kalau boleh saya bilang, pasar musik anak-anak adalah pasar yang sempit. Targetnya terbatas hanya pada anak-anak saja. Dan yang bisa menikmatinya pun ya hanya terbatas pada anak-anak saja.

Tentunya ini harus menjadi perhatian kita bersama, ada sesuatu yang tak beres disini. Karena industri musik adalah industri kreatif, maka kita juga harus menggunakan cara yang kreatif. Musik-musik bertema perselingkuhan dan semacamnya yang sudah mengotori mulut anak-anak musti dilawan dengan musik juga. Sempitnya pasar musik anak-anak bisa diakali dengan membuat musik anak-anak yang bisa dinikmati semua kalangan. Jadi para remaja gaul pun tak risih menyanyikannya. Lagu Kepompong milik Sind3ntosca tadi adalah salah satu jawabannya. Sebetulnya band ini adalah band remaja kalau melihat usia Jalu Hikmat Fitriadi, personelnya. Sekedar catatan Sind3ntosca semula adalah proyek Jalu yang berformat band, namun dalam perjalanannya personel band yang semula berjumlah orang tadi satu demi satu memutuskan hengkang. Hingga tinggal Jalu sendiri yang mengulik instrumen musik di kamarnya. Dengan berbekal aransemen dan lirik lagu yang sederhana tapi mengena, lagu yang ada dalam album kompilasi Nu Buzz 1.1 : Your Stuff produksi Nu Buzz Network ini cepat diingat, tak terkecuali oleh anak-anak. Liriknya pun mendidik, mengajarkan mereka akan indahnya menjalin persahabatan dan menerima perbedaan yang ada dalam sebuah hubungan.

Ya, Kepompong akhirnya bisa diterima oleh semua. Terbukti anak-anak kecil tadi cepat hafal liriknya sekaligus menjadikan lagu itu sebagai anthem mereka sehari-hari. Ini yang semestinya diperhatikan oleh para musisi. Industri musik adalah industri yang dinamis dan penuh persaingan. Istilahnya tak ada waktu untuk berleha-leha. Harus ada sesuatu yang baru, menyegarkan telinga. Okelah mungkin untuk jangka waktu sekarang Ungu menikmati kesuksesan dengan pop mendayu-dayu, tapi lama kelamaan pendengaran pun bosan dihajar musik yang itu-itu melulu. Pendek kata dari saya, terima kasih, Jalu.

Kamar belakang, 141208, ditemani Sind3ntosca dan Pure Saturday dengan dosis yang cukup….

Kiat Mengontrol Media (Cetak dan Elektronik) Hiburan Bagi Anak-Anak

Ditulis oleh Deta Armatia
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membuat “diet media” bagi anak berhasil, beberapa hal tersebut adalah kesadaran orang tua sebagai panutan bagi anak, pengaturan jadwal harian anak dan menyediakan kegiatan atau hiburan alternatif yang lebih mendidik dan sehat.

1. Orang tua sebagai panutan bagi anak
Hal pertama yang harus dilakukan adalah membentuk komitmen dari orang tua untuk membesarkan anak yang sehat, aktif dan memiliki self esteem yang baik. Setelah komitmen dibuat, harus disadari bahwa hal ini membutuhkan waktu, usaha keras, persistensi, dan komitmen yang kuat.

Hal kedua yang harus disadari, anak selalu melihat dan meniru perilaku orang tuanya. Dengan kata lain orang tua adalah contoh dan panutan bagi anak, sehingga sebelum menuntut anak untuk berubah, orang tua harus memberi contoh terlebih dahulu kepada anak. Contohnya untuk mendorong anak mengurangi menonton televisi sebaiknya orang tua juga tidak menghabiskan banyak waktu dengan menonton televisi.

2. Pengaturan jadwal harian anak
Membiasakan sedari dini untuk menetapkan jadwal harian bagi anak dapat membentuk anak sebagai individu yang dapat menata waktu dengan baik. Jadwal harian membuat mereka selalu tahu apa yang selanjutnya akan terjadi pada hari tersebut dan menghindarkan mereka untuk menyia-nyiakan waktu. Jadwal harian tidak harus terlalu detail. Tentukan beberapa ritual harian mereka. Contoh: tentukan waktu bangun pagi, belajar, les, menonton televisi, bermain, makan malam dan tidur. Dengan jadwal harian ini orang tua dapat mengatur berapa lama dalam satu hari anak diperbolehkan untuk menonton televisi dan bermain video game.

3. Memberi Pengertian Bagi Anak tentang Dampak Negatif dari Media.
Untuk mendukung diet media bagi anak, orang tua sebaiknya menanamkan dan memberikan penjelasan bahwa :
a. Komputer/laptop adalah alat untuk bekerja dan telepon genggam adalah alat komunikasi. Alat-alat ini, selain dapat memberikan dampak yang positif, juga memberikan dampak yang negatif. Salah satu contoh dampak negatif dari penggunaan laptop adalah jika anak menggunakan internet dan mengakses situs-situs yang mengandung kekerasan atau pornografi. Orang tua sebaiknya memberikan penjelasan yang lebih cenderung mengarah diskusi tidak hanya mengatakan mana yang boleh atau tidak bagi sang anak.

Saran: Sebaiknya anak tidak memiliki komputer pribadi di kamar mereka. Letakkan komputer di ruang keluarga, sehingga penggunaan komputer dapat dengan mudah di awasi orang tua dan komputer tersebut hanya dipergunakan untuk mengerjakan tugas sekolah dan internet. Penggunaan internet juga harus diawasi oleh orang tua. Orang tua sebaiknya menggunakan program parental control untuk mengatur situs apa saja yang aman untuk diakses oleh anak. Komputer tersebut dapat diakses oleh semua anggota keluarga, namun tidak boleh dipergunakan untuk bermain atau untuk mengunjungi situs-situs yang mengandung kekerasan dan pornografi. Selain itu penggunaan komputer untuk bermain game sebaiknya juga dilarang karena bermain game komputer dapat membuat anak terlalu lama menghabiskan waktu di depan komputer, hal ini dapat pula mengganggu kesehatan mata anak. Untuk penggunaan telepon genggam, jika orang tua merasa anak perlu untuk memiliki telepon genggam, berikan telepon genggam dengan fungsi yang terbatas hanya untuk komunikasi. Telepon genggam yang memiliki banyak fitur seperti bluetooth, MMS dan internet dapat memberi dampak negatif bagi anak, contohnya terdapat beberapa kasus dimana siswa menyebarkan gambar porno kepada teman-temannya melalui telepon genggam yang memiliki fitur-fitur tersebut.

b. Televisi bukan merupakan hiburan utama, dan pemakaiannya harus dibatasi.
Seperti komputer, sebaiknya anak tidak memiliki televisi pribadi di kamar. Televisi hanya ada di ruang keluarga, dan hal ini berlaku juga untuk orang tua. Orang tua sebaiknya menyeleksi tontonan anak dengan membaca resensi acara dan menonton acara tersebut terlebih dahulu. Pilihlah tontonan yang menghibur tetapi juga mendidik, sesuai dengan umur anak, tidak mengandung unsur-unsur kekerasan dan sex. Setelah orang tua menyeleksi tontonan yang tepat bagi anak, beri anak batasan waktu untuk menonton televisi dalam sehari (misalnya 3 jam dalam satu hari) kemudian libatkan anak dalam memilih tontonan-tontonan yang telah diseleksi tersebut.

4. Kegiatan dan hiburan alternative
Orang tua sebaiknya tidak hanya melarang anak, tetapi juga memberikan solusi hiburan alternatif bagi anak.
a. Orang tua dapat memilih koleksi DVD film dan dokumenter sebagai alternatif tontonan televisi. Contoh: film dokumenter tentang flora dan fauna seperti film-film dari “National Geographic”, atau film untuk semua umur seperti “Free Willy”, “Children of Heaven”, dan lain sebagainya.
b. Setiap keluarga sebaiknya memiliki koleksi buku-buku yang berkualitas. Mulai dari buku-buku pengetahuan umum, buku-buku yang dapat menyalurkan hobi anak (contoh: buku kerajinan tangan, dan lain sebagainya), novel, hingga buku-buku dongeng klasik.
c. Orang tua sebaiknya banyak meluangkan waktu untuk bermain dan berkomunikasi dengan anak. Kumpulkan berbagai macam ide untuk aktivitas bermain di rumah. Untuk anak-anak yang sudah beranjak dewasa, bermain kartu, atau game board seperti monopoli, catur, othello dan lain sebaginya dapat digunakan sebagai alternatif video game. Bermain atau beraktifitas dengan melibatkan anggota keluarga lain dapat mempererat hubungan antar anggota keluarga. Terlebih lagi, kegiatan seperti ini dapat mendukung komunikasi sang anak dan orang tua. Orang tua mempunyai kesempatan untuk memahami dan mengenali anak, begitupun sebaliknya.
d. Libatkan anak dengan kegiatan-kegiatan yang membuat dia banyak berinteraksi dengan teman sebayanya. Hal ini dapat membantu anak untuk belajar berinteraksi dengan teman sebaya, bekerja sama, bertoleransi dan meningkatkan self esteem anak. Contoh: daftarkan anak untuk menjadi anggota klub olah raga seperti tenis, renang, dan juga ikutsertakan anak ke dalam kegiatan-kegiatan out bound dan lain sebagainya.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan di atas, ada hal-hal lain yang perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan diet media bagi anak. Hal-hal tersebut adalah:


1. Membentuk family culture yang baik
a. Luangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga.
Seperti yang disebut sebelumnya, komunikasi adalah sesuatu yang vital bagi keluarga. Jadwalkan untuk setiap hari ada waktu untuk semua anggota keluarga berkumpul dan saling berbagi cerita. Contoh: saat makan malam, saat beraktifitas bersama (bermain board game atau berolah raga) atau berekreasi bersama.

b. Luangkan waktu untuk acara keluarga
Setiap akhir minggu luangkan waktu untuk acara keluarga keluar rumah, baik untuk berolah raga, makan di rumah makan, maupun berekreasi. Kegiatan rekreasi out door merupakan alternatif yang baik. Contoh: dufan, sea wold, pergi ke pantai, berkemah di gunung dan lain sebagainya.

c. Budayakan untuk membaca.
Sediakan koleksi buku yang berkualitas dan menarik bagi anak. Hadiahkan buku yang anak minati dan untuk anak usia dini, biasakan untuk membacakan dongeng sebelum tidur.

2. Memberikan nutrisi yang baik bagi anak
Anak yang sehat dan aktif membutuhkan nutrisi yang cukup. Orang tua harus menyusun menu yang dapat mencukupi kebutuhan nutrisi anak. Selalu simpan sayuran segar, sayuran kaleng, sayuran beku, dan buah-buahan di dalam kulkas. Dan selalu sajikan nutrisi yang seimbang setiap hari bagi seluruh keluarga. Libatkan anak dalam menentukan menu harian, dan ajak mereka untuk membantu memasak.

Jika anak dibiasakan untuk aktif, memiliki ikatan batin dengan seluruh anggota keluarganya, mendapatkan nutrisi yang cukup, dan mempunyai alternatif hiburan selain hiburan elektronik, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang sehat, aktif dan memiliki self esteem yang tinggi. Hal ini dapat menjadi bekal mereka untuk menjadi manusia dewasa yang sehat.

Senin, 13 Juli 2009

Selalu Ada hari Tanpa TV

Ditulis oleh Yudith Fabiola

Semua bermula dari TV yang rusak. Tanpa sengaja rusak. Lalu, berhari-hari didiamkan. Tidak diperbaiki, tidak juga beli baru. Hidup tidak mendadak nelangsa dengan kerusakan tv yang mendadak itu. Sebab masih ada internet yang 24 jam sehari, 7 kali seminggu. Informasi bisa kami dapat dari internet. Meski rusak, TV masih nangkring dengan manis di ruang keluarga. Seminggu, dua minggu keinginan memperbaiki TV masih ada tapi kesibukan selalu menyita sehingga urusan TV belum masuk agenda utama. Akhirnya TV malang itu dipindahkan ke gudang. Sebulan, dua bulan, tiga bulan tidak juga tv rusak itu beranjak dari gudang. Setahun, dua tahun...hei, tanpa kami sadari sudah dua tahun lebih tiada TV menghiasi keseharian kami. Bahkan letaknya di gudang pun sudah tak kami ingat. Apakah di bawah kardus, di samping koper atau tertutup tumpukan kain usang. Tanpa kami sadari juga kehidupan kami berjalan baik-baik saja meski tiada acara TV yang katanya menambah semarak suasana.

Awalnya, kami tidak pernah mencanangkan akan menyingkirkan TV dalam kehidupan. Kami pun tidak termasuk golongan anti TV. Namun, dengan berjalannya waktu kami merasakan dampak positif dari absennya TV dalam rumah kami sehingga kini, dengan sangat sadar, kami pun memutuskan, untuk saat ini, tidak perlu ada TV ditengah-tengah kehidupan kami.

Dulu, ketika TV masih menyala, bisa dibilang anak kami menonton setiap hari, hampir sepanjang hari kecuali ia tidur dan ke sekolah. Meskipun jam menonton dan jenis tontonan telah diatur sedemian rupa, tidak mudah mengalihkan perhatian anak ketika menonton. Saat menonton, matanya melotot ke arah TV, tubuhnya bergeming menghadap TV. Panggilan ibunya tak terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali panggilan tak digubris. Pada panggilan kelima ia menolehkan kepalanya, itupun setelah suara sang ibu meninggi beberapa oktaf. Aduhai TV...ia telah mencuri si permata hati ibunda. Jengkel bukan main hati ibunya. Bukan hanya itu, TV seakan menyedot ingatan dan konsentrasi anak untuk selalu tertuju padanya. Kongkritnya begini, bangun tidur, selesai mandi, akan makan, pulang sekolah, seusai mengerjakan PR, ingatan anak selalu melayang ke kotak ajaib itu. Ia akan terus menagih jika belum diijinkan menonton TV dan ia akan mendadak patuh jika disuruh duduk manis di depan TV sementara ibunya mengerjakan hal yang lain. Duh TV...alangkah kuat daya magisnya. Anak kami menjadi jarang bermain. Baik itu memainkan balok-balok, boneka, bola-bola apalagi menggambar, mewarnai dan membuat prakarya. Tidak juga berlari-lari dan bermain petak umpet. Ia tahan duduk lama demi menyaksikan film kesukaannya. Maka, rusaknya TV tidak kami sesali. Sebaliknya, patut kami syukuri karena telah 'menyelamatkan' anak kami.

Tidak adanya TV 'mengembalikan' anak kami kepada keadaan yang 'seharusnya'. Rumah kembali berantakan karena mainan berserakan disana-sini. Ia berlari kesana kemarin bermain petak umpet, bertengkar dengan adiknya. Ia menggunting-gunting kertas, menggambar dan mewarnai. Dan, yang paling membahagiakan ia kembali keranjingan membaca buku dan majalah. Ternyata kekhawatiran kami pun tak terjadi. Tadinya, kami mencemaskan kondisi anak kami tanpa kehadiran TV. Kami khawatir ia akan marah, menangis meraung-raung dan sebagainya. Rupanya, tak ada tangisan meraung-raung, tak acara. Sempat juga terlintas di benak kami tentang pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa percuma saja tidak ada TV di rumah karena anak bisa saja ke rumah tetangga dan menonton sepuasnya disana. Atau anak akan 'blingsatan' jika menemukan TV. Meski sedikit cemas, tapi kami menguatkan hati untuk tidak terpengaruh dengan pendapat itu.

Alhamdulillah anak kami pun biasa-biasa saja jika ke rumah tetangga atau ke rumah neneknya. Ia memang menonton TV tapi tidak nampak seperti orang kehausan yang menemukan oase di tengah gurun, ketika menonton TV. Tentu saja kami tidak membenci TV. Selain sinetron, reality show ataupun infotainment, TV juga menyuguhkan acara-acara yang menarik dan edukatif. Sayang sekali jumlahnya tidak sebanding dengan acara-acara tadi dan waktu tayangnya pun tidak sesuai untuk anak-anak.

Lalu, apakah tiadanya TV menghentikan kebiasaan menonton? Seperti yang telah saya tulis diatas, seperangkat komputer tetap menyala dan internet on terus di rumah kami. Hal ini memungkinkan anak kami tetap menonton VCD ataupun tayangan di internet. Tidak ada bedanya dong dengan TV? Sepintas memang nampak sama. Tapi, menonton media elektronik selain TV membuat anak lebih mudah 'dikendalikan' sebab menonton media selain TV (dalam hal ini VCD atau internet dengan layar monitor komputer) memiliki keterbatasan. Terbatas ukuran layarnya sehingga menontonnya menjadi tak nyaman. Terbatas waktu tontonannya. Jika film habis tidak serta merta terganti dengan film baru. Tidak seperti TV yang tayangannya nonstop kecuali powernya dimatikan. Kedua hal ini membuat mereka tidak asyik untuk terus menerus duduk manis menonton film.

Menonton media selain TV membuat kami menjadi 'penguasa' media sebab kami yang menyeleksi jenis tontonan dan waktu menonton. Berbeda dengan menonton TV. Anak-anak harus 'patuh' pada TV sebab jam tayang film kesukaan mereka bukan orangtua yang mengatur. Akibatnya jadwal harian anak diselaraskan oleh jadwal tontonan TV. Padahal, menurut pendapat kami, jadwal harian anak sepatutnya independen, tidak dipengaruhi jadwal tayangan TV. Meski demikian, menonton VCD atau internet tetap harus diawasi terlebih untuk anak-anak usia sekolah yang sudah tidak gagap menggunakan komputer dan mengenal internet. Orangtua maupun pengasuh tetap perlu mendampingi anak-anak mereka dalam melahap dan mencerna informasi yang mereka dapat dari media elektronik.

Kini, dalam soal menonton memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Tayangan yang ditonton memuat pesan-pesan positif.
2. Tayangan tidak menyuguhkan adegan kekerasan dan kata-kata kasar.
3. Mengutamakan tayangan yang sarat dialog positif sehingga anak-anak meniru cara berdialog atau berkomunikasi dengan baik.
4. Menonton dilakukan pada akhir pekan atau liburan.
5. Menonton diberi jeda agar mata tidak lelah dan anak melakukan aktivitas lain.

Sejak semakin jarang menonton TV maupun media elektronik selain TV, anak kami jadi lebih sering membaca buku dan sekali-sekali menulis. Ia menjadi keranjingan membaca buku. Ia menanti-nanti terbitnya edisi terbaru majalah kesukaannya. Terkadang ia bahkan ingin tahu isi buku yang kami baca. Ia tertarik sebab ia melihat kami membaca buku dengan nikmat. Kadang senyum, kadang tergelak, kadang menitikkan airmata. Membuat ia semakin penasaran dengan buku. Hal yang sangat menggembirakan lainnya adalah adiknya yang baru berusia tiga tahun jadi ikut-ikutan membaca. Tepatnya, bertingkah seolah-olah ia sudah pandai membaca padahal belum. Kalau sedang tak ingin membaca, ia akan meminta kami membacakan buku untuknya. Walaupun begitu, bukan berarti semua bacaan aman dikonsumsi anak kita. Tetap saja orangtua memegang peranan penting untuk memilih bacaan yang baik bagi anak-anaknya. Tidak ada yang benar-benar aman di dunia ini untuk anak kita. Orangtua harus senantiasa melindungi anaknya dari segala hal yang akan 'menerkam' indera mereka. Seperti induk ayam yang sigap membentangkan sayapnya jika bahaya mengintai anak-anaknya. Itulah yang dapat kami lakukan untuk anak kami. Setidaknya satu ujian, yakni kecanduan menonton TV sudah dapat kami atasi. Jika dulu, tiada hari tanpa TV. Kini, selalu ada hari tanpa TV.

Kiat Mengontrol Media Hiburan Bagi Anak Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Ditulis Oleh Nurazizah Asfahani

Bismillahirahmanirrahiim


Pada dasarnya, anak-anak sering meniru karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka diperoleh dari cara meniru. Anak-anak yang gemar membaca umumnya adalah anak-anak yang mempunyai orang-orang di kelilingnya (orang tua mereka) juga gemar membaca. Mereka meniru Ayah, Ibu, Kakak, teman, guru atau orang dewasa disekelilingnya yang mempunyai kebiasaaan membaca dengan baik, begitu juga jika disekelilingnya memiliki kebiasaan menonton televise yang acaranya mohon maaf saja banyak acara di TV yang kurang mendidik dan tidak patut ditonton oleh anak-anak kita.Bagaimana jika disekeliling anak-anak kita yang orang dewasanya menonton sinetron setiap jam dan harinya?bisa dibayangkan akan seperti apa anak tersebut?dengan demikian, orang tua, guru serta orang dewasa disekelilng anak-anak dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata akan hal-hal baik, termasuk perilaku bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru khusunya melalui media baik cetak maupun elektronik khususnya.

Pada suatu hari,ada seorang murid saya di TK A sebut saja namanya Rina. Saya ingat sekali saat itu masih di awal semester 1 tahun ajaran 2008-2009, Rina sering terlambat datang ke sekolah. Suatu ketika Saya bertanya-tanya dari dalam hati, “ kenapa ya Rina sering terlambat, apakah dia tidak nyaman berda di kelas yang barunya, atau apakah Karena macet tetapi rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah?” akhirnya tanpa pikir panjang lagi Saya bertanya kepada Rina.Karena kita sering menyapa dengan bahasa Inggris, sambil waktu “play outside” saya mendekatinya..Rina, Ms. Hani wants to ask you? Why are you late today?and yesterday also? Dia hanya tersenyum dan tidak menjawab saya. Come on Honey, I just want to know, why are you late? Lalu dia mulai ingin menjawab, dengan santainya Ananda menjawab:” kan aku nonton princess dulu, kan kata mama nggak apa-apa terlambat”. Selain itu Rina juga gemar bernyanyi lagu orang dewasa. Lalu setiap kejadian itu berulang, sedikit demi sedikit Saya nasehati Rina dengan penuh perhatian dan kasih sayang, salah satunya memotivasi dia bahwa di sekolah juga ada acara menonton bersama teman-teman. Memang di sekolah kami memiliki sentra audio visual untuk menonton film yang bersifat edukatif dan agamis. Alhamdulillah, Rina jarang terlambat, jika terlambatpun bukan karena menonton. Selain itu Ada lagi contoh seorang murid yang sering on line di Face book hanya untuk mengubah status dan berkomentar, serta bermain game online di internet.
Bagi Saya sebagai guru TK maupun pribadi, Subhanallah, Media Elektronik baik TV, games, maupun internet sangat berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak yang seperti Saya katakan sebelumnya senang meniru.
Dengan sedikit ilmu dan pengalaman yang saya peroleh serta kekhawatiran saya terhadap masa depan Anak-anak Indonesia umumnya, akhirnya Saya berkesempatan memberikan sedikit kiat untuk para orang tua dan para pendidik untuk mengontrol Media hiburan baik cetak maupun elektronik, yaitu antara lain:
1. Jangan meletakkan TV, komputer, serta media elektronik lainnya di kamar anak, bila perlu letakkan barang-barang tersebut di ruang khusus yang dapat di pantau oleh orang tua dan dewasa. Jadi jika anak menonton atau bermain komputer dapat diawasi oleh anda.
2. Dampingi anak anda jika ingin menonton, bermain komputer . jika perlu anak diberikan waktu kapan harus menonton, bermain komputer, main di luar dan lain sebagainya sehingga secara tidak langsung kita juga mengajarkan anak untuk disiplin waktu. Dan itu sangat positif sekali, jika kita membimbingnya dengan penuh kasih sayang.
3. Bimbing anak jika ingin menonton, bermain komputer dan games. Serta arahkan anak untuk menonton film-film edukatif seperti National Geography, kartun yang memiliki bobot pelajaran bahasa seperti, Dora Explorer, Barney, dll serta games interktif yang mendidik dan melatih motorik ananda seperti menyusun puzzle, angka dan huruf, persamaan kata, mewarnai, kosa kata bahasa Inggris dan banyak lagi. Jika perlu perbanyak film , games, serta bacaan yang bersifat edukatif. InsyaAllah hal tersebut dapat membantu orang tua, tetapi selkali lagi BATASI dan beri waktu.
4. Jangan sekali-kali anda menonton televisi seperti sinetron, infotaiment dan acara dewasa lainnya di depan anak anda. Jika terpaksa mohon diarahkan ke acara lain atau jika terlanjur menontonnya diberi nasehat bahwa hal tersebut bukan untuk ditonton anak.

Tambahan, Saya juga mempunyai keponakan, dia sering ikut menonton sinetron karena melihat ibu dan neneknya, sehingga hafal lagu soundtack sinetron tersebut dan tidak jarang dia menyanyi lagu dewasa. Dalam hati saya berfikir, apa yang terjadi pada anak-anak kita, dan apa masih ada pencipta lagu anak-anak? Mengapa mereka (anak-anak) sering menyanyikan lagu: cari jodoh, lupa-lupa ingat, atau please, jangan lebay, dll. Sedih rasanya...saya memiliki jawaban tersendiri karena masalah kurangnya acara anak di televisi yang berbobot dan mendidik, kurangnya badan sensor yang menyaring acara TV, serta faktor orang tua dan dewasa yang membiarkan anak menikmati tontonan yang harusnya tidak ditonton oleh mereka. Kalau bukan kita siapa lagi......memang media hiburan bagi anak di Negeri tercinta ini kurang selektif, jadi bukankah kita para orang tua yang lebih selektif??

Saya belum dipercayakan Sang Maha Pencipta untuk memiliki keturunan, keponakan saya dan murid-murid saya tercinta yang menjadi motifasi saya untuk mencoba membenahi dan mengontrol media hiburan bagi mereka dengan cara dari dalam diri sendiri yaitu apakah kita orang dewasa sudah layak mengontrol media hiburan dari mata kita??apakah kita dapat menasehati diri kita sendiri untuk tidak menonton sinetron, telenovela, berita perceraian artis Serta online di Facebook berjam-jam tanpa memperdulikan tugas kita sebagai orang tua? Bagi saya di mulai dari diri sendiri, sehingga perhatian, bimbingan dan kasih sayang kita kepada anak, InsyaAllah semua itu akan berhasil.Amiin.
Alhamdulillah.






REFERENSI

• Kenapa Guru Harus Kreatif?, anak sering meniru,Andi Yudha Asfandiyar, Mizan,2008.

Media Diet for Kids

Ditulis oleh Heni Prasetyorini, SSi

Kebiasaan menonton televisi sebenarnya sudah mendarah daging di keluarga saya. Sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, sebagian waktu kami ditemani oleh benda berlayar satu ini. Dulu ibu saya bilang, daripada main kelayapan keluar nggak karuan, lebih baik diam di rumah nonton tv. Maklum juga, anak ibu ada delapan. Dengan jarak 2-4 tahun. Jika kebijakan main diluar dicanangkan, kebayang betapa repotnya beliau. Tanpa pembantu rumah tangga, televisi adalah asisten pengasuh yang sangat membantu. Minimal anaknya adem anteng dan aman.

Kebiasaan ini berlanjut sebenarnya. Namun ketika sudah SMA dan kuliah di luar kota. Tidak serumah lagi dengan ibu. Juga tidak adanya televisi. Saya mempunyai kemampuan baru untuk tidak membutuhkan televisi sebagai teman saya. Saya beralih pada radio dan walkman atau buku. Ngobrol atau main dengan teman [hang out] jarang saya lakukan. Karena ya itu tadi. Sudah dibiasakan ibu untuk duduk manis di rumah. Dan dengan tujuh saudara di rumah, sepertinya ketika kecil saya tidak butuh teman lebih banyak lagi.

Televisi bukan masalah besar buat kami. Karena walaupun terbiasa nonton televisi berjam-jam, prestasi kami bisa dibilang bagus. Minimal bisa sarjana semua. Dan dari universitas negeri. Bukan main-main saja kan ?

Masalah muncul ketika saya mempunyai anak. Dengan berjalannya waktu, informasi pun juga bertambah. Entah karena dari televisi atau kebetulan muncul sebagai hasil browsing di internet. Tentang efek buruk televise pada kecerdasan. Termasuk bahaya sinar biru pada retina anak terutama balita. Yang terdengar cukup mengerikan. Juga, karena tayangan televisi sekarang menuntut orang tua harus cermat dan tega.

Saya tidak habis pikir, tayangan untuk anak-anak, misalnya film si Entong. Tokoh yang baik cuma Entong seorang. Yang lain amburadul. Masak ibu si Entong saja, gemar kentut di depan orang. Tidak ada penyakit apapun yang bisa melegitimasi hal ini. Juga bukan kelucuan dan norma paling sederhana saja dilanggar. Tidak mungkin orang sedewasa ibunya Entong tidak tahu adat istiadat untuk tidak seenaknya buang angin di depan orang. Bisa saja jika itu dimasukkan dalam kategori tidak sengaja. Misalnya ketika melihat orang yang bisa bikin dia kentut, kenapa dia tidak lari terbirit-birit untuk sembunyi. Sehingga bisa mengajarkan nilai usaha untuk menjadi baik. Maka biarpun sedang ngetrend saat itu. Saya selalu mengomentari “Kok yang baik Cuma Entong saja. Yang lain suka mengumpat, mengolok-olok, dll”

Saya melakukan pendampingan aktif. Saya ikut menonton acara anak. Mendengar, melihat dan memikirkan apakah ini baik atau tidak. Saya segera berkomentar ketika ada adegan yang tidak pantas. Bahkan untuk iklan pun saya ikut komentari. Seperti, ‘wah bajunya malu ya.’ Ketika ada iklan film India misalnya. ‘Untuk orang dewasa’. Lama kelamaan anak saya terbiasa dengan larangan itu. Dan bisa spontan mengingatkan adiknya ketika ada tayangan tersebut. Memang kadang-kadang saja terlewat. Tetapi spontan juga mereka akan bercerita. Dan kami menertawakan pelanggaran itu dengan tetap menganggapnya perbuatan yang memalukan. Konsep sebagai lelaki harus menghormati perempuan sangat saya tegakkan. Bahkan ketika ada gambar perempuan berbikini, saya katakan, payudara itu diciptakan Tuhan untuk memberikan gizi dan makanan yang baik untuk bayi. Bukan mainan untuk dipegang atau dipamerkan. Tidak sopan ah. Sebisa mungkin saya gunakan bahasa mereka.

Tegas dan tega. Biarpun seru dan menarik. Kalau itu kejam, horror, porno. Langsung saja saya rebut remotenya dan saya ganti. Jika mereka masih protes, saya ancam begini. nonton yang baik atau tv dimatikan. Kepala kita, otak anak itu harus diisi yang lucu-lucu dan bagus. Jadi tidak berpikir yang aneh-aneh. Penjelasan saya terkadang ‘terlalu dewasa’ untuk mereka, tapi saya cuek saja. Siapa tahu mereka paham. Jangan meremehkan kemampuan anak kan?

Memberi teladan. Saya tidak suka sinetron. Saya suka talk show, berita dan sejenis discovery channel. Anak pun mengikuti. Ketika ada kartun yang bagus, saya dorong mereka nonton itu. Dan memujinya. Seperti Dora….dll

Beberapa waktu lalu saya biarkan anak-anak nonton tv tanpa batas. Sesekali saja saya tegur tetapi saya tenang-tenang saja. Toh ketika kecil saya juga begitu. Lalu saya dan anak pertama kebetulan ketemu website yang menunjukkan bahaya sinar biru. Beruntung saya juga terbantu film Magic School Bus ttg hal ini. Jadi ketika saya katakan , ternyata nonton tv bahaya ya mas, dia langsung menyahut, “ya kata bu Pretzel tidak sehat”. Saya lega. Tapi masih ada PR. Apa yang menjadi alternatif pilihan ketika anak tidak nonton tv. Karena ternyata ketika nonton tv itu waktu bergerak cepat. Tetapi ketika tidak, waktu berjalan lebih lambat. Menulis, membaca dll pun waktu masih panjang rasanya.

Komputer menjadi alternatif saya. Manjur, karena anak suka dengan game dan internet. Tetapi di layarnya apakah tidak ada bahaya seperti televisi ? saya berpikir ulang. Ketika anak diperbolehkan keluar. Eh di kampung sebelah ada rental PS. Layar TV juga. Sama juga bohong. PS bukan pilihan. Benar-benar larangan. Saya berusaha keras menunjukkan bahwa ps sampai pada keretakan tulang jempol dan epilepsy karena kecanduan ps pada anak saya. Dan cukup berpengaruh juga.

Buku. Kebetulan sedang murahnya buku di masa liburan. Saya borong komik. Mengingat cerita Yohanes Surya, yg pertamanya senang komik lalu senang baca buku Fisikanya orang Belanda. Minimal saya ingin anak senang membaca. Dan tepat pilihan saya. Komik tentang mobil Tamiya dibacanya berulang kali dengan senang dan semangat. Karena dari situ dia tahu, buku bisa bermanfaat. Sampai-sampai dia tahu cara merakit tamiya yang super cepat. Tujuan saya tercapai. Anak pun meminta dibelikan mobil Tamiya rakitan mencoba merakitnya sendiri. Meski akhirnya bingung dengan banyaknya onderdil, minimal ada kegiatan alternatif yang mulai digagas sendiri.

Tapi waktu masih banyak sisa. Saya berpikir untuk mengoptimalkan melatih kebiasaan anak untuk sholat lima waktu. Dan mengaji di masjid. Setidaknya melebarkan sayap pemikiran dan imajinasinya. Juga memberikan pembiasaan yang lain. Yang pasti menyerap waktu lebih banyak dan lebih bermanfaat.

Bagi yang mampu, membeli layanan televisi lain seperti ASTRO memberikan alternatif tayangan yang bermutu. Tetapi apa tidak semakin menjadikan anak menjadi lapar tv? Konsep memberikan kegiatan yang bersifat fisikally mobile adalah tepat. Terbaik. Karena semakin bergerak, anak akan semakin pintar karena otaknya termielinisasi dengan baik. Penyediaan sarana dan kesempatan untuk anak inilah yang perlu diusahakan. Memerlukan kerjasama pemerintah terutama penyediaan taman bermain.

Untuk ekonomi bawah, dimana orang tua sangat tersita untuk bekerja. Dan mentah-mentah menyerahkan anak pada sekolah dan alam semesta, maka pendekatan pada sekolah yang harus digalakkan. Juga kelompok sosial seperti arisan, karang taruna dan sebagainya. Adanya taman bacaan sampai gang terpencil juga impian kami. Agar anak tak hanya dibombardir dengan bahaya TV. Tetapi juga diberikan benda dan kegiatan lain yang bisa mereka nikmati dan tentu saja berguna bagi mereka.

Memberi Contoh dan Mengalihkan pada Kegiatan Fisik adalah Hal Terbaik untuk Mengurangi Pengaruh Media

Ditulis oleh Myristikha Kusumaningsih


Waktu saya kecil dulu mungkin pengaruh media baik di televisi, internet maupun di tempat-tempat publik tidak sebanyak dan sedashyat saat ini. Sehingga apapun yang kami terima melalui apa yang kami lihat pun tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap perkembangan kami dibandingkan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diberikan oleh orang tua. Jarang sekali acara nonton film di tv apalagi di bioskop, apalagi sewaktu saya kecil, bapak sering berpindah-pindah tugas di beberapa propinsi di Indonesia yang belum semaju di Jakarta dalam hal hiburan.

Perkembangan teknologi media mulai terlihat dan dirasakan pada saat saya memasuki bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) bertepatan pula bapak dipindah-tugaskan di Jakarta. Untungnya karena norma yang diajarkan oleh orang tua tertanam dengan baik didalam hati jadi saya bersyukur tidak mudah tergoyahkan oleh pengaruh media yang negative.

Hal ini pula yang menjadi landasan saya sebagai seorang ibu yang sudah diamanahi dua bocah lucu dan tinggal di Jakarta dengan berbagai macam pengaruh media yang tidak berfilter. Siapa lagi yang menjadi pengontrol dan pembimbing anak-anak kalau bukan ibu. Saya memilih untuk tidak berkarir, dan bertekad bulat untuk menemani anak-anak paling tidak sampai mereka melewati masa-masa emasnya.

Dalam hal, pembatasan menonton acara televisi saya memperbolehkan anak-anak menonton yang sesuai dengan usianya dan dibatasi maksimal tiga jam sehari masing-masing setelah makan pagi-siang-sore, dan tetap saya dampingi. Karena pada saat jeda acara, ada tayangan iklan yang sebenarnya tidak sesuai dengan usia balita, dan membuat bingung anak-anak yang harus kita jelaskan dengan bahasa sederhana dan sesuai logika mereka. Saya dan suami rela untuk tidak melihat acara televisi sampai waktu tidur anak-anak untuk memberi contoh kepada mereka, sehingga mereka juga tidak kecanduan menonton televisi.

Karena masih balita, anak-anak belum saya perkenalkan dengan internet. Saya pun baru akan online apabila anak-anak tidur atau pada saat sekolah. Disekolah mereka sudah diperkenalkan dan diajarkan bermain game edukasi melalui komputer. Terkadang anak pertama saya yang sekarang duduk di TK-B mulai menuntut meminta main game di computer. Kebetulan pula, saya dan suami bukan tipe orang yang suka bermain game, jadi tidak terpasang game di computer kami selain solitare (kartu), hanya itulah yang bisa dimainkan oleh anak kami itupun dia cepat bosan karena belum terlalu mengerti.

Pengaruh dari teman-teman dan saudara cukup kuat dalam hal kepemilikan PSP ataupun Game Boy. Sembilan puluh persen dari mereka pasti jika bepergian membawa PSP-nya untuk mengisi waktu pada saat menunggu ditempat makan atau menunggu orang tuanya berbelanja. Anak saya pun sudah mulai merengek-rengek minta dibelikan. Saya alihkan perhatiannya biasanya dengan memilih tempat makan yang ada playground-nya walau cuma perosotan sudah cukup mengalihkan perhatian dari permainan games. Atau jika saya berbelanja kebutuhan keluarga, saya libatkan mereka untuk memilih barang-barang kebutuhan anak-anak dan meminta pertimbangannya.

Tapi ada satu hal yang merupakan hobby saya dan suami yaitu nonton film di bioskop yang akhirnya menjadi kegemaran anak-anak juga. Tetapi tentu saja, film yang boleh ditonton oleh anak-anak adalah yang untuk semua umur. Pernah juga salah pilih film ternyata untuk remaja, saya harus menjelaskan berulang-ulang semampu mungkin adegan yang membuat anak-anak bingung dan kurang mengena logikanya.

Terdengar mudah memang dalam hal mengalihkan perhatian anak-anak dari media, tapi untuk praktek dan kenyataannya diperlukan kesabaran, keuletan serta perhatian yang lebih supaya anak-anak mau mengikuti permainan yang kita ajarkan daripada hanya menonton TV, atau bermain game saja di computer. Terkadang saya sendiri sampai kecapean karena harus menemani anak-anak 24 jam sehari, apalagi anak-anak termasuk yang sangat aktif, jadi mereka lebih banyak memilih kegiatan fisik seperti bermain sepeda, bermain bola, ber-scooter atau otoped, berlari-larian, pretend play dan lebih sedikit bermain puzzle, maze, kartu, mewarnai, menggunting, menempel dan sejenisnya karena memang masih masanya untuk aktif sekali.

Memang sepertinya anak-anak kami terlihat seperti Jadul (jaman dulu) dan ketinggalan jaman karena tidak mengikuti trend anak-anak saat ini, tapi saya mencoba untuk memberikan pendidikan sesuai dengan usia-nya, dan itulah yang terbaik untuk mereka. Seperti juga orang tua saya dahulu, saya-pun mencoba untuk memberi norma dan nilai yang mudah-mudahan akan tertanam baik dalam sikap dan perilaku anak-anak sampai besar nanti.

Rabu, 08 Juli 2009

Anak Kita adalah Amanah

oleh drh. Widyana Abdullah


Anak kita adalah amanah…
Anak kita adalah belahan jiwa…
Anak kita adalah harapan…
Anak adalah harta yang tak ternilai…

Akhir-akhir ini kita sering mengamati dan sering mendengar keluh kesah orang tua yang merasa prihatin melihat program televisi yang disodorkan oleh beberapa stasiun TV yang ada, sedangkan pengaturan obyek programnya belum ditata dengan baik. Masih banyak diketemukan program-program yang ditampilkan yang apabila hal itu dikonsumsi oleh pemirsa yang tidak tepat maka akan menimbulkan efek yang kurang baik. Sebagai contoh, tayangan film maupun sinetron yang bila kita amati masih kurang tepat baik jam penayangannya, substansi isi cerita yang kadang menggambarkan kekerasan, kebencian, dan kejahatan, yang apabila hal ini ditonton oleh buah hati kita dimana sel-sel syaraf otak mereka sedang tumbuh dengan baik, maka hal ini akan dengan sangat mudah masuk dalam ruang bawah sadar mereka dan mempengaruhi psikologis mereka. Banyak lagi kita menemukan program TV yang tidak sesuai dengan jangkauan umurnya. Sehingga tiba tiba orang tua hanya melihat perubahan perilaku anaknya yang berubah menjadi kasar, sering mengeluarkan kata-kata kotor, dan bahkan berubah menjadi seorang yang pemalas. Apa yang harus orang tua lakukan? Apakah hanya diam dan mengelus dada saja melihat perubahan tingkah laku anaknya? Tentunya tidak.. Saatnya kita harus bertindak.. baik preventif maupun kuratif.

Mengapa tayangan lewat media televisi bisa begitu “menyihir” anak-anak kita? Alasan utamanya adalah karena media televisi ini bersifat audio-visual, yang dapat menghadirkan pengalaman serta fantasi yang seolah-olah dialami langsung oleh si anak. Misalnya, dia sedang menonton adegan pertarungan, maka dalam fantasi si anak seolah-olah dia sedang bertarung dan berhadapan langsung dengan tokoh yang tidak disukainya. Selain karena perilaku alami anak yang selalu ingin meniru, mencoba hal yang baru serta tingginya daya imaginasinya maka secara reflex, anak anak tersebut akan menirukan adegan perkelahian seperti yang ada di dalam tayangan TV. Dan bagi mereka hal ini adalah hal yang sangat menyenangkan.

Sebenarnya apa penyebab mereka sangat menyukai duduk berlama-lama di depan “kotak ajaib” itu? Beberapa hal yang mempengaruhi antara lain :
1. Lingkungan Keluarga. Sebagai orang tua, kita jangan malu untuk mengevaluasi diri, apakah kita juga hobi berlama-lama duduk di depan TV? Orang tua adalah panutan bagi anak-anaknya. Semua sikap dan tingkah laku orang tua akan dengan mudah ditiru oleh anak-anaknya.
2. Peran Pengasuh. Jika kedua orang tuanya bekerja, perlu diselidiki apakah orang yang ada di rumah (misalnya: babysitter / pembantu rumah tangga, kakek/nenek, dll) juga mempunyai kebiasaan menonton tayangan sinetron atau program televisi dewasa lainnya di saat yang sama saat mengasuh buah hati kita.
3. Agenda Kegiatan yang Positif. Kadang anak-anak tidak dilibatkan dengan kegiatan yang positif yang dapat mendominasi waktunya, untuk dapat mengisi waktu kesehariannya.
4. Fasilitas TV Pribadi di kamar anak. Pada keluarga yang dilimpahi materi yang berlebihan, terkadang di setiap kamar anak diberikan fasilitas TV. Hal ini tentunya akan menyulitkan orang tua untuk mengawasi detail kegiatan mereka, sehingga mereka dengan bebas menonton semua jenis tayangan TV baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Kemudian pertanyaannya adalah, langkah apakah yang harus dilakukan guna meminimalkan efek negatif dari “jahatnya” tayangan anak yang tidak “berjiwa” anak? Beberapa hal yang dapat diupayakan antara lain :
1. Orang tua sebagai suri tauladan yang baik. Sebagai orang tua, berikan contoh / teladan yan baik. Jalin kerjasama dengan anggota keluarga yang lain, juga dengan babysitter/pembantu rumah tangga kita, untuk menjadi contoh yang baik untuk buah hati kita.
2. Libatkan mereka dengan kegiatan yang bermanfaat. Misalkan : mengikuti les sesuai dengan hobi / bakatnya, membaca buku cerita, ikut klub olahraga, dll.
3. Buatlah jadwal menonton program TV yang mereka sukai. Buat dengan kesepakatan bersama, tayangan apa yang dia suka (kita juga menyetujui) dan beri batasan waktu untuk menontonnya. Maksimal satu hari dua jam saja.
Lakukan pendampingan saat anak menonton program TV yang mereka sukai.
4. Jangan menempatkan TV di kamar anak. Lebih baik menempatkan TV di ruang tengah/ruang keluarga, dimana kita bisa lebih mudah mengawasi mereka.

Sebagai orang tua, apalagi seorang ibu, alangkah bangga dan bahagia nya kita saat anak-anak kita, tumbuh dengan jiwa mereka yang murni, keceriaan mereka yang alami, tanpa dicemari dari hal-hal yang begitu dekat dengan kehidupan kita…yaitu TELEVISI!!!
Alangkah indahnya jika apa yang kita upayakan ini, didukung pula oleh semua stasiun TV untuk menyajikan program TV anak-anak yang sesuai dengan jiwa mereka. “Marilah, mulai dari sekarang, untuk bertanggung jawab bersama atas masa depan anak-anak kita, karena mereka adalah tunas-tunas bangsa.”




Daftar Pustaka

Cara Jitu Atasi Perilaku Buruk Anak, Achmad Suhendi, dkk, Agustus 2004, PT. Gramedia, hal. 31-33