Kamis, 23 Juli 2009

Aku Ga Mau Nonton Itu, Ah!

Ditulis oleh Yudith Listiandri
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

“Selingkuh itu apa sih, Ma?” begitu kata seorang kawan saya, menirukan pertanyaan anaknya yang membuat gelagapan. Seorang kawan lain bercerita bahwa anaknya sering tidak mau diajak berkunjung ke rumah neneknya jika waktunya bertepatan dengan jam tayang sebuah sinetron. Cerita seorang guru TK juga tak jauh berbeda. Saat anak-anak ditanya tentang acara TV apa yang mereka kenal, banyak di antara mereka yang menyebutkan beberapa judul acara yang tidak cocok dikonsumsi anak-anak seperti Suami-Suami Takut Istri, Intan, dan sebagainya.

Kasus anak saya sedikit berbeda. Ia hafal beberapa penggal lirik lagu yang dijadikan lagu tema sinetron. “Atas nama cintaaaa …” begitu ia sering menirukan. Di rumah dan di sekolah, ia sudah diberi pemahaman bahwa tidak semua yang ditayangkan TV bernilai baik. Tak urung, berkali-kali juga ia mendengar penggalan lagu orang dewasa itu dari TV yang dinyalakan neneknya. Berkaca dari pengalaman anak saya itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa salah satu unsur penting untuk mengerem pengaruh buruk media (yang salah satu bidak hitamnya adalah TV) adalah komitmen bersama.

Komitmen bersama diperlukan karena pendidikan yang berhasil harus bersifat konsisten dan berkelanjutan. Meski orangtua sudah memberi larangan, tetapi jika orang dewasa lain dalam rumah tidak dilibatkan, akan memberi pesan yang bias pada anak. Bagi anak, pesan yang berbeda itu membingungkan. Beberapa negara lain seperti Korea Selatan telah mengambil langkah yang lebih maju dalam hal komitmen bersama ini. Mereka membentuk forum bersama yang secara terbuka mendiskusikan layak tidaknya sebuah adegan ditayangkan. Forum ini terdiri dari unsur produsen maupun penonton, juga melibatkan tim ahli.

Kedua, karena kita tidak mungkin memantau anak selama 24 jam dan membendung sepenuhnya pengaruh media itu, anak perlu dibekali dengan pemahaman yang cukup atas apa yang dilihat atau didengarnya. Untuk itu, kita perlu sesering mungkin mendampingi saat mereka menonton TV atau mengakses media lain seperti internet. Tunjukkan secara konkret alasan sebuah tayangan layak atau tidak ditonton, layak diakses atau tidak. Ketika mereka melihat adegan pertengkaran, misalnya, tanamkan pemahaman bahwa pertengkaran dengan cara berteriak-teriak, mencaci maki, dan memukul bukanlah cara pemecahan masalah yang baik. Biarkan anak mencerna pemahaman ini, mengeluarkan pendapat, dan memberi penilaiannya sendiri. Ia juga perlu tahu bahwa tidak semua tontonan yang dibuat untuk anak itu baik. Tokoh-tokoh superhero atau tokoh kartun tidak sepenuhnya bebas dari kekerasan. Si tokoh memang jagoan, tetapi ia menang di atas penderitaan dan kesakitan tokoh lain.

Ketiga, buka seluas-luasnya ruang untuk berdiskusi. Anak memiliki keingintahuan yang besar. Gunakanlah naluri alamiah anak itu untuk mengenal lingkungan sekitar dan untuk melakukan penyaringan sendiri atas hal-hal buruk yang tidak patut dicontoh. Dalam hal ini, kita perlu belajar mendengarkan dan menghormati pendapat anak. Dengan metode self-filter inilah kelak anak yang tumbuh menjadi remaja akan memiliki bekal kecerdasan emosional yang cukup untuk menangkal pengaruh buruk lingkungannya, terutama dari teman sebaya.
Anak juga mudah terpengaruh dengan iklan-iklan yang menarik. Iklan dapat tertanam lebih kuat di otak anak daripada tayangan yang berdurasi lebih lama. Hal ini disebabkan karena durasinya pendek dengan kata-kata yang mudah diingat, ditayangkan berulang-ulang, dan didesain untuk mudah tertangkap mata. Anak paling sering tergiur dengan iklan makanan dan minuman yang seringkali tidak sehat, bahkan membahayakan bila dikonsumsi terlalu banyak. Pengalaman seorang keponakan saya cukup menggelitik. Ia yang baru berusia 3 tahun menetapkan bahwa makanan favoritnya adalah nasi berlauk kecap dan kerupuk, gara-gara melihat iklan sebuah produk kecap. Selama minggu, ia hanya mau makan itu. Kasus seperti inilah yang memerlukan dibukanya kesempatan yang seluas-luasnya untuk berdiskusi dengan anak.

Keempat, perlu disadari sepenuhnya bahwa TV hanyalah sebuah alat. Adalah tugas kita sebagai orang dewasa untuk menuntun anak agar bijaksana dalam memakainya. Seperti halnya alat lain, kita memerlukan aturan penggunaan. Aturan inilah yang perlu kita diskusikan bersama anak dan kita terapkan bersama dalam keluarga. Ajaklah anak untuk mendesain program apa saja yang boleh ditonton dan berapa waktu yang boleh dialokasikan untuk menonton. Suara anak patut didengarkan dalam membuat aturan ini dan doronglah anak untuk menepati aturan yang telah dibuat bersama.

Sambil terus berusaha menerapkan semua “teori” yang saya harap tidak terlalu muluk itu, saya merasa sedikit lega ketika mendengar anak saya menyeletuk, “Bu, Yang Ti nonton sinetron yang marah-marah sambil mbanting gelas … aku nggak mau nonton ah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar