Senin, 13 Juli 2009

Selalu Ada hari Tanpa TV

Ditulis oleh Yudith Fabiola

Semua bermula dari TV yang rusak. Tanpa sengaja rusak. Lalu, berhari-hari didiamkan. Tidak diperbaiki, tidak juga beli baru. Hidup tidak mendadak nelangsa dengan kerusakan tv yang mendadak itu. Sebab masih ada internet yang 24 jam sehari, 7 kali seminggu. Informasi bisa kami dapat dari internet. Meski rusak, TV masih nangkring dengan manis di ruang keluarga. Seminggu, dua minggu keinginan memperbaiki TV masih ada tapi kesibukan selalu menyita sehingga urusan TV belum masuk agenda utama. Akhirnya TV malang itu dipindahkan ke gudang. Sebulan, dua bulan, tiga bulan tidak juga tv rusak itu beranjak dari gudang. Setahun, dua tahun...hei, tanpa kami sadari sudah dua tahun lebih tiada TV menghiasi keseharian kami. Bahkan letaknya di gudang pun sudah tak kami ingat. Apakah di bawah kardus, di samping koper atau tertutup tumpukan kain usang. Tanpa kami sadari juga kehidupan kami berjalan baik-baik saja meski tiada acara TV yang katanya menambah semarak suasana.

Awalnya, kami tidak pernah mencanangkan akan menyingkirkan TV dalam kehidupan. Kami pun tidak termasuk golongan anti TV. Namun, dengan berjalannya waktu kami merasakan dampak positif dari absennya TV dalam rumah kami sehingga kini, dengan sangat sadar, kami pun memutuskan, untuk saat ini, tidak perlu ada TV ditengah-tengah kehidupan kami.

Dulu, ketika TV masih menyala, bisa dibilang anak kami menonton setiap hari, hampir sepanjang hari kecuali ia tidur dan ke sekolah. Meskipun jam menonton dan jenis tontonan telah diatur sedemian rupa, tidak mudah mengalihkan perhatian anak ketika menonton. Saat menonton, matanya melotot ke arah TV, tubuhnya bergeming menghadap TV. Panggilan ibunya tak terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali panggilan tak digubris. Pada panggilan kelima ia menolehkan kepalanya, itupun setelah suara sang ibu meninggi beberapa oktaf. Aduhai TV...ia telah mencuri si permata hati ibunda. Jengkel bukan main hati ibunya. Bukan hanya itu, TV seakan menyedot ingatan dan konsentrasi anak untuk selalu tertuju padanya. Kongkritnya begini, bangun tidur, selesai mandi, akan makan, pulang sekolah, seusai mengerjakan PR, ingatan anak selalu melayang ke kotak ajaib itu. Ia akan terus menagih jika belum diijinkan menonton TV dan ia akan mendadak patuh jika disuruh duduk manis di depan TV sementara ibunya mengerjakan hal yang lain. Duh TV...alangkah kuat daya magisnya. Anak kami menjadi jarang bermain. Baik itu memainkan balok-balok, boneka, bola-bola apalagi menggambar, mewarnai dan membuat prakarya. Tidak juga berlari-lari dan bermain petak umpet. Ia tahan duduk lama demi menyaksikan film kesukaannya. Maka, rusaknya TV tidak kami sesali. Sebaliknya, patut kami syukuri karena telah 'menyelamatkan' anak kami.

Tidak adanya TV 'mengembalikan' anak kami kepada keadaan yang 'seharusnya'. Rumah kembali berantakan karena mainan berserakan disana-sini. Ia berlari kesana kemarin bermain petak umpet, bertengkar dengan adiknya. Ia menggunting-gunting kertas, menggambar dan mewarnai. Dan, yang paling membahagiakan ia kembali keranjingan membaca buku dan majalah. Ternyata kekhawatiran kami pun tak terjadi. Tadinya, kami mencemaskan kondisi anak kami tanpa kehadiran TV. Kami khawatir ia akan marah, menangis meraung-raung dan sebagainya. Rupanya, tak ada tangisan meraung-raung, tak acara. Sempat juga terlintas di benak kami tentang pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa percuma saja tidak ada TV di rumah karena anak bisa saja ke rumah tetangga dan menonton sepuasnya disana. Atau anak akan 'blingsatan' jika menemukan TV. Meski sedikit cemas, tapi kami menguatkan hati untuk tidak terpengaruh dengan pendapat itu.

Alhamdulillah anak kami pun biasa-biasa saja jika ke rumah tetangga atau ke rumah neneknya. Ia memang menonton TV tapi tidak nampak seperti orang kehausan yang menemukan oase di tengah gurun, ketika menonton TV. Tentu saja kami tidak membenci TV. Selain sinetron, reality show ataupun infotainment, TV juga menyuguhkan acara-acara yang menarik dan edukatif. Sayang sekali jumlahnya tidak sebanding dengan acara-acara tadi dan waktu tayangnya pun tidak sesuai untuk anak-anak.

Lalu, apakah tiadanya TV menghentikan kebiasaan menonton? Seperti yang telah saya tulis diatas, seperangkat komputer tetap menyala dan internet on terus di rumah kami. Hal ini memungkinkan anak kami tetap menonton VCD ataupun tayangan di internet. Tidak ada bedanya dong dengan TV? Sepintas memang nampak sama. Tapi, menonton media elektronik selain TV membuat anak lebih mudah 'dikendalikan' sebab menonton media selain TV (dalam hal ini VCD atau internet dengan layar monitor komputer) memiliki keterbatasan. Terbatas ukuran layarnya sehingga menontonnya menjadi tak nyaman. Terbatas waktu tontonannya. Jika film habis tidak serta merta terganti dengan film baru. Tidak seperti TV yang tayangannya nonstop kecuali powernya dimatikan. Kedua hal ini membuat mereka tidak asyik untuk terus menerus duduk manis menonton film.

Menonton media selain TV membuat kami menjadi 'penguasa' media sebab kami yang menyeleksi jenis tontonan dan waktu menonton. Berbeda dengan menonton TV. Anak-anak harus 'patuh' pada TV sebab jam tayang film kesukaan mereka bukan orangtua yang mengatur. Akibatnya jadwal harian anak diselaraskan oleh jadwal tontonan TV. Padahal, menurut pendapat kami, jadwal harian anak sepatutnya independen, tidak dipengaruhi jadwal tayangan TV. Meski demikian, menonton VCD atau internet tetap harus diawasi terlebih untuk anak-anak usia sekolah yang sudah tidak gagap menggunakan komputer dan mengenal internet. Orangtua maupun pengasuh tetap perlu mendampingi anak-anak mereka dalam melahap dan mencerna informasi yang mereka dapat dari media elektronik.

Kini, dalam soal menonton memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Tayangan yang ditonton memuat pesan-pesan positif.
2. Tayangan tidak menyuguhkan adegan kekerasan dan kata-kata kasar.
3. Mengutamakan tayangan yang sarat dialog positif sehingga anak-anak meniru cara berdialog atau berkomunikasi dengan baik.
4. Menonton dilakukan pada akhir pekan atau liburan.
5. Menonton diberi jeda agar mata tidak lelah dan anak melakukan aktivitas lain.

Sejak semakin jarang menonton TV maupun media elektronik selain TV, anak kami jadi lebih sering membaca buku dan sekali-sekali menulis. Ia menjadi keranjingan membaca buku. Ia menanti-nanti terbitnya edisi terbaru majalah kesukaannya. Terkadang ia bahkan ingin tahu isi buku yang kami baca. Ia tertarik sebab ia melihat kami membaca buku dengan nikmat. Kadang senyum, kadang tergelak, kadang menitikkan airmata. Membuat ia semakin penasaran dengan buku. Hal yang sangat menggembirakan lainnya adalah adiknya yang baru berusia tiga tahun jadi ikut-ikutan membaca. Tepatnya, bertingkah seolah-olah ia sudah pandai membaca padahal belum. Kalau sedang tak ingin membaca, ia akan meminta kami membacakan buku untuknya. Walaupun begitu, bukan berarti semua bacaan aman dikonsumsi anak kita. Tetap saja orangtua memegang peranan penting untuk memilih bacaan yang baik bagi anak-anaknya. Tidak ada yang benar-benar aman di dunia ini untuk anak kita. Orangtua harus senantiasa melindungi anaknya dari segala hal yang akan 'menerkam' indera mereka. Seperti induk ayam yang sigap membentangkan sayapnya jika bahaya mengintai anak-anaknya. Itulah yang dapat kami lakukan untuk anak kami. Setidaknya satu ujian, yakni kecanduan menonton TV sudah dapat kami atasi. Jika dulu, tiada hari tanpa TV. Kini, selalu ada hari tanpa TV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar