Kamis, 23 Juli 2009

Berbagi Jatah Waktu Menonton Meminimalisasi Dampak Buruk TV

Ditulis oleh Umi Laila Sari
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Saya teringat ungkapan seorang Bapak, tetangga saya. Beliau mengatakan bahwa mendidik anak ibarat bermain layang-layang. Ada saat senar –benang layang-layang—ditarik dengan kuat. Ada saat senar dikendurkan. Juga pada kesempatan lain senar dibiarkan tanpa menarik atau mengulurnya. Kendati tetap saja, gulungan senar di bawah pengawasan sang pemain.
Semakin tinggi, layang-layang meliuk di angkasa, semakin menyenangkan bermainnya. Tetapi tentu akan semakin kuat angin menerpa. Ancaman alamiah terhadap keamanan layang-layang. Belum lagi gangguan dari pemain lain yang ingin memutuskan layang-layang kita. Untuk itu, pemain harus bijakdan cermat mengambil sikap dalam menjaga layangannya. Begitulah filosofis bersikap terhadap anak. Seperti layang-layang, jiwa anak-anak selalu berhasrat terbang tinggi namun masih butuh pengawasan orang tua.

Seorang anak tidak hidup sezaman dengan orang tuanya. Mereka memiliki dunia sendiri yang mungkin akan sangat berbeda karena memang realitas dunia setiap saat berkembang. Ada begitu banyak kemajuan peradaban manusia. Dengan kondisi tersebut, sangat tidak memungkinkan orang tua menerapkan pola pendidikan konservatif. Sudah saatnya orang tua atau orang-orang dewasa di sekitar anak lebih membuka diri. Memahami bahwa masalah yang dihadapi anak mereka kian kompleks. Salah satunya pengaruh negative dari tontonan dan bacaan.

Seperti diketahui bersama, media massa, cetak maupun elektronik memberi pengaruh cukup besar terhadap perubahan pola pikir dan perilaku anak bahkan juga orang dewasa. Setiap detik ada ribuan informasi masuk dalam daya serap anak yang memang masih sangat cepat menangkap pesan yang diterimanya. Fatalnya, informasi yang didapat sang anak lebih banyak hal buruk ketimbang baik. Sementara orang tua tidak dapat sepenuhnya, setiap saat mendampingi anak.

Saya berupaya menerapkan filosofis layang-layang tadi pada usaha memantau berbagai hiburan yang diperoleh anak dari media massa. Saya lebih fokus ke media elektronik sebab pengawasannya menurut saya lebih sulit. Kebetulan saya sulung dari delapan bersaudara dan masih memiliki adik-adik kecil.

Untuk media cetak, biasanya saya yang lebih banyak memilihkan bahan bacaan pada adik-adik. Seperti membelikan mereka buku cerita atau majalah yang memang terdapat nilai edukasi. Atau sesering mungkin memeriksa tas maupun tumpukan buku mereka, mengantisipasi bahan bacaan yang merusak.

Lalu, untuk media elektronik, saya punya kiat tersendiri. Meski sebelumnya orang tua saya sempat menghilangkan sama sekali TV dari perabot di rumah. Maka, sempat beberapa kesempatan, rumah kami tidak ‘bersuara’. Namun, nyatanya TV tetap menjadi sumber informasi mudah dan murah bagi orang tua saya.

Pertama, walaupun tidak tertulis, saya membuat atau membagi jatah waktu untuk menonton. Misalnya pagi hari bagian orang tua kami karena mereka terbiasa menonton program berita. Menjelang siang, adik saya yang duduk di SMP dengan lebih memilih program musik. Seusai makan siang, adik-adik saya yang kecil dengan program film kartunnya. Pembagian jatah waktu tersebut selain disesuikan dengan jadwal sekolah, les, atau aktifitas harian mereka lainnya juga dengan program acara yang sesuai dengan mereka. Jadi, ketika jatah waktu seorang anak, yang lain tidak ikut menonton sebab sedang melakukan aktifitas masing-masing.

Kedua, karena banyaknya chanel TV sebisa mungkin membujuk anak agar mengganti channel manakala dinilai program yang sedang ditonton tidak mendidik. “Eh, kayaknya acara di TV X lebih seru deh! Coba kita liat yuk!”

Ketiga, setelah mengubah-ubah channel, terkadang tetap saja tidak menemukan program yang aman untuk anak pada jam tertentu. Maka, ajaklah anak untuk bermain dengan konsep merealisasikan apa yang pernah mereka tonton. Umumnya anak-anak memiliki tokoh film idola, tidak ada salahnya menjadikan sang anak tokoh tersebut.
“Setahu ayuk, tokoh Y suka menolong orang yang sedang kesulitan. Nah, gimana kalau kamu sekarang jadi dia. Ayuk akan buat kamu mirip dia. Kamu mau kan? Eh iya sekalian, ayuk seolah-olah jadi korbannya. Ayuk butuh bantuan untuk merapikan tempat tidur. Apakah pahlawan itu akan datang ya?” kira-kira begitu saya berucap pada adik-adik.

Keempat, meminta ia menceritakan kembali apa yang telah ditonton. Saya membiasakan diri antusias untuk mengetahui jalan cerita film yang ditonton adik-adik saya. Pada saat mereka mengulas kembali acara tersebut dengan bahasa mereka sendiri, saya perlahan memberi pengarahan tentang hal yang baik atau buruk.

Tidak lupa di akhir ‘laporannya’, saya memberi semangat bahwa ia dapat pula melakukan perbuatan baik seperti dalam cerita tadi. Serta memberi kepercayaan pada anak bahwa tidak akan mencontoh perilaku negatif.

Kelima, sedikit tegas untuk tidak membuka TV pada saat jadwal kegiatan yang lain meski pun dapat dilakukan seraya menonton TV misalnya jadwal makan, membersihkan rumah, mengerjakan PR sekolah, dll. Dan memang, untuk usaha kelima ini, saya merasa cukup sulit meski bukan berarti tidak bisa. Terlebih ketika ada acara spesial pada event tertentu di stasiun TV. Bahkan ada beberapa kali, adik saya marah dan ngambek karena saya tetap mematikan TV ketika ia ingin menonton.
“Kasian dong sama makanannya dicuekin. Mata adik asyik nonton TV, bisa-bisanya nasinya masuk ke hidung karena nggak liat waktu menyuap. Kalo aja, makanannya bisa ngomong, mungkin dia teriak-teriak atau nangis karena lama banget dimakan.”

Keenam, karena adik saya pun telah terbiasa dengan game on line maka pengawasan terhadap tempatnya nongkrong juga saya lakukan. Tidak terlalu jauh dari rumah kami ada warnet yang memang juga jadi tempat favorit untuk ngegame anak-anak di sana. Jadi, sembari saya nge-net dapat melongok adik yang sedang on line.

Ketujuh, memberi penyadaran. Saya memahami bahwa seketat apapun pengawasan yang saya dan orang tua lakukan akan tetap bisa dilanggar jika anak tidak memiliki kesadaran individu. Konsep yang ada memang ideal, namun ada kondisi yang terkadang membuat pelaksaannnya kurang sempurna. Misalnya ketika saya harus berada di luar kota dalam waktu tertentu. Anak-anak sadar bahwa apa yang dilakukan orang tua untuk melarang mereka menonton acara yang negative adalah demi kebaikan mereka.

Semua tips diatas dalam aplikasiya tentu disesuikan dengan tingkat usia masing-masing anak. Pembahasaan anak usia 5 tahun tentu berbeda dengan pembahasaan anak usia 14 tahun. Selain pula karakter tiap anak menentukan bagaimana penyikapan yang terbaik. Orang tua diharapkan adalah orang yang paling mengerti tabiat anak-anak mereka dan mampu mengarahkannya. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar