Kamis, 23 Juli 2009

Pengaruh Media

Ditulis oleh Debby M. Yunitasari
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Anakku Daffa (kini 3 tahun 7 bulan) dapat mengoperasikan laptop sejak berusia 2 tahun. Awalnya ayahnya mengenalkan Daffa dengan “CD Interaktif Anak Cerdas” dari Akal Interaktif. Dari CD tersebut, Daffa belajar mengenal abjad, angka, warna dan bentuk. Kemudian, dilanjutkan CD-CD berikutnya dari Akal Interaktif, yakni 3 seri CD Interaktif Anak Mandiri: “Aku Berani Sendiri”, Aku Suka Sekolah” dan “Aku tidak Takut ke Dokter” serta “Aku Anak Islam”. Ada juga CD Interaktif dari G Compris dan Childsplay.

Kami berdua senang karena Daffa mempunyai mainan edukasi. Dengan cepat dia mahir bermain berbagai CD Interaktif tersebut. Meskipun begitu, kami juga tidak membiarkan Daffa bermain seharian penuh. Kami membatasi waktunya maksimal 1,5 jam tiap kali main. Dia kami izinkan bermain CD Interaktif setiap hari. Dan dalam sehari, dia bisa bermain beberapa kali.
Menjelang usia Daffa 3 tahun, ayahnya menambahkan games “Super Mario” dan mengenalkannya pada Daffa. Dalam waktu singkat, Daffa mahir memainkan games tersebut. Disusul dengan beberapa games lain, yaitu “Charma”, “Zuma Deluxe”, “Dynomite Deluxe” dan “Pac Mania II”. Akhirnya, Daffa “kecanduan” nge-games.Tiada hari tanpa main games. Akibatnya, kadang kesepakatan waktu maksimal 1,5 jam sekali nge-games terlanggar. Belum lagi, dia juga tertarik pada games yang terdapat di handphone.

Daffa bisa sangat asyik kalau sudah nge-games. Apa saja terkalahkan, pokoknya. Bahkan, terkadang jadwal mandi, makan, tidur menjadi kacau hanya karena dia tidak mau berhenti nge-games karena sudah terlanjur asyik. “Ntar dulu, Bunda!”,begitu selalu katanya.
Kami berpikir hal ini tidak baik buat Daffa. Akhirnya kami membuat kesepakatan baru, Daffa hanya boleh nge-games di laptop hari Sabtu dan Minggu. Kalau untuk games di handphone kami masih bisa fleksibel, asalkan dia tidak memainkannya terlalu lama. Awalnya Daffa menolak kesepakatan baru itu dan tak jarang juga dia menangis saat tidak diizinkan main games. Tapi kami selalu memberi pengertian padanya bahwa terlalu sering main games juga kurang baik. Kami sampaikan matanya bisa sakit jika terlalu sering menatap layar laptop dan handphone. Berkat kekonsistenan kami, lama lama Daffa bisa menerima bahwa dirinya hanya boleh nge-games Sabtu dan Minggu.

Kadang, saya merasa kasihan juga jika dia “menghitung hari”. “Bunda, ini hari Selasa ya. Berarti besok Rabu, Kamis, Jumat, terus Sabtu. Daffa boleh main games deh…”, begitu katanya. Tapi, kami meyakini anak memang harus diberi batasan tegas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan,demi untuk kebaikannya kelak.

Selain laptop dan handphone, kami juga sangat selektif dalam tontonan televisi. Dia hanya kami izinkan menonton film kartun pilihan kami, seperti “Dora the Explorer”, “Diego”, “The Backyardigans”, “Wonder Pets”, dan “Finley the Fire Engine”. Kami tidak mengizinkan Daffa menonton film film kartun yang banyak “adegan kasar ataupun kalimat yang kurang baik” seperti “Tom and Jerry”, “Sponges Bob”, “Popeye the Sailorman”, “Doraemon”, dan “Sinchan”. Juga film film kartun yang sebenarnya untuk konsumsi remaja seperti “Avatar” dan “Naruto”. Untungnya, Daffa mau menurut meskipun sebelumnya protes. “Kenapa gak boleh nonton Popeye?”,tanyanya. “Karena Popeye filmnya kasar, banyak berantem berantemnya, “ jawab saya. Lama-lama, Daffa bahkan mengganti sendiri channel TV jika ada film film yang kami larang. ”Gak bagus filmnya, banyak berantem berantemnya,” katanya, jika ada “Popeye” atau “Tom and Jerry” atau “Filmya gak bagus, buat seumuran Mas Heri,” katanya, jika ada film “Avatar” atau “Naruto” sambil menyebut nama anak tetangga kami yang sudah duduk di bangku SMP.

Daffa lebih banyak menonton film kartun pagi hari. Dia pernah mempunyai jadwal rutin menonton film kartun, yakni pukul 07.00-08.30, berturut-turut dari “Dora”, “Backyardigans”, dan “Wonder Pets” yang masing masing berdurasi 30 menit. Karena dia sudah menonton TV selama 1,5 jam, setelah film terakhir habis, habis pula jatahnya menonton TV di pagi hari. Siang atau sorenya jika dia ingin menonton TV lagi, saya mengizinkan. Biasanya Daffa menonton “Finley” atau “Rolli Olli Polli”.

Namun, kemudian ada perubahan jadwal acara di stasiun TV yang sama. Mulai pukul 08.30, film kartun “Blue’s Clues” diganti dengan “Diego”. Nah, Daffa juga suka nonton “Diego” dan kebetulan filmnya juga bagus. Film ini mengajarkan kepada anak untuk menyayangi hewan. Jadwal menonton Daffa pun bertambah, dari 1,5 jam menjadi 2 jam. Saya sendiri sebenarnya juga bingung film mana yang mesti “dihapus” dari jadwal menontonnya karena menurut saya kekempat film kartun tersebut bagus semua.

“Dora” bercerita tentang Dora yang pintar dan pemberani yang suka menjelajah. Versi TV, Dora di-dubbing Bahasa Indonesia, namun kadang kadang Dora mengucapkan kata kata dalam Bahasa Inggris dengan meminta penonton untuk menirukan. “Backyardigans” bercerita tentang lima sahabat yang sedang bermain di halaman belakang rumah mereka kemudian berimajinasi berpetualang ke tempat lain. Dalam petualangan itu, mereka berperan menjadi tokoh sesuai tema petualangan.

Dalam cerita “Petualangan di Texas”, misalnya, mereka menjadi koboi. Dalam cerita “Petualangan ke Mesir Kuno”, ada yang berperan sebagai Cleopatra, pelayan pelayan Cleopatra dan Spinx, Bahkan pernah ada petualangan ke Hutan Kalimantan. “Backyardigans” memberi pengetahuan kepada anak tentang suatu tempat dan kekhasan dari tempat tersebut, di samping juga mengajarkan baiknya persahabatan. Sementara “Wonder Pets” mengajarkan pentingnya kerjasama dalam melakukan pekerjaan. Sebagaimana penggalan lirik lagu dalam film kartun tersebut, “Kami bekerja sama melakukan hal yang benar…”

Daffa kadang-kadang ingin juga menonton film kartun lain yang diputar di stasiun TV yang berbeda, seperti “Curious George”. Karena film ini diputar mulai pukul 06.30, konsekuensinya dia harus mengurangi satu film yang ditonton dalam “jadwal rutin pukul 07.00-09.00”, agar durasi menontonnya tetap maksimal 2 jam.

Hal lain yang tidak kalah penting, Daffa tidak kami izinkan menonton sinetron, tak terkecuali yang berlabel sinetron anak anak. Pada kenyataannya, meski namanya sinetron anak anak, terdapat juga adegan kasar ataupun kata kata yang tidak pantas didengar anak, utamanya balita. Dalam sinetron Tarzan Cilik dengan pemain utama Baim yang terkenal itu, umpamanya, pernah ada adegan di mana ayah angkat Tarzan,yang notabene tidak menyukai Tarzan, diperlihatkan melakukan berbagai macam cara untuk “melenyapkan” Tarzan.

Demi Daffa, saya rela untuk tidak menonton sinetron, reality show, infotainment dan berita-berita kriminal kecuali jika dia sedang bermain di luar rumah atau sedang tidur. Pernah beberapa kali, saya melihat salah satu reality show terkenal. Daffa ada bersama kami, tapi dia sedang asyik bermain dengan ayahnya. Tak disangka, suatu waktu, saat ada iklan acara tersebut, Daffa ikut menyayikan theme song-nya “…saat cinta memang harus diakhiri…” Wah, kapok saya. Sejak itu, tak lagi lagi saya menonton acara dewasa jika ada Daffa di dekat saya.
Di samping media elektronik, kami juga selektif memilih media cetak yang baik bagi Daffa. Sebulan sekali, Daffa kami ajak ke toko buku. Kami meminta Daffa memilih buku mana yang ingin dibelinya. Tapi tentunya kami juga yang memutuskan apakah buku itu boleh dibeli atau tidak. Jika tidak, dia kami minta memilih buku lain dengan memberi pengertian mengapa buku tersebut tidak boleh dibeli.

Hal ini kami rasa penting karena ada buku bacaan anak yang menurut kami kurang bagus karena di dalamnya terdapat kata kata berkonotasi negatif. Suatu waktu Daffa pernah mendapat hadiah buku bilingual dari tantenya. Si Tante membelikan buku itu karena kemungkinan dilihat dari judulnya isi buku tersebut menarik, Terlebih buku itu terbitan penerbit anak terkenal.
Cerita dalam buku tersebut memang pada kenyataannya menarik, bercerita tentang seekor burung hantu yang berusaha menjadi ayam jago. Namun, disayangkan, ada beberapa kalimat berkonotasi negatif, seperti “dasar badut!”, “penipu!”, “dasar si mata melotot”, dan “ayam betina bodoh”. Beberapa bulan lalu Daffa belum bisa membaca, Jadi saat membacakan buku itu, kata kata tersebut tidak kami bacakan. Tapi sejak sebulan lalu, Daffa sudah bisa membaca sendiri. Saya agak khawatir juga jika dia kemudian ingin membaca buku tersebut sehingga kata kata berkonotasi negatif itu terbaca olehnya. Dan, berdasar karakter anak anak sebagai peniru ulung, bukan tidak mungkin Daffa akan menirukan kata kata tersebut saat berbicara dengan orang lain.
Berbekal pengalaman itu, sekarang jika ingin membelikan buku bacaan untuk Daffa, kami selalu memastikan di dalam buku tersebut tidak ada kata kata berkonotasi negatif yang kurang baik bagi anak.

Sebagai penutup, kemajuan teknologi dewasa ini, termasuk juga di bidang media, memang tidak terhindarkan. Ditambah lagi dengan pers di Negara ini yang makin bebas setelah reformasi, membuat kita para orang tua mesti lebih jeli dalam memilih dan memilah tontonan dan bacaan yang bermutu bagi anak anak kita. Jangan sampai anak anak kita menjadi “dewasa sebelum waktunya” karena tontonan dan bacaan yang tidak sesuai dengan usianya.


note:
gambar diambil dari sini

1 komentar:

  1. saya setuju.
    saat ini para orang tua harus selekif dalam memilih acara televisi

    BalasHapus