Kamis, 31 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Menjadikan Dongeng dan Bacaan Sahabat Anak

Oleh: Nurul Setyorini


Membentuk generasi muda bangsa ini menjadi generasi pembelajar yang cinta membaca demi mengembangkan wawasannya dan memuaskan rasa haus akan pengetahuan, bukanlah sebuah proses yang instan. Seperti kata pepatah, ‘tak kenal maka tak sayang’, orang-orang dewasa di sekeliling anak perlu membangun situasi dan kondisi yang mampu menumbuhkan minat baca anak, sedari dini.

Beragam cara dapat ditempuh untuk menumbuhkan minat baca, seperti mendekatkan buku dalam kehidupan keseharian anak sehingga ia telah mengenal benda bernama buku, bahkan sejak ia belum bisa membaca. Buku untuk anak sendiri sebaiknya disesuaikan perkembangan anak, dimana anak biasanya tertarik dengan buku yang kuat unsur visualnya alias buku cerita bergambar. Lebih jauh, situasi rumah yang ramah dengan aneka bacaan mulai dari yang serius sampai yang ringan, ensiklopedia, koran, novel, majalah dan sebagainya, tentunya akan lebih mendukung bagi tumbuhnya kecintaan anak pada dunia membaca. Metode lainnya yang bisa dilakukan ialah dengan mendongeng, dimana aktivitas yang satu ini dapat dilakukan dengan atau tanpa buku. Di samping manfaat-manfaat yang dikandung dalam dirinya sendiri, mendongeng ibarat sebuah kendaraan yang dapat mengantarkan anak pada tahap lebih lanjut yakni keterampilan membaca.

Menurut survey yang dilakukan terhadap 500 anak berusia 3-8 tahun yang dipimpin oleh Richard Woolfson dan disponsori oleh Disney/Pixar World of Cars, hampir 2/3 anak menginginkan orangtua mereka menyempatkan waktu membacakan dongeng sebelum tidur . Hal ini setidaknya memberikan gambaran bahwa kegiatan mendongeng merupakan salah satu aktivitas yang disukai oleh anak-anak. Bahkan aktivitas mendongeng, telah diakui secara ilmiah, memberikan manfaat bagi tumbuh-kembang anak secara kognitif maupun psikologis. Lingkungan awal bagi bayi sampai usia balita, yang diisi dengan rangsangan positif seperti aktivitas mendongeng ini, akan berpengaruh terhadap perkembangan otak mereka, dimana pada usia dua belas tahun kemampuan otak mereka lebih baik ketimbang mereka yang dibesarkan dalam lingkungan yang kurang menstimulasi perkembangan otak .

Banyak manfaat dapat dipetik dari kegiatan mendongeng. Pertama, kegiatan mendongeng ini merupakan salah satu cara untuk mempererat kebersamaan dan ikatan emosi antara orangtua dan anak. Ritual mendongeng sebelum tidur bisa menjadi memori manis yang dikenang anak sampai ia dewasa kelak. Kedua, aktivitas mendongeng dapat mengasah kemampuan berbahasa anak. Dalam filsafat konstruktivisme, mendongeng dapat dipandang sebagai sarana untuk mengembangkan bahasa lisan dan kemampuan literasi anak. Mendongeng adalah proses menghadirkan realitas sosial melalui cerita, ke dalam alam pikiran anak-anak, yang dilakukan melalui bahasa. Mendongeng membantu anak memahami makna realitas yang dihayati bersama oleh masyarakat, seperti apa itu binatang, tumbuhan, sampai hal abstrak seperti kebaikan dan kasih sayang. Selain itu, mendongeng dapat memperkaya perbendaharaan kosakata yang dipunyai anak. Ditambah lagi, jika dibangun suasana mendongeng yang interaktif maka bisa digunakan untuk memancing umpan balik dari anak, seperti adanya tanya jawab tentang apa yang terjadi dalam kisah dongeng tersebut. Ketiga, dongeng dapat merangsang imajinasi anak, baik dongeng tanpa buku maupun dengan buku. Misalnya, ketika diceritakan bagaimana petualangan kancil yang nakal karena suka mencuri timun diakhiri dengan jebakan boneka orang-orangan sawah yang telah dilumuri lem, atau bagaimana Timun Emas berlari-lari menghindari kejaran raksasa, atau megahnya kastil-kastil ala cerita Eropa seperti Putri Salju yang tidak dapat dijumpai di negeri sendiri, atau cerita Pandawa yang harus menghadapi Kurawa yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, seratus! Lebih lanjut, imajinasi anak dapat mendorong tumbuhnya proses kreatif dalam diri anak, yang dapat diimplementasikan dalam kegiatan seperti menggambar atau memainkan tokoh-tokoh dalam dongeng dengan benda-benda mainannya. Selain itu, dongeng juga mampu menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak tanpa harus menggurui. Melalui berbagai karakter dan penokohan yang ada dalam dongeng, dapat ditanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, empati, kasih sayang, tolong menolong, yang dapat membentuk kepribadian anak yang positif. Namun, dengan menyesuaikan perkembangan daya nalar anak, karakter-karakter yang diperkenalkan memiliki pendirian yang tegas, mewakili kebaikan ataukah kejahatan, protagonis ataukah anatagonis. Ini adalah pijakan dasar anak nantinya menyelami dunia lebih dalam, yang ternyata juga memiliki karakter abu-abu.

Mendongeng untuk anak tidak hanya harus memperhatikan isi dan narasi cerita (what story) dan tujuan mendongeng seperti menanamkan pesan moral (why tell that story) seperti yang diungkapkan sebelumnya, melainkan juga harus menimbang unsur-unsur lain yakni untuk siapa dongeng itu dibacakan (who listen the story), bagaimana cara penyampaiannya (how to tell the story) juga kapan dan dimana cerita itu akan disampaikan (when and where). Karena target audiens dari kegiatan mendongeng ini adalah anak-anak, maka cara penyampaian cerita tentunya dengan kemasan dan bahasa yang mudah dicerna oleh anak-anak. Kompleksitas isi cerita yang ditawarkan gradual mengikuti tingkat usia anak, dan yang tidak kalah penting ialah menyangkut fisik buku yang mencakup unsur visual, ilustrasi, lay out sampai ketebalan buku. Ruang fisik dan waktu yang disediakan untuk mendongeng pun juga dapat diatur lebih fleksibel dan tidak semata terikat pada ‘dongeng sebelum tidur’ yang umumnya dibacakan di (ruang) kamar pada (waktu) sebelum anak tidur. Pada saat anak bermain misalnya, tempatnya pun bisa di ruang keluarga, kebun dan sebagainya. Terakhir, bagaimana kualifikasi pendongeng juga memiliki peran yang signifikan terkait bagaimana penyampaian dongeng tersebut. Pendongeng idealnya memiliki kedekatan dengan anak, yakni keluarga besar dan terutama orangtuanya sendiri. Sang pendongeng sendiri harus memiliki ‘keterlibatan’ dalam cerita yang dibawakannya, artinya ia harus menyukai, menjiwai cerita, dan menikmati proses mendongeng itu sendiri.

Pendongeng harus pula memiliki keseriusan dalam membacakan dongeng, mampu membawakan dongeng itu dari awal sampai selesai. Selain itu, tidak kalah penting juga adalah kreativitas dalam penyampaian dongeng, misalnya penggunaan alat peraga dalam membawakan dongeng seperti boneka, wayang. Juga dapat ditambah unsur penunjang seperti musik dan efek suara (sound effect) baik dari alat pemutar maupun manual dilakukan manusia. Apalagi dengan komunikasi nonverbal yang kuat dari mimik muka dan gesture, mampu membuat cerita yang dibawakan menjadi lebih ‘hidup’, yang akan semakin mendorong antusiasme anak terhadap acara mendongeng ini.

Begitulah, meluangkan waktu mendongeng anak-anak ternyata memiliki efek yang positif bagi anak dalam proses mereka bertumbuh dan berkembang. Anak adalah harapan masa depan umat manusia, maka berikanlah mereka bekal untuk meneruskan keberlangsungan peradaban umat manusia. Mewujudkan cita-cita yang besar itu dapat dimulai dari hal kedengarannya sederhana, mendongeng....




Referensi:
M E., Young. 1999. Early child development: Investing in the future, Washington DC: World Bank.

note: gambar dipinjam dari sini
Perkaya Imajinasi dengan Dongeng. 2009. Terarsip dalam: http://indonesiabuku.com/?p=2039
Suciati, Irli Sri. 2007. Seputar Bagaimana dan Apa Bercerita atau Mendongeng yang Baik kepada Anak-anak. Mimbar Pustaka Jatim No.01/Th.I/Januari-Maret 2007


(diikutsertakan dalam lomba penulisan arikel “Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Buku dan Dongeng: Hiburan yang Mencerdaskan

Oleh: Marlina

Cuma Mengeluh
Sering mendengar ucapan orang tua seperti ini?
“Duh anak saya nggak mau membaca buku pelajarannya”! atau “Anak saya malas sekali jika disuruh membaca.” Saya acap kali mendengar keluhan serupa dari ibu-ibu sekitar saya.
Disisi lain, saya pernah menghadiahkan sebuah buku parenting tentang masa emas 3 tahun pertama pada seorang kerabat, dan tanggapannya adalah : “Akh, saya nggak mau baca buku itu, karena tidak ada gambarnya, terlalu tebal!” Wow. Jadi mereka akan mengeluh jika anaknya malas atau tidak suka membaca, namun untuk membaca sendiri pun mereka enggan. Ironis.
Ada juga orang tua yang membiarkan anak-anak mereka lebih menyukai menonton TV dari pada membaca buku dan akhirnya menjadikan televisi sebagai pangkalan hiburan dan informasi utama keluarga. Seluruh keluarga, dari orang tua hingga anak –anak menelan semua sajian televisi yang sebagian besar berisi sinetron, infotainment, gossip, iklan, lagu lagu dewasa dan persaingan.

Ketika berkeluarga, sungguh saya tidak mau menjadikan televisi sebagai pusat hiburan di keluarga kami. Televisi memang mempunyai daya tarik yang begitu kuat dan sanggup membuat anak duduk tenang, namun efek negative dari banjir informasi yang tak tersaring, jauh lebih berbahaya!
“Apakah hanya Tv aja sih yang bisa begitu membius pemirsanya?” “Apakah memang tak ada hal lain yang bisa menarik perhatian anak-anak?” “Benarkah tidak ada hal lain yang bisa menjadi kebiasaan anak-anak?” “Tapi apa?” “Bagaimana caranya?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu melintas.
Saya sangat percaya bahwa membaca adalah kegiatan membuka wawasan baru yang lebih menantang daripada sajian instan televisi.

Gemar Membaca
Saya dan suami suka sekali membaca dan ingin Lula, anak kami, dapat meneladani kebiasaan kami ini. Saya mulai berpikir bagaimana caranya. Saya mulai menggali lebih dalam. Mulai bertanya pada diri saya sendiri. Mengapa saya suka membaca? Karena saya terbiasa membaca. Atau mengapa buku itu saya baca? Karena saya tertarik dengan buku itu dan ingin tahu lebih dalam dan lebih lanjut dari buku itu. Tapi bagaimana caranya memperkenalkan kepada putri kecil saya hingga akhirnya tertarik pada buku.
Saya yang begitu dekat dengan almarhum papa, sering melihat papa membaca buku. Beliau gemar sekali membaca buku cerita silat. Ko Ping Ho menjadi buku favorit beliau. Dan mungkin saya secara alamiah menjadi tertular kesukaannya akan buku. Oke, mungkin “menularkan” adalah kata kerja yang saya cari. Saya mulai mencoba cara ini. Menularkan.

Menularkan
Sungguh saya belum punya cara yang sudah terbukti manjur. Tapi saya coba menularkan kebiasaan saya dan suami membaca, dengan cara memamerkan kebiasaan itu sesering mungkin di depan anak kami. Itu cara kami ke lula. Awalnya hanya untuk mengenalkan yang namanya buku. Mulai dari ternyata buku itu ada yang bergambar, berwarna hingga oh ternyata buku itu bisa sobek dan mengeluarkan suara saat disobek. Tidak apa. Itu harga sebuah pembelajaran, saya pikir saat itu. Ternyata berhasil menarik perhatian Lula.
Lula juga mulai tahu kalo buku A adalah buku bunda, buku B adalah buku ayah.Bagian atas rak buku berisi buku ayah, bagian tengah berisi buku bunda. Yah memang karena di kamar kami, dari 4 lemari, 3 diantaranya berisi buku.
Lalu, berikutnya apa? Dia sudah mengenal, tapi dia belum tertarik untuk membaca atau sekedar berlama-lama dengan buku. Bukan hanya karena gambar tapi memang tertarik untuk membaca.

Mendongeng
Untuk tujuan yang kedua ini, saya memilih membacakan. Bukan sekedar membacakan tentunya, tapi membacakannya juga harus menarik, paling tidak menarik perhatian anak untuk beralih dari aktifitasnya dia yang lain jadi mendengarkan apa yang saya baca.
Mendongeng, itulah pilihan saya. Kebetulan waktu SMA, saya ikut aktif di kegiatan drama sekolah jadi mudah buat saya mengatur ekspresi. Jadilah saya mendongeng bak pendongeng professional. Dan ternyata berhasil. Lula, selalu diam memperhatikan ketika saya mulai membaca dengan suara lantang, berintonasi dan sedikit bergaya. Entah karena lula bingung melihat kehebohan bundanya atau benar-benar karena dia tertarik bacaan yang saya baca, entahlah. Hahahaha.. tidak apa, yang penting membuat Lula tertarik dulu.
Itu terus saya lakukan setiap hari, meskipun waktunya tidaklah tetap. Karena hingga lula umur 1 tahun saya masih aktif bekerja. Tapi saya sungguh menikmati. Menikmati memamerkan kehebohan saya. Menikmati rasa takjub Lula melihat bundanya. Dan menikmati lula diam mendengarkan.

Waktu demi waktu berlalu, Lula beranjak besar. Beranjak susah diajak tidur siang. Tapi ada trik khususnya bunda. Kalau Lula tidak mau tidur siang karena asyik bermain, saya akan bilang, “siapa yang mau tidur sama bunda dan dibacakan buku?” Langsung Lula beranjak dari aktifitasnya dan siap-siap tidur siang.
Ketika Lula sudah bisa bicara, dia mulai meminta saya membacakan untuknya. Dia mulai memilih buku yang dia ingin saya bacakan atau yang ingin dibelinya. Bahkan pernah suatu hari dia dapat ‘angpau” dari neneknya dan ketika ditanya ingin beli apa, Lula dengan serta merta menjawab ingin membeli buku dan dibacakan bunda. Lula terlihat sudah memiliki rasa ingin tahu tentang isi buku yang dia pilih. Ok, satu step lagi sudah terselesaikan.

Membaca melatih imajinasi
Di lain kesempatan, saya sering melihat lula membaca sendiri buku yang pernah saya bacakan dengan kata-kata yang hampir persis sama dengan yang ada di buku. Mungkin dia hapal, karena waktu itu dia belum bisa membaca. Terkadang juga hanya berdasarkan gambar yang ada, lula berimajinasi sendiri mengarang ceritanya. Dan yang membuat menarik, intonasi pun menyertai imajinasinya.
Saat bermain sekolah-sekolahan bersama teman-temannya, Lula juga suka membacakan buku sesuai hapalan atau imajinasinya.
“Alhamdulillah, Lula sudah mulai tertular.” Ucap saya saat itu. Lula kini sudah mulai membaca dan dia sudah memiliki rak khusus buku-bukunya. Isinya segala macam buku. Dia yang akan memilih buku yang mana yang ingin dia baca atau dibacakan.

Dengan Cinta
Dengan cinta semua bisa dilakukan. Meskipun tidak ikut latihan khusus mendongeng, karena cinta kepada anak dan keinginan membuatnya gemar membaca, saya bisa menjadi pendongeng.
Bahkan saya pernah mendapatkan hadiah karena mendongeng di sebuah acara yang dihadiri para orang tua, yang diselenggarakan sebuah penerbit bacaan anak. Saat itu setiap orang diminta memilih satu buku bacaan anak yang mereka terbitkan dan diminta mendongeng di depan forum. Alhamdulillah tanpa disangka, saya menjadi pemenang. Ketika ditanya apakah saya seorang pendongeng, saya menjawab iya, mendongeng untuk anak saya. Dan saat mendongeng tadi, saya membayangkan sedang mendongeng untuk anak saya, meskipun di depan saya adalah para orang tua.
Cara yang saya sering lakukan sebelum mendongeng adalah membiasakan membaca dulu ceritanya. Sehingga saya tidak lagi terlalu berfokus pada buku bacaan atau pada teksnya. Saya bisa pindahkan fokusnya ke perubahan suara (sesuai jumlah tokohnya) dan sedikit gaya tentunya.

Saya percaya, untuk hasil yang terbaik tidak ada yang instant. Semua butuh proses. Termasuk menumbuhkan kegemaran membaca. Butuh proses mengenalkan, membuat tertarik dan mencontohkan. Terbukti saat lula belajar membaca, dia senang sekali karena sebelum belajar terlebih dibacakan dongeng oleh ibu gurunya. Hasilnya, tidak saja dia jadi bisa membaca dengan cepat (kurang dari 3 bulan) tapi juga jadi gemar membaca.
Jalan masih panjang, masih banyak yang harus di eksplorasi dan dengan sabar dipelajari.
Lakukan dengan cinta untuk orang-orang tercinta, maka hal luar biasa akan terjadi.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan arikel “Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note: gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Negeri Warna-warni dan Pesannya

Oleh: Umi Laila Sari

Saya belum menemukan risetnya secara pasti. Mungkin hanya penilaian individu dengan lingkungan tinggal di kota. Tentang kenangan masa lalu di usia kanak-kanak saya, dongeng sebelum tidur. Sebab, sesudah zaman masa kecil saya, jarang –semoga bukan tidak ada-- lagi orang tua yang mendedikasikan waktunya satu atau dua jam untuk ngeloni seraya mengisahkan cerita tutur warisan nenek-kakek.

Tidak perlu bingung mencari sebabnya. Bahwa kehidupan modern telah merubah banyak hal. Termasuk kebiasaan dalam keluarga. Mendengarkan suara lembut penuh muatan cinta dari orang tua menjelang tidur bukan lagi satu-satunya pilihan anak. Sudah tersedia berbagai kecanggihan tehnologi yang siap membuai anak-anak millenium ke alam nirwananya. Tanpa harus –seolah- membuang waktu orang tua secara kurang efektif. Konsep realitisnya di kehidupan penuh persaingan sekarang ini memang demikian.

Tapi toh, kehidupan tidak hanya ditarik garis hitam-putih pada efektifitas waktu dan tuntutan materi. Kehidupan adalah investasi kebaikan dan menanam perbaikan adalah sisi terpenting humanisme. Dan hubungan orang tua-anak adalah ikatan humanisme paling hakiki dalam kehidupan.

Maka, mendongeng dalam tradisi leluhur ngeloni tadi, akan menjadi sangat bermakna bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana orang tua selalu menyelipkan ajaran hidup tentang keuletan dan kerja keras pada kisah lomba lari kura-kura dan kelinci. Bagaimana juga anak akan selalu mengingat bahwa sifat tamak dan licik tetap akan membawa kesengsaraan hidup seperti tokoh monyet yang tidak pernah puas dengan makanan yang dimilikinya. Rekaman masa kecil adalah memori kuat yang tentu tidak ingin disia-siakan orang tua.

Suatu ketika saya sempat tertegun dengan pengalaman adik saya. Usianya hampir memasuki usia sekolah. Saya menyempatkan diri mengajaknya ke toko buku. Ketika tiba di stand buku anak, saya biarkan ia beberapa saat melihat-lihat buku yang beraneka rupa. Sebuah buku tidak terlalu tebal dengan gambar lebih dari setengah halaman yang akhirnya dipilih adik saya. Si Anjing Bandel, demikian judulnya. Ternyata, ia memutuskan untuk mengambilnya karena tertarik dengan gambar beberapa ekor anjing yang warna-warni. Lucu dan menggenaskan. Meskipun ia sesungguhnya menyukai kucing. Begitu tiba di rumah, tanpa memberi saya jeda untuk istirahat, ia meminta saya membacakannya.

“Sayang, buku ini kan dibeli biar Didik belajar baca. Tu kan tulisannya besar-besar dan sedikit, jadi mudah bacanya. Ayo dong, kalau mau tau ceritanya, adek belajar baca.” Kata saya membujuknya.
“Iya, adek mau kok bacanya tapi besok, sekarang ayuk dulu yang bacanya. Didik dengerin dulu,” katanya yang telah siap berbaring di tempat tidurnya dan mengacungkan buku kearah saya. Saya mengalah. Membacakan dengan perlahan kisah di buku itu. Tidak hanya sekali, ketika telah sampai pada kata tamat, adik saya menginginkan untuk dibacakan ulang.
Saya tersadar ada yang berbeda manakala tidak lagi terdengar suara ‘guk… guk…’ dari bocah kecil itu. Sebelumnya, ia selalu menimpali teriakan itu setiap saya membacakan kalimat ‘… dan anjing bandel itu memakan pudding susu…’, atau ‘…dan anjing bandel itu menyelinap di dalam lobang…’. Ah, ternyata bujang kecil kami telah terlelap bersama imajenasi kebun rumput nan luas tempat sang anjng bermain.

Pengalaman pertama saya mendongeng. Nampaknya serupa pula keadaan ibu dulu sewaktu mendongengi saya Si Kancil yang Cerdik. Keesokan harinya adik saya begitu semangat membuka tiap lembar buku tersebut. Tertatih-tahih mengingat huruf lalu mengejanya agar dapat dibaca. Pada sela-sela waktu, ia menceritakan kembali pada dirinya seolah ia telah membaca hingga halaman terakhir. Padahal saya tahu ia telah menghafal ceritanya ketika malam saya mendongeng. Dan yang sangat luar biasa dalah ia tetap mengingatnya hingga kini. Saat buku tersebut telah di makan usia. Saat saya hampir tidak ingat lagi kejadian tersebut. Saat ia telah memiliki buku-buku lain. Ingatan luar biasa untuk satu kali saya mendongeng.
Meski demikian, tetap saja menumbuhkan minat anak untuk membaca dan orang tua untuk mendongeng bukan perkara mudah. Terkadang meski orang tua telah memiliki pemahaman yang baik tentang betapa berharganya kegiatan tersebut bagi tumbuh kembang anak. Saya sepakat pada pengalihan pemikiran bahwa membaca bukan kewajiban tetapi kegemaran. Orang tua tidak merasa terbebani dengan memberikan dirinya –bukan hanya waktu-- pada anak untuk mendongeng. Dan anak semakin menikmati dunia bahagianya dengan buku sebagai sahabat bermainnya. Ada beberapa tips yang saya yakini dapat mewujudkan kecintaan akan membaca.

Pertama, memberi prioritas khusus terhadap kegemaran membaca dan mendongeng. Jelas, ini akan sulit dilakukan hanya oleh salah satu orang tua. Suami-istri harus memiliki kesepakan tersebut. Perhatian yang dimaksud kesungguhan tekad untuk memberikan pikiran, tenaga, waktu juga meteri. Semisal, ada agenda dan budged khusus untuk aktifitas membaca dalam keluarga akan lebih baik.

Kedua, pastikan terlebih dahulu bahwa kita –orang tua atau orang dewasa disekitar anak—sangat menikmati aktifitas membaca atau mendongeng. Anak begitu mengetahui ketika kita tidak menghadirkan hati dalam menjalani sesuatu. Terkesan hanya kewajiban yang harus dilakukan orang tua kepada anak, tidak lebih. Mungkin dalam kondisi tertentu ketika kita tidak terlalu ‘baik’ untuk mendongeng atau menemani membaca, akan lebih bijak berkata, “maaf sayang, bunda sepertinya kurang enak badan butuh istirahat lebih awal, bunda akan sangat senang kalau kamu mau membaca sendiri dulu untuk hari ini,” dibanding tetap memaksakan diri.

Ketiga, libatkan anak dalam membuat keputusan tentang kegemaran membaca. Semisal, tentang ke perpustakaan umum bersama dan mendaftarkan diri menjadi anggota di sana. Tentang letak perpustakaan rumah. Tentang buku apa yang akan dibeli sebagai kado orang-orang terdekat dan trik ini adalah yang paling saya sukai.

Keempat, menciptakan suasana rumah yang nyaman untuk membaca. Standar kenyamanana sangat subjektif. Namun yang paling perlu diperhatikan adalah kecendrungan anggota keluarga ketika membaca. Ada sebagian orang yang lebih menikmati membaca dengan suasana sangat hening di dalam kamar. Tetapi ada juga yang lebih menyukai sedikit suara alam atau instrument. Selebihnya adalah hal umum yang memang harus diperhatikan misalnya kondisi tempat yang bersih serta pencahanyaan cukup. Ada keluarga yang mengkhususkan satu ruang khusus di rumah sebagai perpustakaan tetapi ada pula yang meletakkan buku hampir di setiap sudut rumah agar setiap anggota keluarga dapat membaca kapan saja dan dimana saja sesuka mereka, sebagaimana yang terjadi di rumah kami. Terserahlah, bagaimanapun wujudnya selama kenyamanan dapat diciptakan.

Kelima, bebaskan anak mencari buku atau kisah yang ingin didengar atau dibaca. Cara ini dilakukan agar anak merasa tetap menemukan dunianya. Tidak perlu memaksa anak membaca buku –yang dalam pandangan orang tua-- total bermuatan ilmiah. Sesungguhnya dalam kisah-kisah anak banyak pula pembelajaran yang dapat mereka peroleh. Tanpa perlu dikomandoi seiring kegemaran membaca, anak akan memperluas jenis bahan bacaannya.
Saya yang ketika kanak-kanak sangat menyukai mmembaca dongeng tentang kerajaan di negeri warna-warni, pada usia SMP akhirnya sangat menyukai membaca buku tentang astronomi, geografi hingga arkeologi. Dalam kondisi ini, orang tua berada ‘di samping anak’. Menegaskan kembali pesan moral yang terdapat dalam bahan bacaan. Artinya, meski anak membaca negeri warna-warni, orang tua mengingatkan ada pembelajaran di dalamnya.

Keenam, mintalah anak mereview kembali bahan bacaan yang telah dibaca atau didengar. Bagi saya, tidak bermasalah jika suatu ketika, orang tua dan anak bertukar peran. Sang anak yang mendongeng sebelum mereka tidur. Begitu pula dalam keseharian, orang tua dapat mengulang ingatan atau komentar anak tentang bacaan mereka. “Eh, dek, buku tadi cerita apa sich?” atau, “Menurutmu, tokoh Kupu-kupu di buku itu baik atau tidak?” Meminta anak menceritakan kembali hasil bacaannya saaat berkumpul bersama di ruang keluarga adalah bentuk penghargaan bagi anak. Tentunya setelah itu, orang tua memberinya tepuk tangan dan pujian karena ia telah dapat berbuat lebih baik.

Dari semua tips di atas, sejatinya kegemaran membaca pada anak adalah bermula dari kecintaan akan membaca. Dan untuk bisa cinta membaca, anak harus telah terbiasa membaca bahkan sejak mereka dalam kandungan. Yup, orang tua yang menginginkan anaknya mencintai membaca mereka harus telah lebih dahulu ‘menggilai’ membaca. Dan bersyukur, orang tua saya telah melakukannya meski awalnya tanpa mereka sadari.

Referensi;
Sumardiono, Homeschooling, A Leap for Better Learnig; Lompatan Cara Belajar, PT Alex Media Komputindo; Jakarta, 2007.
Teresa Orange dan Luuise O’Flynn, The Media Diet for Kids, terj., Penerbit Serambi; Jakarta, 2007.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel ”Cinta Dongeng, Cinta Baca")

note: gambar dipinjam dari sini

Rabu, 30 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Pesona Buku dalam Warna-Warni Kehidupanku

Oleh : Nola Sangkuntala

Kalau ada yang menanyakan kepadaku, kegiatan apa yang paling menyenangkan sedunia, pasti aku akan spontan menjawab : membaca. Sebentar, jangan buru-buru menjawab, benar nih, bukan tidur, makan, atau belanja, itu juga aktivitas yang menyenangkan lho, terutama buat wanita? Tidak lah, aku yakin karena biasanya aku lebih pilih memundurkan waktu tidurku untuk menyelesaikan buku yang sudah sekian persen dibaca, sering lupa makan kalau sudah tenggelam dengan kisah-kisah di buku yang aku baca, bahkan rela mengurangi anggaran belanja demi segerobak daftar buku-buku yang sudah antri ingin dibeli.

Aku benar- benar bersyukur Allah mengaruniaiku minat baca yang luar biasa. Kalo dikilas balik, kadang heran juga, kenapa aku begitu menikmati segala sesuatu yang berbau-bau baca dan buku. Seingatku, nenekku dulu memang sering bercerita dongeng anak-anak saat aku dan kedua adikku menginap di kediamannya, ibuku juga termasuk rajin membacakan cerita-cerita di majalah bobo pinjaman (saat itu kami tidak mampu membeli), dan kami bertiga mendengarkan cerita itu sambil tidur berdesak-desakan di satu bantal. Hmmm, kenangan yang menyenangkan, menurutku. Aku juga ingat benar, salah satu guruku di kelas 3 SD, pada hari-hari tertentu, pas di ujung jam pelajaran, mendongengi kami dengan cerita-cerita yang menakjubkan. Asyik sekali rasanya, kami sekelas yang biasanya hingar bingar, bisa duduk manis dengan mulut terkunci, mendengarkan dengan rasa ketertarikan yang besar, bahkan rela pulang sedikit lebih lambat daripada cerita tidak usai didongengkan, meskipun terkadang kami harus pulang dengan rasa penasaran luar biasa saat cerita dinyatakan bersambung ke episode berikutnya yang berarti harus menunggu kesempatan di lain hari.

Untunglah, meskipun dengan kondisi keuangan yang sangat pas-pasan cenderung kurang, orangtuaku mampu menyekolahkan kami di sekolah yang memiliki fasilitas perpustakaan sangat memadai. Ada dua perpustakaan dengan ruangan cukup lapang, meja-meja yang tersekat rapi, serta koleksi buku-buku yang lengkap. Aku selalu merasa, perpustakaan merupakan surga bagiku, dan tidak mungkin meluangkan sedikit waktu istirahatku tanpa menengok kesana. Rasanya tidak ada puas-puasnya berkelana dari satu buku ke buku yang lain. Serunya lagi, diantara padatnya jadwal pelajaran selama seminggu, selalu terselip satu mata pelajaran resmi dengan judul ”Perpustakaan”, artinya, sekolahku mewajibkan setiap kelas mengunjungi perpustakaan selama satu jam pelajaran sesuai jadwal yang sudah disusun, dan murid-murid dibolehkan meminjam buku untuk dibawa pulang. Aku benar-benar menghargai kebijakan ini, mau tidak mau, setiap anak, dalam seminggu harus ke perpustakaan, harus bersentuhan dengan buku-buku, suka maupun tidak suka.

Bersekolah di sekolah yang muridnya rata-rata golongan menengah ke atas (aku tidak termasuk kategori ini), ternyata juga menguntungkan bagiku. Masa kecilku yang dihimpit kesulitan finansial kelas wahid, tentu saja menempatkan buku sebagai komoditi larangan yang tidak layak dibeli. Sebenarnya sih bukan tidak layak dibeli, tapi tidak akan pernah mampu terbeli, karena harganya tidak murah, dan kami lebih membutuhkan benda yang bisa mengenyangkan perut daripada memuaskan batin. Nah, punya teman-teman kaya, ternyata cukup menjadi solusi untuk memenuhi hasrat membacaku yang terus menerus bergelora. Mereka, yang kebetulan terlahir dari orang tua dengan pendapatan lebih dari cukup, biasanya dijejali dengan beraneka bacaan, buku-buku berwarna warni, serial-serial top saat itu, komik-komik menawan hati, dan tentu saja merupakan berkah luar biasa bagiku karena aku bisa meminjam kapan saja aku mau. Dari merekalah aku kenal dongeng-dongeng seperti Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju, juga buku-buku Pustaka Cerita Gramedia, novel-novel Enid Blyton seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Malory Towers, atau komik serial Nina, Smurf, Asterix, Tintin, dan masih banyak lagi.

Syukurlah, orang tuaku tidak pernah melarangku membaca, sekalipun itu buku komik, tetapi tentu saja dengan pengawasan bahwa prestasi belajarku tidak pernah mengalami penurunan. Memang sih, hobi membacaku tidak lalu secara otomatis membuatku menjadi orang yang cerdas sepanjang masa. Tapi setidaknya, kebiasaan membaca telah terbukti mempermudah hidupku. Saat aku kecil, buku merupakan benda ajaib yang bisa membuatku melupakan kesedihan-kesedihan, membuatku berani bermimpi dan selalu berharap bahwa esok hari pasti keadaanku akan membaik seperti cerita dan dongeng di buku, asal aku mau berusaha sekuat tenaga. Aku tidak pernah mengalami kesulitan saat pelajaran mengarang, yang biasanya jadi momok bagi siswa lain. Bahkan pertanyaan pertama yang diajukan teman SDku setelah sekian tahun tidak bertemu dan akhirnya bisa bertegur sapa lagi lewat facebook adalah apakah aku masih jago mengarang seperti dulu. Aku jadi geli, padahal sebenarnya waktu dulu itu aku bukannya mengarang, tetapi menceritakan kembali dongeng-dongeng yang pernah aku baca, meskipun memang sih karangan esayku tentang sekolah yang bersih dan sehat waktu jaman SD sempat memperoleh juara ketiga pada lomba porseni tingkat propinsi. Lumayan juga ya, bisa mengharumkan nama sekolah.

Jaman kuliah, aku juga sangat terbantu dengan kebiasaanku membaca. Sekian banyak laporan-laporan praktikum yang harus aku buat dengan tenggat waktu yang bisa bikin gila, alhamdulillah selalu bisa terselesaikan dengan hasil yang baik, nilai yang cukup bagus, karena aku tidak pernah mengerjakan asal-asalan, comot sana sini dari laporan kakak tingkat. Yang ada, aku rajin ke perpustakaan daerah, mencari-cari buku yang berhubungan, dan membuat intisari dari buku-buku tersebut, sampai jadi entah berapa rangkuman buku ala aku yang masih tersimpan saat ini. Kapan saja butuh bahan, aku membuka-buka lagi dari rangkuman buku yang ada. Kadang memang menjemukan berkubang dengan buku-buku usang di perpustakaan, untunglah dari kecil aku sudah suka buku, sehingga tidak terlalu terganggu dengan keharusan ini, meskipun kalo boleh memilih, aku pasti lebih suka meninggalkan buku-buku tebal itu dan beralih ke komik-komik manga yang ngetop jaman itu. Jangan berpikir kebiasaan membaca hanya berguna saat kita masih jadi anak sekolahan. Setelah bekerja, dan kebetulan aku bekerja di bidang yang agak menyimpang dengan latar belakang pendidikanku, satu-satunya cara belajar tanpa perlu merepotkan orang lain dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kadang bikin malu, adalah rajin membaca dan mencari informasi lewat literatur-literatur yang ada. Bedanya, sekarang yang aku baca tidak harus benar-benar dalam bentuk buku, karena fasilitas internet memudahkan semua hal, tapi intinya tetap sama, yaitu membaca.

Sebagai pencinta buku, pastinya aku juga selalu ingin menularkan hobiku itu ke orang lain. Rasanya kok sayang sekali kalo sampai ada orang yang tidak sempat mengetahui indahnya kisah-kisah yang sudah mempesonaku. Begitu juga yang aku inginkan untuk kedua jagoan kecilku yang baru berumur 3 tahun dan 2 tahun. Tapi aku tidak pernah memaksakan ke anak-anak untuk harus jadi orang yang suka membaca. Aku hanya memfasilitasi dan memberikan contoh. Aku dan suami yang kebetulan juga suka membaca, menyediakan satu area khusus untuk menempatkan dua rak buku yang sarat dengan berbagai buku. Kami rajin membelikan mereka buku-buku, bahkan sampai berburu buku-buku masa kecilku yang saat ini masih dijual dalam kondisi bekas sekalipun. Kemudian membacakannya kapan saja mereka minta, dan kapan saja kami ada waktu luang. Mereka sangat tertarik dengan buku-buku yang penuh aneka warna, meskipun kadang kisahnya sangat standar. Anakku yang sulung bahkan sudah bisa menceritakan kembali beberapa buku anak-anak karangan Clara Ng dengan satu kalimat per halaman saat masih berusia kurang dari 2 tahun, saking seringnya minta dibacakan buku tersebut. Sementara anakku yang kedua, ternyata lebih suka lagi dengan buku, dalam sehari entah berapa kali ia mengobrak-abrik rak buku, memintaku atau suami, bahkan kakek, nenek dan tantenya untuk membacakan, dan saat semua orang sibuk, dia akan duduk sendiri, membuka halaman demi halaman, dan mengocehkan cerita-cerita menurut versinya. Kadang ia minta kakaknya yang mendongeng, dan pasti terdengar celotehan2 menggemaskan dari mereka berdua yang sama-sama belum bisa membaca, tapi sok tau.

Contoh paling nyata yang bisa mereka lihat tentang efek nikmatnya membaca, tentu dari kita sebagai orang tua. Mereka sangat terbiasa melihatku membaca novel setebal bantal sambil mengasuh mereka, menemani mereka bermain, atau saat mereka tidur dan tiba-tiba terbangun di tengah malam. Mereka paham mama dan papanya suka membaca, meskipun dengan jenis bacaan yang berbeda, dan biasanya mereka suka meniru. Satu lagi yang bisa mereka nikmati dari hobiku membaca, aku memiliki satu blog yang membahas buku-buku yang pernah aku baca, belum terlalu banyak sih yang dibahas, tetapi mereka menyadari kehadiran blog itu meskipun belum bisa membaca, dan hanya bisa menikmati foto-foto buku yang mereka kenal, sering tiba-tiba mereka bilang, ”Buka laptop, Ma, mo liat buku mama yang ada di komputer”.
Usaha mengenalkan dunia baca kepada mereka tentunya sangat terlalu dini untuk dilihat hasilnya. Mereka masih akan terus berkembang dan mengalami perubahan minat seiring pertumbuhan fisik dan mental mereka. Tapi setidaknya saat ini kami berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka secara seimbang, baik buku maupun mainan, bahkan film anak-anak bermutu (meskipun ternyata mereka tidak atau belum menyukai kegiatan menonton, mau tak mau aku ikut bersyukur akan hal ini), dan yang paling penting kami tak lupa berusaha memenuhi kebutuhan mereka terhadap waktu kebersamaan serta perhatian dari kedua orang tuanya. Aku dan suamiku hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka seperti dongeng-dongeng masa kecilku yang selalu berakhir bahagia.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel ”Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note : gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Cinta Dongeng, Cinta Baca: Virus Cinta yang Harus Ditularkan!

Oleh : Norma Widayati

Bu, apakah benar Alien itu ada? Kalau ya, mereka berasal dari planet mana? Kalau tidak, apakah ada makhluk lain yang lebih cerdas daripada manusia? Mungkinkah ada kehidupan lain di jagat raya, karena alam semesta itu ’kan sangat luas? Bu, apa yang menyebabkan gunung berapi meletus? Kenapa di Indonesia sering terjadi gempa?Apakah benar Allah marah karena manusia telah merusak alam?

Itu adalah sebagian pertanyaan murid-murid di Sekolah Dasar yang sering saya temui. Betapa keingintahuan mereka begitu besar terhadap sebuah peristiwa maupun informasi yang mereka temukan. Tidak jarang pertanyaan mereka membuat kening guru dan orangtua berkerut. Bagaimana menjawabnya? Apa yang harus kita lakukan?

Jaman sekarang setiap orangtua dan pendidik harus menyiapkan diri untuk mampu menjawab pertanyaan kritis anak-anak. Itulah mengapa saya memberi judul seperti di atas, karena saya pikir virus cinta buku dan dongeng akan menjadi sarana yang tepat untuk mengatasi kebimbangan kita. Buku dan dongeng akan merangsang imajinasi anak-anak sehingga lebih cerdas baik secara intektual, emosional maupun spiritual.

Terkait dengan hal ini, sebenarnya kemarin saya sempat bingung juga untuk menulis, karena saya masih single dan belum punya anak. Namun saya pikir tidak ada salahnya untuk mencoba, setidaknya berbagi pengalaman saya sebagai pribadi maupun sebagai staf pengajar di sebuah sekolah dasar.

Sejak kecil saya menyukai buku, hal ini tidak terlepas dari peran orangtua terutama ibu yang suka membelikan majalah anak-anak. Waktu itu saya menyukai majalah anak-anak seperti Gatotkaca, Putra Kita, si Kuncung, Bobo dan Ananda. Sebenarnya saya juga menyukai buku-buku, namun karena kondisi keuangan belum memungkinkan dan jarak toko buku yang cukup jauh, maka ibu berinisiatif meminjamkan buku dari perpustakaan di sekolah tempat ibu mengajar. Hal ini membuat saya cukup senang walau hanya dengan buku pinjaman. Apalagi ditambah kebiasaan ibu mendongeng sebelum tidur untuk saya dan adik-adik.

Saya ingat sekali, suatu ketika saya bersitegang dengan ayah karena beliau tidak mau membelikan saya majalah Bobo terbitan terbaru. Sebagai anak kecil, saya tidak mau menerima alasan ayah yang sedang capek pulang dari kantor. Akhirnya saya mengambil sepeda dan mulai mengayuh. Pikir saya waktu itu, pasti ayah tidak akan tega membiarkan saya, anak perempuannya yang masih duduk di kelas 5 SD pergi sendiri ke agen majalah. Sebenarnya sih itu akal-akalan saya saja supaya ayah merasa bersalah dan mau mengantar saya membeli majalah. Eh, tunggu punya tunggu, ternyata ayah saya tidak tergerak hatinya. Beliau tetap saja membiarkan saya mengayuh sepeda sendirian.

Hati saya hancur dan sambil menangis, saya mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan. Sebenarnya jarak antara rumah dengan agen majalah hanya sekitar 2 km, namun pada waktu itu bagi saya jarak tersebut cukup jauh dan berbahaya karena harus melewati jalan raya yang cukup padat.

Sambil berusaha mengatasi ketakutan yang bercampur keinginan untuk membuktikan bahwa tanpa ayah pun saya bisa mendapatkan majalah itu, saya pun bersemangat mengayuh sepeda. Di tengah lamunan saya, tiba-tiba ada suara dari arah belakang. Ayah memanggil-manggil nama saya dan dengan perasaan bersalah mencoba mengawal saya sampai ke tujuan. Alangkah senangnya saya, akhirnya saya mendapatkan juga majalah yang saat itu berharga Rp 500,00. Saya mendapatkan banyak pengetahuan dari majalah tersebut.

Oh ya, letak rumah saya hanya terpaut dua bangunan dari rel kereta api. Di tengah situasi yang serba sulit, saya mendapatkan hiburan dari koran-koran bekas yang beterbangan dibuang para penumpang kereta api. Bila mendapatkan karikatur maupun cergam yang lucu-lucu, saya tertawa-tawa sendiri sembari menyambung sobekan koran-koran bekas alas tidur itu. Hal ini sangat berkesan karena saat pelajaran mengarang, saya menceritakan kisah ini dan berhasil mendapat angka 8. Tidak terlalu mengecewakan ’kan?

Tahun demi tahun berganti, sekarang saya sudah menjadi salah satu pengajar di sebuah sekolah swasta. Kegemaran saya tentang buku semakin menjadi-jadi. Saya merasa buku adalah kekayaan saya, jadi saya berusaha menyisihkan gaji walau sedikit untuk membeli buku. Alhamdulillah saya mempunyai banyak teman untuk berdiskusi tentang buku. Buku-buku inspiratif seperti Tetralogi Laskar Pelangi, Three Cups of Tea, La Tahzan, sampai novel Twilight Saga menjadi bahan diskusi kami. Kami saling memberikan informasi mengenai buku baru yang layak untuk dibaca.

Saat ini saya dan teman-teman masih terus berusaha menularkan virus cinta buku dan dongeng terhadap murid-murid dan kolega kami. Di sekolah, kami mengadakan acara Morning Meeting, yaitu semacam pemanasan supaya anak-anak siap mendapatkan pelajaran. Dalam acara tersebut, ada beberapa hal yang dilakukan seperti Brain Gym, tebak kuis, maupun Story Telling. Biasanya kami menyuruh salah satu anak sehari sebelumnya untuk membaca salah satu buku, kemudian keesokan harinya dia harus bercerita di depan kelas. Selanjutnya kami sebagai guru akan membantu membuat kuis sesuai isi cerita. Anak yang dapat bercerita dengan lancar dan mampu menjawab kuis akan mendapat bintang atau reward lainnya.

Anak-anak juga kami beri kebebasan untuk membawa buku dari rumah ke sekolah. Biasanya yang mereka bawa adalah buku-buku ensiklopedia, buku cerita seperti KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya), buku-buku tentang kisah nabi, dan lain-lain. Anak-anak yang membawa buku cukup banyak sehingga kami mengadakan voting untuk menentukan buku mana yang akan dibaca terlebih dahulu. Dalam sehari biasanya 1- 2 buku kami bacakan di sela-sela kegiatan belajar mengajar. Acara tersebut dilanjutkan dengan kuis, misalnya dengan pertanyaan tentang judul buku, nama tokoh, pengarang, penerbit, lokasi kejadian, dan sebagainya. Anak yang bisa menjawab kuis dengan benar akan mendapatkan tambahan bintang yang dapat ditukarkan dengan reward berupa pernak-pernik lucu. Alhamdulillah, anak-anak senang dengan acara ini.
Ada pengalaman lucu terkait dengan virus cinta buku ini. Suatu hari saya mendapat kado dari murid saya. Saya merasa heran karena saat itu saya tidak sedang ulangtahun atau mengalami momen istimewa. Gadis kecil berumur 7 tahun itu ternyata menghadiahi saya sebuah buku berjudul La Tahzan for Jomblo. Subhanallah, saya geli bercampur haru, apalagi teman-teman saya sampai tertawa menggoda. Usut punya usut, ternyata dia memberikan kado itu setelah membaca profil saya di Facebook, dimana salah satu buku favorit saya adalah La Tahzan. Kata mamanya, dia merasa bahwa kami mempunyai hobi yang sama, bahkan buku yang sejenis. Dia adalah pembaca setia La Tahzan for Kids. Hebatnya lagi, dia sendiri yang memilih kado itu di toko Gramedia. Subhanallah...
Untuk menunjang pemularan virus cinta tersebut, pada Hari Ibu atau Bulan Bahasa, sekolah kami mengadakan lomba bercerita, lomba menulis puisi maupun resensi buku. Alhamdulillah peminatnya cukup banyak dan acara kami mendapatkan dukungan sepenuhnya dari orangtua murid. Bahkan ada murid kami yang sudah mampu menjuarai lomba bercerita/ mendongeng tingkat propinsi. Selain itu, pada hari-hari sekolah biasa, perpustakaan menjadwalkan jam berkunjung siswa. Setiap anak berhak meminjam dan membaca buku di sana. Itu semua dimaksudkan supaya anak-anak gemar membaca buku dan mendapatkan manfaat darinya.
Saya pikir memang sangat bijak bila kita mengenalkan buku dan dongeng kepada anak-anak sejak usia dini. Masa Golden Age merupakan masa penting pertumbuhan otak sehingga semakin banyak hal positif ditanamkan, InsyaAllah skill dan performance anak juga akan berkembang dengan baik. Hal ini juga patut mendapat perhatian kita apalagi saat ini banyak sekali tayangan televisi yang kurang mendidik dan cenderung instan. Kemudahan akses internet yang tanpa kontrol juga menjadi potensi yang sangat membahayakan anak-anak generasi penerus bangsa.
Selain program untuk anak-anak, kami sebagai pendidik juga mengadakan acara yang menunjang kegemaran membaca buku. Pada hari tertentu kami mengadakan acara sharing dan bedah buku. Di sela-sela kesibukan mengajar, kami juga melengkapi koleksi perpustakaan sekolah dengan berbelanja buku-buku. Alhamdulillah Yogyakarta merupakan salah satu kota yang sangat aktif menyelenggarakan pameran buku sehingga akses kami semakin luas dalam mendapatkan buku-buku berkualitas. Kami juga sering berbagi pengalaman untuk dapat menyampaikan materi pelajaran melalui dongeng atau cerita.

Untuk cita-cita ke depan, saya mempunyai mimpi mengenai perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum sehingga masyarakat bisa mengakses manfaat dari buku. Perpustakaan itu dilengkapi dengan taman bermain sehingga anak-anak bisa bermain sepuasnya. Bangunan lain yang penting adalah semacam aula atau pendopo kecil untuk tempat membaca buku, bedah buku maupun story telling. Saya yakin Indonesia akan jauh lebih maju bila masyarakat menggemari buku dan dongeng sebagai sarana edukatif. Bukan tidak mungkin bangsa ini akan menyamai Jepang bila masyarakatnya cerdas dan kreatif. Semoga...

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel ”Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note : gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Panggung Imajinasi

Oleh: Gita Lovusa

Cha senang sekali membaca ilustrasi di buku, tabloid, majalah, selebaran atau apa pun. Dengan tekun ia memerhatikan gambar-gambar yang tertera di sana. Matanya melirik ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Semua sudut gambar ditelusuri. Tak jarang ia berbicara dengan sang gambar. “Mamam. Yo, mamam..” Tangannya menunjuk-nunjuk pada seekor kelinci kecil. “Mii. Inci. Mamam.” Kalau ia sudah menegur saya, saatnya saya masuk ke dalam dunianya. “Kelincinya lagi makan ya?” “Iya..,” jawabnya ceria. “Siapa yang kasih makan?” Cha terdiam. Matanya berbinar melihat gambar-gambar yang lain. Saya pun ikut terdiam. “Mamam...,” ujarnya kembali sambil tertawa.

Sebuah gambar kelinci di buku dapat berlanjut dengan dongeng ajaib ciptaan saya. Ketika Cha sudah puas dengan gambar-gambarnya, saya ambil sebuah boneka kelinci miliknya. Suara mulai saya sesuaikan, mimik muka pun saya ubah. Lalu berkata,
“Kakak Cha, aku lapar. Mau makan...” Cha menengok dengan senyum yang sungguh sumringah. Membuat imajinasi saya semakin lancar berjalan.
“Waw! Hai, Inci..,” katanya.
“Kakak Cha punya makanan? Aku mau, Kak. Aku lapar.”
Lalu Cha mengambil makanan dengan tangan dan menyuapkannya padaku, “Aaa..” “Enyak?” tanya Kakak Cha.
“Enaaakkk. Makasih ya, Kakak Cha.”
“Ma..,” artinya ‘sama-sama’.
Dongeng ajaib bin interaktif ini bisa terus berlanjut dan berkembang ke hal-hal lain, atau bisa juga hanya seperti itu saja. Kadang panjang dan penuh dengan tokoh, kadang singkat dan pemainnya sedikit. Semua saya sesuaikan dengan situasi saat itu. Kalau Cha masih terlihat antusias, akan saya lanjutkan. Tapi kalau Cha mulai mengajak hal lain, dongeng itu akan saya hentikan dan melanjutkan dengan kegiatan yang lain.
Awalnya saya sedikit khawatir dengan kebiasaan Cha yang lebih senang memerhatikan gambar. Jika saya membacakan buku untuknya, maka hanya akan bertahan sebanyak 3-4 halaman. Sesudah itu, bukunya akan ia ambil dan ia kembali menekuni gambar-gambar yang atraktif itu. Lalu saya menemukan kata ini di sampul belakang Anne of Green Gables, “Imagination is more important than knowledge” – Albert Einstein. Saya terhenyak dan memandang lama kata-kata itu. Mencoba mencernanya lebih dalam.
Kalau saja seorang genius seperti beliau mengatakan hal seperti itu, maka hampir bisa dipastikan bahwa itu adalah benar. Mungkin saja, teori-teori yang diciptakannya itu bermula dari sebuah imajinasi. Setelah saya membaca buku karangan Lucy M.Montgomery tersebut, saya semakin terkaget-kaget ketika mengetahui bahwa Anne, tokoh utama dalam kisah itu, adalah anak yang sangat senang berimajinasi. Ia menamakan semua jenis tempat, semua jenis pohon dengan nama-nama yang sangat cantik dan imajinatif.

Saya menjadi mengerti dan membiarkan Cha melakukan hobinya itu. Membacakan buku tetap saya lakukan, namun dengan porsi yang disesuaikan.
Suatu ketika, saat Cha sedang asyik mengamati gambar di tabloid anak. Ia berujar, “Ayah...Ayah..,” sambil menunjuk sebuah foto dokter yang mengasuh suatu rubrik di tabloid tersebut. Saya tertawa, “Ayahnya siapa itu, Cha?” “Ayah, Ayah.” Kosakatanya yang masih terbatas di usia yang hampir menginjak 2,5 tahun terkadang membuat acara dongeng ajaib berjalan hanya satu arah. Tak apa. Saya yakini ini sebagai bagian dari proses, sebisa mungkin saya hargai apa pun yang keluar dari mulutnya.
Membaca atau mendongeng bisa kami lakukan di manapun. Kasur di kamar tidur atau lantai dapur bisa menjadi panggungnya. Masjid, mobil atau alam luas bisa menjadi gedungnya. Selama Cha atau saya menemukan obyek asyik yang meningkatkan daya imajinasi, di situlah panggung imajinasi kami berada.

Panggung imajinasi: Ruang tamu, ruang bermain, ruang perpustakaan yang bergabung menjadi satu.
Saya melilit sebuah kain sarung di leher. Merapikannya lalu terbang ke sana ke mari layaknya seekor kupu-kupu. Hinggap di satu bunga dan menikmati waktu dengan menghisap manisnya. Tanpa kata-kata. Tapi Cha memerhatikan saya dengan begitu seksama. Kemudian ia pun mengambil kain bedong dan meminta saya untuk melilitkan di lehernya. Kupu-kupu kecil itu pun mulai terbang, mencari bunga yang akan dihinggapinya.

Panggung imajinasi: Dapur
Cha sedang asyik memegang dua kertas kado gulung, kemudian ia memberikannya satu pada saya. Ia mengajak saya bermain pedang-pedangan, kata-kata yang terucap dari bibir kami hanya, “Tring..tring..” yang mengesankan bahwa itu adalah bunyi pedang yang beradu. Saya biarkan saja permainan kami terus berlanjut meski hanya dengan kata ‘tring’ dan senyuman. Cha sudah terlihat lelah lalu ia menghentikan permainannya.
“Cha capek ya?” tanya saya.
“Iya..”
“Tadi Cha main apa?”
“Mai...”
Ia menjawab pertanyaan dengan mengulang kata ‘main’. Saya tak melanjutkan pertanyaan. Sambil meluruskan kaki, saya teringat ucapan Kak Andi Yudha Asfandiyar sewaktu mengisi pelatihan di Masjid Salman ITB beberapa tahun lalu. Isinya kurang lebih begini, “Jangan paksa anak untuk menjawab pertanyaan kita. Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan akan membatasi imajinasinya. Biarkanlah mereka asyik bermain di dunianya.”
Meski kadang ada rasa penasaran di dalam hati untuk mendengar apa yang ada di pikirannya, tetapi sebisa mungkin saya tahan keinginan itu. Khawatir malah akan merubuhkan imajinasinya.

Panggung imajinasi: Jalan raya dan taman kecil di dekat rumah
Ketika sedang asyik berjalan, saya melihat seekor capung yang sedang sekarat. Saya memberi tahu Cha. “Cha, lihat! Capungnya kasihan.” Cha melihat ke arah capung itu dan mendekat ke saya. Menarik-narik tangan saya untuk segera pergi menjauh. Oh, rupanya Cha takut. Saya ikuti langkah kakinya sampai di sebuah taman rumput kecil yang penuh ilalang.
“Cha, capung tadi kasihan ya. Lagi sakit kayanya.” Cha diam saja karena sedang asyik bermain dengan ilalang.
“Eh, ada kupu-kupu,” kata saya memecah keheningan. Cha pandangi kupu-kupu yang terbang dengan gemulai.
“Capung tadi juga temannya kupu-kupu loh, Cha. Kupu-kupu ini tau ngga ya kalau temannya, capung, sedang sakit?”
“Ngga..,” kata Cha.
“Oh, kupu-kupunya ngga tau? Kita kasih tau yuk!” Cha mengangguk-angguk girang.
“Eh, Cha. Nama kupu-kupunya siapa ya?”
“Mimi...”
“Nama yang bagus. Mimi. Terus nama capungnya siapa?”
“Upi..”
“Oke. Kita kasih tau Mimi yuk, kalau Upi lagi sakit.”
Kami mendekati Mimi secara perlahan lalu berbisik, “Mimi, tadi kami lihat, Upi sedang sakit di jalanan. Coba kamu tengok ya.”
Cha mengikuti gaya saya yang berbisik, lalu tertawa kecil. Mimi kemudian terbang, mungkin ia segera mencari Upi untuk menolongnya. Ketika kami berjalan pulang, Upi sudah tidak lagi sekarat di jalan aspal. Mata saya mencari.
“Oh, itu dia. Mimi dan Upi sedang bermain bersama. Senangnya.”
Lalu kami berdua berjalan pulang. Menyusuri sungai kecil yang airnya hitam, melewati deretan warung dan berlari ketika hampir sampai di rumah.
Esok hari, panggung imajinasi kami akan berada di mana ya?

Sumber referensi:
Anne of Green Gables, Lucy M.Montgomery, Penerbit Qanita. Maret, 2009.

(Diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel “Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note : gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Berawal dari Rumah :Menumbuhkan Cinta Baca & Buku Pada Anak

oleh : Luluk Maslachah

Kalimat itulah yg menjadi acuan saya untuk memulai segalanya dari rumah, terutama dalam hal mendidik anak. Dari Rumahlah kita mendapatkan ilmu pertama kali, mulai sejak dalam kandungan, lahir, balita, remaja sampai dewasa. Hal-hal kecil dan kebiasaan yang dilakukan di dalam rumah tangga adalah merupakan pelajaran penting yang tidak langsung menjadi ilmu pertama anak kita.
'Anda mungkin punya simpanan kekayaan berlimpah ruah : Peti-peti perhiasan dan pundi-pundi emas. Namun kau tidak pernah bisa lebih kaya daripada aku ---- Aku punya bunda yang membacakanku buku'. --Stirickland Gillilan,'The Reading Mother- dari : READ ALOUD Handbook.

Dalam mendidik anak, saya tidak punya obsesi atau target bahwa anak saya harus bisa membaca pada umur tertentu. Malah cenderung saya membebaskan anak saya untuk bisa membaca secara alami sesuai usia pertumbuhannya. Karena bagi saya, memaksa anak untuk bisa membaca sebelum usianya adalah sama saja menyiksa anak secara halus, otaknya dipaksa untuk berpikir dan menghapal yg seharusnya dia sedang mengalami masa pertumbuhan dengan bebas dan terarah baik motorik halus dan kasarnya. Jika ada anak yg sudah bisa membaca sebelum usia sekolah, memang itu suatu keistimewaan si anak dan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya... Nih loh.. anak saya usia 2,5 tahun sudah bisa baca, anak saya belum masuk TK sudah lancar membacanya...

Kemampuan pada anak sangat berbeda-beda, dalam hal ini kemampuan mengenal huruf dan membaca. Hal itu tergantung bagaimana peran serta orang tua dan keluarga yang mengeliling anak tersebut. Istilah lain adalah “anak bisa dan terbiasa karena iklim dan kebiasaan keluarga tempat dia tinggal”.

Saya teringat, seorang psikolog anak mengatakan, bahwa mengajarkan atau lebih ekstrimnya memaksa anak untuk membaca adalah sama saja dengan ‘memampatkan perkembangan otak anak dan menjadikan otak anak tersebut jadi mudah lelah’. Berdasarkan hal itu, sejak anak saya dalam kandungan, saya juga tidak mempunyai keinginan untuk mengajarkan anak membaca pada usia yg belum waktunya. Tetapi saya “menekankan pada anak untuk mencintai buku”. Mungkin anda jadi bingung kan ? Ada yg berpendapat, mencintai buku kan juga sama saja menyuruh anak untuk membaca. Boleh..bisa jadi..


Tapi dalam hal ini yang saya tekankan adalah bahwa anak mulai usia Nol Tahun sampai usia balita sudah ‘mengenal dan mencintai buku’. Tidak perlu dia harus bisa membaca untuk mencintai buku sejak kecil. Karena meskipun anak sudah bisa membaca, apalagi yang diikutkan kursus baca, belum tentu sepulang dari rumah dia akan suka membaca sampai besar nanti. Sungguh sayangkan? Padahal biaya untuk kursus baca juga tidak murah apalagi bagi keluarga sederhana seperti saya.

Bagaimana caranya ?
Masing-masing ibu dan orang tua tentu mempunyai cara yang berbeda-beda untuk mengenalkan cinta buku pada anaknya. Sejak anak saya masih bayi dan masih saya gendong, saya suka mengajak dia ke toko buku. Pada waktu itu koleksi buku anak saya belum begitu banyak, saya suka membacakan dia apa saja, buku, koran, tulisan yang seolah-olah saya berbicara dengan dia. Sehingga dia merasa diajak bicara ternyata waktu saya bacakan dia diam seolah2 dengan tekun mengerti apa yang saya bacakan. Dan jika dia menangis karena mengantuk, maka saya bacakan dia apa aja yang bisa dibaca, sampai suatu waktu saya pernah membacakan anak saya buku resep makanan. Ternyata dia tidak tidur2 juga. Mungkin dia pikir bacaan resep makanan yang berisi bahan bumbu halus, bahan isi, bumbu kuah dan sejenisnya itu merupakan suatu cerita yg menarik, dikira dongeng kali ya...meski ibunya yg baca sudah terkantuk2...hehhehe. Akhirnya saya tertegun, anak ini kok gak tidur2 tapi tetap mendengarkan. Saya sadar, bahwa ada anak yg diam dan tidak rewel jika dibacakan sesuatu hinga saya mempunyai keyakinan bahwa anak saya ini suka dibacakan.

Dan kemudian ketika anak saya menginjak usia 6 bulan, dia sudah bisa duduk, saya bertambah giat untuk mencarikan buku-buku anak untuk dia. Alhasil dia sangat suka, meski masih dipegang-pegang, dibuka tidak beraturan, sampai sobek jika kertasnya tipis tapi saya lihat ‘dia sangat menikmati’ dengan mainan bukunya. Pada usia selanjutnya, tiap hari terutama pada waktu mau tidur saya suka membacakan buku anak pada dia. Sampai sekarang, saya sempat kecapekan karena sudah membacakan lebih dari 10 bukupun dia kok tidak tidur? akhirnya ibunya yg tertidur pulas.. hehehhee

Pada usia 1 tahun ke atas setelah dia bisa jalan sendiri, saya ajak dia ke toko buku, dari situlah terlihat bahwa anak saya suka buku. Meskipun dia belum mengenal huruf dengan pasti tapi dia sudah tertarik dengan gambar yang dia suka terutama Ikan, Pesawat, kereta api dan alat transportasi lain. Saya merasa nyaman jika mengajak anak saya ke toko buku karena dia sangat menikmati sekali suasananya dan dia suka juga berkeliling2 untuk mencari gambar2 yang dia suka. Tapi dengan syarat, perut anak saya tidak boleh kosong sewaktu masuk ke toko buku sehingga acara bs berjalan dengan lancar.. J

Pada umur mendekati 2 tahun dan sampai sekarang dia berumur 2,9 tahun, Jika saya ajak ke toko buku ataupun pameran buku, saya senang sekali karena dia tidak merasa capek dan rewel untuk berkeliling mengikuti saya melihat-lihat dan mencari buku.
Jika dia melihat gambar depan buku yang dia suka, seperti ikan, pesawat, kereta, dan sebagainya, dia akan berhenti di depan rak buku tersebut dan berteriak, Bu.. itang.... awat.., terus dia ambil salah satu buku ditunjukkan ke saya dan dia buka-buka buku tersebut dengan riang.

Ada sesuatu yang lucu dan membikin saya haru pada waktu dia saya ajak ke acara Book Fair Jakarta 2009 di Gelora Bung Karno. Dari Depok kita naik kereta menuju Jakarta, kemudian kita naik busway 2 kali, trus kita berjalan dari pintu gerbang ke gedung... anak seumur dia gitu loh...syukur tidak rewel dan sangat enjoy ajjaa.... hehhehe. Saya ajak dia keliling mengunjungi stand-stand di pameran itu. Kita tahu bahwa stand yang ikut pameran waktu itu banyak sekali, jadi tidak mungkin kita masuki satu persatu. Jika saya sudah menemukan buku yg cocok untuk dia terutama yang harganya tidak mahal2 banget, dia tampak gembira. Akhirnya sampai di stand terakhir yang mendekati pintu keluar... karena sudah capek dan kantong sudah menipis, eh dia malah jongkok di depan rak buku yang berisi buku anak-anak bergambar bagus-bagus itu...kebetulan buku yang dia lihat berukuran besar dan berada di rak bagian bawah, saya cuma nunjukin dia aja, ituloh gambarnya bagus. Dan saya lanjutkan untuk melihat buku lainnya. Lah kok ternyata dia tidak bergerak sedikitpun dari rak tersebut...malah dia terus jongkok, diam di situ dan tidak mau berdiri...Saya sempat kebingungan, padahal saya sudah niat dan bertekad jangan’kepincut buku’ yg di stand ini deh . Eeeehh.. anak saya malah tidak bergeming, saya ajak pulang dan keluar ruangan tidak mau. Akhirnya dengan terpaksa saya harus mengambil ATM dadakan yang disediakan oleh panitia. Saya keluar gedung dan sebelumnya tidak lupa saya titipkan anak saya ke Mbak penjaga stand, untung mbaknya baik dan tidak judes.. :-) Akhirnya.... terbeli lagi buku yang ‘ditongkrongi’ anak saya meskipun dia rela saya tinggal untuk pergi ke ATM. Pengalaman yg tidak terlupakan....

Sepulang dari toko buku, biasanya anak saya selalu langsung minta dibacakan atau dijelaskan isi buku tersebut, baik gambarnya, ataupun kita disuruh menggambar seperti yg ada di buku tersebut.Yah.. memang kadang capek, karena dia minta dilakukan berulang2 padahal kita masih barusan masuk rumah, belum membereskan hal-hal lain. Tapi Tidak masalah ...Demi anak ...:-)

Alhamdulillah.... ternyata anakku sangat suka dan mencintai buku meski belum bisa membaca. Alhasil, dengan seringnya saya lihatkan buku2 baik sewaktu kita di rumah mapun waktu ke toko buku, setiap dia melihat huruf atau angka dia selalu meneriakkan beberapa huruf dan dibaca dengan kata yang lain. Misal dia berteriak A U B O dengan percaya dirinya membaca jadi kata ‘ PESAWAT’ atau kata lain...hehhehehe. Otomatis sampai sekarang jadi akrab dengan huruf-huruf yang ada di sekelilingnya, apapun dan dimanapun yang dia lihat ada huruf-hurufnya, dia selalu memanggil saya dan bicara, “Bu...A,B,C,H,.. dst“ maksudnya, dia memberitahu ada tulisan disana, baik itu tulisan yang terpampang besar di jalan2 atau tulisan kecil merk di bagian dalam leher baju. hehhehe sungguh tidak menyangka...Sekarang jika kita sedang melihat sesuatu, baik itu langsung di hadapan/sekitar kita atau di TV, saya selalu bicara, ‘Dek, itu kan seperti yang ada di buku Faiz’...dia meng-iyakan dan menunjuk arah buku dan minta diambilkan buku yang sama dengan obyek tadi.

Saya terus berusaha mengenalkan pada dia bahwa : ”Buku adalah Jendela Ilmu”. Ilmu apa saja, pengetahuan umum, kemandirian anak, agama, sosial dan sebagainya.
Dengan buku yang sering saya bacakan pulalah perbendaharaan kata anak saya semakin banyak dan bertambah. Buku yang kita berikan untuk anak tidak harus selalu dengan harga mahal, banyak buku2 bekas yang masih bagus dan isinya juga mendidik, kenapa tidak ?
AYO KITA GIATKAN “CINTA BUKU PADA ANAK KITA” sehingga mereka menjadi generasi yang berwawasan luas, punya ilmu yang bermanfaat bagi hidup dan lingkungan sekitarnya.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca")

note: gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Investasi dalam Dongeng

Oleh: Dini Noor Hidayah

Siang yang cerah, Franklin si kura-kura bersama Bear si beruang dan Beaver berang-berang sedang bekerjasama mengecat mobil-mobilan, ketika Pak Mole tetangga mereka menghampiri dan mengamati bahwa mobil-mobilan itu belum dilengkapi klakson. Pak Mole menjanjikan untuk membelikan klakson di kota besok, tapi ia sedang bingung siapa yang mau mengurus rumahnya ketika ia pergi? Franklin yang merasa sudah besar sanggup membantu Pak Mole. Namun ternyata kemudian, Franklin melupakan tugas dan tanggungjawabnya karena terlalu asyik bermain dengan teman-temannya. Akibatnya, Franklin harus meminta maaf atas kesalahannya dan harus berusaha memperbaikinya.

Sepenggal cerita diatas diambil dari Franklin Storybooks ciptaan Paulette Bourgeois dan Brenda Clark , yang menjadi dongeng kesayangan anak-anak saya. Sebagai ibu dari tiga anak, saya banyak menemukan kejadian yang menakjubkan seputar pengasuhan anak-anak. Kepolosan dan rasa ingin tahu yang besar dalam diri anak terkadang membuat saya gemas, bahwa ternyata saya tidaklah lebih pandai dari seorang guru TK yang mahir menjawab berbagai pertanyaan mudah. Pertanyaan yang gampang dijawab namun terasa sulit diterjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami anak, merupakan pertanyaan yang sering muncul seiring dengan upaya anak mengindera lingkungan sekitar.

‘Selalu ingin tahu’, adalah ciri utama anak cerdas. Rasa ingin tahu ini merupakan suatu reaksi positif terhadap pengenalan pada diri sendiri beserta dunia yang mengelilinginya. Dalam perkembangan kecerdasannya, setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi anak yaitu : nature, nurture dan nutrition. Selama ini banyak orangtua mempercayai bahwa faktor genetiklah (nature) yang dianggap berperan besar dalam menurunkan kecerdasan pada anak. Demikian juga peran nutrisi (nutrition) dalam pembentukan sel-sel tubuh dan otak supaya anak tumbuh sehat dan cerdas, Sayangnya, faktor nurture atau pengasuhan belum dioptimalkan dalam upaya pembentukan anak. Kendala tersebut dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya: kesibukan dan karir orangtua yang menyita waktu dan perhatian sehingga melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain, minimnya informasi yang dipunyai mengenai cara pengasuhan anak yang maksimal, atau juga dikarenakan adanya anggapan sempit bahwa pendidikan formal saja sudah cukup untuk membekali masa depan anak. Padahal jika orangtua mau sedikit kreatif, selalu ada cara untuk mendampingi anak dalam suatu proses pembelajaran. Salah satunya dengan menciptakan suatu aktivitas menyenangkan yang disebut dengan mendongeng.
Mendongeng atau bercerita adalah satu media komunikasi yang ampuh dalam mentransfer ide dan gagasan kepada anak dalam sebuah kemasan menarik. Mendongeng itu semudah bergosip. Merangkai kata-kata persuasif, deskriptif, naratif atau imajinatif menjadi sebentuk kisah yang atraktif, sekedar untuk berbagi makna cerita. Mendongeng atau storytelling bertujuan menuangkan gagasan dalam pikiran, tidak saja untuk menghibur pendengarnya, namun juga untuk menularkan nilai-nilai yang terkandung dalam inti cerita. Seorang storyteller dari Inggris, David England, menyebutkan bahwa storytelling dapat bermanfaat dalam memperkaya perbendaharaan kata-kata (vocabulary) . Ditambah lagi, mendengarkan dongeng akan melatih daya tangkap anak selama proses menyimak. Tentu saja, latihan konsentrasi ini akan melatih ingatan anak untuk berfikir lebih detail mengenai suatu objek dan memperbanyak kosakata anak, suatu modal utama yang sangat diperlukan bagi pengembangan kemampuan komunikasi verbal.

Mendongeng juga berguna bagi anak agar dapat mengatur perasaannya. Perhatian anak ketika menyimak dongeng, diperkaya dengan intonasi nada, mimik muka, gesture, menambah pengalamannya untuk lebih pandai mengolah rasa dan memupuk percaya diri dalam mengatasi suatu masalah, yang nantinya ini akan berpengaruh pada penghargaan diri (self-esteem) anak. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam sebuah dongeng, antaralain: kejujuran, tolong-menolong, kebersamaan, keberanian, persahabatan, dan sebagainya, berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya. Kisah Franklin bersama dengan sahabat-sahabatnya dalam mengatasi permasalahan sehari-hari misalnya, dapat menawarkan suatu gambaran mengenai pentingnya rasa setiakawan, saling menghormati, dan saling menolong dalam berteman. Anak dapat belajar berbicara, mengungkapkan perasaannya, berfikir luas dalam mempertukarkan gagasan, mengembangkan kreativitas, serta belajar cara berkomunikasi baik yang efektif secara verbal maupun non-verbal. Dengan demikian, tanpa disadari ibu telah melatih kemampuan interpersonal dalam diri anak, suatu ketrampilan yang dibutuhkan bagi perluasan jaringan sosial kehidupannya kelak.

Menurut S. Devi , pada masa kanak-kanak hingga dewasa pembelajaran dan motivasi haruslah digiatkan untuk mengimbangi dinamika kerja otak manusia. Mendongeng ternyata sangat membantu dalam proses tersebut, termasuk juga memberikan kegunaan yang lainnya yaitu :
1. Membuka pemikiran dan wawasan anak terhadap pengetahuan baru. Jalaluddin Rakhmat, seorang pakar komunikasi, menyebutkan bahwa kebaruan (novelty) merupakan inti dari pengayaan lingkungan otak anak, yang dapat dicapai dengan memberikan latihan mental yang menantang dan merangsang kerja otak anak. Prinsipnya adalah dengan mempertahankan rasa ingin tahu anak, maka anak akan terangsang dan tertantang mencari jawaban yang akan mengarahkannya pada pertanyaan berikutnya. Dongeng yang baik dapat merangsang dan menggugah kekuatan berpikir melalui alur yang baik, membawa anak pada arus dan kegairahan cerita.
2. Mengembangkan imajinasi anak dan kreativitas. Kata-kata yang penuh makna yang didapat dari dongeng akan mendorong anak untuk menciptakan gambar-gambar yang jelas dalam pikiran anak. Tentu saja, ini akan memupuk kreativitas dalam diri anak, mengingat satu objek bisa digambarkan berlainan pada pikiran satu anak dengan anak lainnya. Dengan adanya ‘pemutaran bioskop’ di dalam otak, sesungguhnya anak tengah mengembangkan kemampuan visualnya.
3. Membangkitkan motivasi dan menemukan inspirasi. Suatu resep yang ampuh untuk memompa motivasi adalah dengan menceritakan kisah orang-orang sukses karena kerja kerasnya. Menyediakan buku-buku tentang sejarah dan orang-orang yang berjasa akan membuka pikiran anak bahwa orang-orang tersebut adalah juga orang biasa, yang membedakan adalah adanya rasa ingin tahu yang melahirkan gagasan cemerlang, semangat tinggi, dan kerja keras dalam mencapai tujuan hidup. Dengan membuka wawasan anak seluas-luasnya, maka anak dapat memulai untuk menyusun cita-citanya sedini mungkin dan mengembangkan kualitas dirinya.

Sederet manfaat mendongeng diatas dapat menjadi tujuan yang ingin kita raih supaya buah hati kita tumbuh menjadi manusia yang cerdas, menghargai dirinya sendiri juga orang lain disekitarnya. Dan satu manfaat paling besar yang akan dirasakan oleh anak seumur hidupnya, yaitu perasaan selalu dicintai. Mendongeng akan mempererat hubungan orangtua dan anak, karena orangtua dapat memahami kemampuan anak melalui komunikasi dan interaksi yang terjalin selama bercerita. Karena dicintai, maka anak merasa dihargai, dan selanjutnya turut meninggikan penghargaan anak pada dirinya sendiri.

Setelah mengetahui beragam kegunaan dongeng, maka sedini mungkin orangtua perlu membiasakan mendongeng sebagai aktivitas yang mengasyikkan, tidak saja bagi anak, namun juga bagi orang tua. Anak-anak saya biasa berangkat tidur dengan membawa buku cerita kesukaannya, dan meminta saya untuk menceritakannya sebelum terlelap. Kami terbiasa untuk berdialog tentang cerita Franklin si kura-kura, dan seringkali saya terkejut menemukan gagasan-gagasan lucu yang spontan tercetus dari pikiran anak. Suatu perasaan nyaman yang selalu menyelimuti kami, bahwa saya dapat mengajak pikiran anak berpetualang dengan cara yang sederhana, supaya anak-anak dapat membawa petualangan itu ke dalam mimpi, menyimpan dalam alam bawah sadarnya, dan mempraktekkannya di kehidupan nyata.
Mendongeng haruslah menjadi kebiasaan baru yang menyenangkan, tidak menjadi masalah jika anda harus menjalani profesi sebagai guru TK pada malam hari, merasa lelah untuk menjawab ribuan pertanyaan yang meluncur dari mulut mungil anak anda, atau menyisihkan sekian rupiah demi memenuhi rak buku dengan ratusan buku cerita. Mendongeng adalah bekal bagi anak untuk memberikan gambaran dan memperkaya pangalaman untuk membantunya menaklukkan persoalan kehidupannya saat ini dan nanti. Maka tidaklah berlebihan jika mendongeng dapat kita katakan sebagai upaya investasi yang sangat menguntungkan bagi masa depan anak. Jadi silahkan berinvestasi, karena suatu saat nanti, anda dapat menuai hasil yang menakjubkan dari kerja keras anda selama ini.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel “Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note: gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Mengembangkan Imajinasi Anak Melalui Dongeng

Oleh: Jantan Putra Bangsa

Masih teringat jelas dalam ingatan dongeng yang selalu diceritakan kepada saya waktu kecil, yaitu dongeng “Kancil Nyolong Timun” . waktu itu saya dengan penuh imajinasi membayangkan keadaan alam, bentuk binatang Kancil, dan petani yang jengkel karena buah mentimunnya dicuri si Kancil yang cerdik.

Saat ini, jarang sekali saya mendengar anak kecil—sehabis didongengkan orangtuanya—bercerita tentang Kancil Nyolong Timun atau dongeng-dongeng lainnya kepada teman-temannya. Saya rasa hal ini dikarenakan anak-anak sudah tidak pernah mendapatkan dongeng-dongeng. Orangtua terkadang malas membacakan dongeng kepada anaknya, mereka malah membiarkan anaknya tidur di depan televisi. Sehingga jarang sekali anak-anak saat ini yang mengerti dongeng.

Televisi telah menguasai dunia anak-anak. Sehingga anak-anak lebih ramah terhadap televisi daripada buku. Dalam hal pendidikan, buku lebih mendidik ketimbang televisi. Hal ini dikarenakan televisi merupakan cerita bergambar yang bisa dinikmati bahkan bisa menyihir anak hingga betah berlama-lama di depan televisi untuk menonton acara kesayangannya. Sedangkan buku akan merangsang anak untuk berimajinasi, sehingga membuat anak dapat berpikir kreatif.

Meskipun tidak semua film mempunyai efek negatif, pastinya ada juga efek positifnya. Beberapa film yang bisa mendidik misalnya saja Denias; Senandung di Atas Awan kisah seorang anak Papua yang mempunyai keinginan keras untuk dapat mengenyam pendidikan formal, yaitu sekolah. Dengan penuh semangat, Denias berjuang untuk bisa sekolah. Namun di kemudian hari terjadi musibah yang menewaskan ibunya serta guru yang mengajar pulang ke Jawa. Namun, dengan kegigihannya serta didukung oleh Guru Sam, Denias dapat meneruskan kembali sekolahnya.

Film-film seperti inilah yang dapat mengajarkan kepada anak bahwa hidup harus mempunyai semangat dan keinginan yang keras. Walaupun kadang film seperti membuat anak menganggap bahwa pendidikan sekolah adalah menjadi kebutuhan utama, sehingga melupakan pendidikan non formal serta bersosialisasi yang tidak kalah penting.

Alangkah baiknya, ketika masih anak-anak banyak disuguhi dongeng dan buku ketimbang nonton film. Ketika masih anak-anak, daya imajinasi serta berpikir kreatif adalah hal yang utama untuk mendidik mereka.

Dongeng—baik yang didongengkan oleh orangtuanya atau dengan membaca buku sendiri—adalah hal yang baik. Seperti dongeng fabel Tiga Tupai Kecil terbitan Mizan, isinya mempunyai beberapa hal positif yang dapat dipetik, misalnya saja mengajari anak memperkenalkan nama-nama hewan, banyak nasihat bijak yang dapat diambil, seperti pentingnya berbagi dan bersahabat, serta menghargai perbedaan.

Sehingga ketika anak menjadi dewasa, dongeng-dongeng tersebut—meskipun sedikit—tetap akan ada yang bisa diingat dengan imajinasinya masing-masing. Hal ini dapat membantu anak dalam bergaul dengan teman sebaya, sehingga nantinya anak tidak menjadi asosial. Karena banyak cerita yang bisa ia bagi dengan teman-temanya, maupun hasil dari pelajaran yang dipetik dari dongeng itu secara tidak langsung bisa terbawa dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan banyaknya pilihan buku dongeng, seharusnya dapat memacu para orangtua memilih dan mendongengkan untuk anak-anaknya. Mengenalkan anak terhadap sesuatu sangat mudah jika dilakukan melalui dongeng. Mengenalkan anak terhadap warna, berhitung, nama binatang, nama tumbuhan dan lain sebagainya itu sangat mudah disampaikan dan ditangkap oleh anak melalui dongeng.
Buku Seri Tokoh Dunia yang diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo juga sangat menarik untuk diberikan kepada anak. Mengenalkan beberapa tokoh dunia yang diceritakan dengan sangat menarik dan mudah dipahami. Dari Sidharta Gautama, Isaac Newton, Julius Caesar dan masih banyak lagi tokoh dunia ada dalam buku Seri Tokoh Dunia.

Dengan begitu si anak dapat mengenali para tokoh sejak dini. Baik sejarah, atau berbagai hal yang ditemukan oleh para tokoh itu. Sehingga sejak dini anak mempunyai semangat dan cita-cita, setidaknya impian untuk menjadi seperti mereka. Setidaknya ketika si anak mempunyai impian atau cita-cita menjadi seperti para tokoh dunia, si anak tidak akan malas, namun mencotoh hal-hal yang dilakukan oleh para tokoh.

Tentunya hal seperti ini tidak lepas dari peran aktif orangtua dalam mendidik anak serta mengarahkan anak untuk membaca buku. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi contoh yang baik. Kalau otangtuanya saja malas membaca buku dan mendongeng untuk anaknya, bagaimana bisa berharap nantinya si anak mau membaca buku.

Anak-anak adalah makhluk yang pandai menirukan sesuatu dengan cepat, baik hal baik maupun hal buruk. Jika sejak dini diperkenalkan terhadap hal yang baik, melalui dongeng atau buku niscaya si anak ketika dewasa akan cinta dongeng dan cinta terhadap buku.

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel “Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note : gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Agar Anak Gemar Membaca

Oleh: Sri Indah Aruminingsih

Saya mempunyai kesukaan alias hobi membaca. Dari kecil sampai menjadi ibu-ibu begini, saya selalu mengusahakan setiap hari untuk membaca. Saya tidak mempunyai banyak uang, sehingga sedikit sekali tempat di muka bumi ini yang bisa saya kunjungi. Namun saya tidak menyesalinya, karena dengan membaca, saya bisa mengunjungi tempat mana pun yang saya ingin kunjungi dengan membaca. Saya bisa ‘berbicara’ dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia, dari berbagai macam suku, bangsa dan agama dengan membaca. Itulah mengapa buku disebut sebagai jendela ilmu.

Saya ingin ‘menularkan’ kegemaran saya ini kepada kedua jagoan saya (5 dan 2,5 tahun). Senang sekali saya melihat si kakak sudah menyukai buku-buku yang saya belikan untuknya. Suatu ketika dia lebih memilih dibelikan buku daripada mainan ketika saya tawarkan kepadanya. Semua ini tidak begitu saja bisa terjadi, tetapi memang saya ‘kondisikan’ anak-anak untuk lebih mencintai buku.

Berikut bebarapa tip yang bisa saya bagikan berdasarkan pengalaman pribadi saya :

1. Berikan contoh teladan
Bagaimana kita mau menjadikan anak-anak kita agar gemar membaca jika kita sendiri, sebagai orang tua, tidak mempunyai kegemaran membaca sama sekali? Jadi, agar kebiasaan ini ‘menular’ kepada buah hati kesayangan kita, maka harus orang tua dulu yang mencontohkan kegemaran ini. Selalu luangkan waktu kita untuk membaca. Dengan seringnya anak melihat orang tuanya membaca, insya Allah anak-anak pun akan tertular kebiasaan ini.

2. Kenalkan buku sejak dini
Semakin sering kita mengajak komunikasi dengan bayi-bayi kita, akan semakin bagus kemampuan bahasa yang dimilikinya. Kenalkan buku cerita pada anak-anak sejak mulai dia lahir. Berikan buku yang menarik kepadanya. Buku yang paling pas untuk anak batita adalah yang banyak gambarnya. Semakin berwarna, maka akan semakin menarik untuk si kecil. Balita akan lebih mudah menerima buku yang mempunyai lebih banyak tulisan. Semakin bertambah umur anak, kenalkan dengan buku yang memiliki bacaan. Bacakanlah bacaan-bacaan itu kepadanya. Luangkanlah sedikit waktu kita untuk menceritakan bacaan itu kepadanya.
Oh ya, tentunya kita harus mewaspadai kebiasaan si dua tahun yang masih gemar tantrum alias marah-marah sendiri tanpa sebab dan akibat. Biasanya si tantrum ini akan merusak apa pun yang dimilikinya, termasuk buku-buku yang kita sediakan untuknya. Maka tidak ada salahnya jika buku-buku yang kita sediakan untuknya pada rentang usia ini bukanlah buku-buku yang mahal-mahal alias buku murah. Aktivitasnya dalam merobek-robek buku janganlah kita larang, karena itu hanyalah ekspresinya untuk mengeksplorasi buku yang ada di hadapannya. Jangan pula karena kebiasaannya merobek buku menjadikan kita malas untuk memberinya buku. Jika kita terlanjur membelikannya buku mahal, maka jika tantrumnya sedang kumat, sediakanlah di hadapannya buku-buku murah itu, dan kita amankan buku-buku mahal tersebut dari jangkauannya. Pengalaman saya sih, saya memberikan buku seharga seribuan (paling mahal 3 ribu) untuk si tantrum ini. Percaya deh, kebiasaan ini akan berkurang seiring bertambahnya usianya. Yang penting, selalu arahkan si tantrum ini dan berikan nasihat bagus menurut usianya untuk kebiasaannya yang jelek itu.

3. Bacakan buku cerita dengan menarik dengan mendongeng/storytelling
Mendongenglah untuk anak-anak. Anak-anak selalu suka didongengi. Tidak ada salahnya kita sebagai orang tua mengetahui teknik mendongeng. Dengan mendongeng, kegiatan membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan buat anak-anak. Minimal dongengilah anak-anak kita sekali sehari sebelum tidurnya di malam hari. Mungkin kita akan sedikit menjerit karena anak-anak sering meminta dibacakan satu buku berkali-kali. Sabarlah dan jangan matikan motivasi mereka dengan menolaknya.
Kegiatan mendongeng sangat bagus manfaatnya buat anak-anak. Kita bisa mengajari moral yang baik tanpa menggurui kepada anak. Kita bisa mengajari shirah misalnya kepada anak tanpa kita perlu bersusah payah. Kita bisa mengajari membaca, berhitung, sholat, berdoa dan lain-lain kepada anak juga lewat kegiatan mendongeng ini. Jangan lupa, dengan mendongengi anak, bonding kepada anak akan lebih terasa. Keterikatan jiwa lebih bisa terjadi.
Ada satu lagi yang juga termasuk kegiatan storytelling ini. Bahkan bagian darinya, yaitu speak aloud. Ya, membacakan buku cerita kepada anak. Dalam speak aloud ini, si ibu membacakan buku cerita kepada anak dengan keras, word by word, bahkan kalau perlu menunjuk tiap kata itu dan dengan intonasi yang berbeda. Ini bisa sangat membantu kognisi si anak. Diyakini, kegiatan speak aloud ini bisa lebih membuat seorang anak lebih gampang diajari membaca.
Ada teknik tersendiri dalam speak aloud ini. Buat anak sedekat mungkin pada kita saat membacakannya cerita. Pada anak yang belum bisa duduk, dudukkan dia di pangkuan kita. Pada anak yang sudah bisa berdiri, biarkan kepalanya bersandar di dada kita. Ini akan memberikan efek bonding yang luar biasa.
Saya berusaha mendongengi anak-anak tiap malam sebelum tidur. Kegiatan ini saya seling antara mendongeng dan speak aloud. Luar biasa efeknya memang saya rasakan buat anak-anak. Dalam umurnya yang belum genap 5 tahun, si sulungku sudah agak lancar membacanya. Subhanallah….
Si sulungku ini sekarang malah sedang keranjingan mendongeng dengan boneka tangan. Tapi berhubung kami tidak punya boneka tangan, maka ternyata kreativitas dia keluar. Dia menggunakan kaos kaki! Subhanallah. Awalnya dia tidak bisa melihat kaos kakiku menganggur dan selalu diambilnya untuk dipakainya mendongengi adiknya. Walau risih, aku terhibur juga. Aku memfasilitasi dengan memberikannya kaos kaki bersih yang lucu punyaku yang dulu kubeli dan tidak pernah kupakai. Hmmm…malah kreativitas anak beranak ini jadi muncul ya..:) Aku sengaja tidak membelikannya boneka tangan, biar muncul lagi kreativitasnya yang lain..:)

4. Sisihkan sebagian pengeluaran bulanan untuk membelikan anak buku
Jadikanlah ini sebuah kewajiban bagi kita sebagai orang tua. Atur pos pengeluaran sehingga selalu ada pos untuk membelikan anak-anak buku. Tidak harus banyak kok, tapi sesuaikan dengan budget yang kita punya. Jika pendapatan kita minim, maka galilah kreativitas kita untuk ini. Namun, jika kita mempunyai pendapatan yang lumayan besar, jangan segan untuk memposkan lebih besar pengeluaran untuk ini.
Ajak anak ke toko buku. Biarkan mereka memilih buku apa pun yang mereka suka. Jangan lupa, sesampai di rumah, kita diskusikan isi buku tersebut kepada anak. Insya Allah dengan cara ini anak-anak akan semakin bersemangat membaca buku karena buku yang dibacanya adalah pilihannya sendiri.
Beberapa tokoh film yang disukai anak-anak juga bisa kita jadikan acuan untuk membelikan mereka buku. Anak-anak akan menyukai buku yang berisi tokoh yang mereka lihat di film (naruto, sponge bob, spiderman, superman, deelel).
Beberapa hal yang bisa penulis bagi untuk yang berpendapatan pas-pasan :
a. menabung untuk membeli buku
Terutama jika kita ingin membelikan anak buku yang kita tahu bagus tetapi harganya mahal. Jangan lupa sosialisasikan kegiatan menabung ini pada anak, dan ajak dia berpartisipasi menabung dengan menyisihkan uang jajan mereka, sehingga mereka paham bahwa ibunya telah berupaya keras membelikannya buku bacaan. Di samping itu, kebiasaan menabung ini akan menjadi kebiasaan yang sangat bagus untuk anak-anak.
b. hunting ke toko loak
Banyak kok buku-buku bagus yang ada di toko-toko loak. Saya tidak segan ngubek-ubek toko loak di Bandar Lampung untuk mencari buku-buku bacaan dan pelajaran untuk anak-anak. Jelilah memilih. Biarpun murah, pastikan fisik dan isi buku yang kita beli bagus dan akan disukai anak-anak.
c. membuat buku sendiri
Anak-anak suka sekali berkreasi. Ajak mereka membuat buku bikinan mereka sendiri. Gunting gambar-gambar dari koran/majalah/buku-buku bekas dan tempel di kertas-kertas bekas print out yang tidak terpakai (tapi ingat yang masih banyak halaman putihnya) dan satukanlah kertas-kertas ini menjadi sebuah buku. Kreatif bukan? Dijamin anak-anak akan sangat menyukai aktivitas gunting-tempel ini.
d. download ebook gratis
Sekarang banyak kok situs-situs yang menyediakan layanan download ebook gratis. Kita bisa mendapatkan bacaan gratis di sini.

5. Berikan hadiah berupa buku
Pada momen-momen istimewa yang dimilikinya, ulang tahun dan kenaikan kelas misalnya, belikanlah buku untuk anak-anak daripada membelikannya mainan atau barang-barang wah yang lain. Ini akan membuat anak semakin menghargai keberadaan buku dan semakin menggemarinya.

6. Ajak anak ke perpustakaan
Sesekali ajaklah anak-anak ke perpustakaan. Biarkan mereka menjelajahi isi perpustakaan dan membaca buku apa pun yang mereka suka di sana. Biarkan mereka menjelajahi rak demi rak buku dan berimajinasi di sana. Jangan lupa, karena di perpustakaan dilarang membuat keributan, maka lebih dahulu kita kondisikan anak-anak untuk tidak membuat kehebohan di dalam perpustakaan.

7. Ajari anak membaca
Tidak perlu memasukan anak ke les untuk mengajarinya membaca, walaupun memberikan les kepadanya juga bukan hal yang jelek. Jika anak sudah menyukai buku sejak mereka kecil, maka mengajarinya membaca insya Allah menjadi sebuah usaha yang tidak terlalu susah. Jangan paksa anak untuk bisa membaca. Ajari mereka dengan pendekatan belajar sambil bermain dan lihatlah hasil yang akan kita dan anak-anak dapatkan. Tentu dibutuhkan kesabaran ekstra untuk ini.

8. Ajak anak untuk menceritakan kembali
Anak-anak selalu suka diajak berdiskusi tentang buku yang pernah mereka baca atau kejadian apapun yang mereka lihat dan dengar. Mintalah anak untuk menceritakan kembali hal-hal tersebut kepada kita. Jangan meremehkan apa pun yang mereka ceritakan. Ingat, kita dianugerahi Allah dua telinga untuk lebih banyak mendengar.

9. Jangan paksakan target membaca pada anak
Setiap anak mempunyai kecepatan yang berbeda untuk belajar membaca dan membaca itu sendiri. Biarkan dan dengarkan mereka membaca (pada anak-anak yang sudah bisa membaca), sehingga kita bisa tahu kemajuan bacaannya. Jangan paksa mereka harus menghabiskan sekian halaman setiap hari. Memberi target boleh saja, asal disesuaikan dengan kemampuan anak. Dalam waktu-waktu tertentu saya ‘mewajibkan’ si sulung yang sudah agak lancar membaca untuk menyelesaikan satu buku kecil atau sekian halaman dari buku-buku yang dimilikinya.
Bahkan, jika si anak belum bisa membaca, biasanya mereka akan ‘pura-pura membaca’ sesuai dengan gambar di buku atau dari bacaan yang kita ceritakan kepadanya. Hargai usaha mereka ini. Berikan apresiasi dan tidak boleh diremehkan. Beri pujian jika perlu.

10. Taruh buku pada tempat yang mudah dijangkau anak
Biarkan anak menemukan apa yang ingin dia baca sendiri. Jangan biarkan DVD player atau PS atau mainannya lebih mudah dijangkau baginya dibanding koleksi buku-bukunya. Kalau perlu sediakan buku-buku di samping tempat tidurnya sehingga dia bisa dengan sangat mudah menjangkaunya. Jangan pula jadikan tempat tidur sebagai ‘tempat haram’ untuk serakan buku. Biarkan dia membuka buku-bukunya di atas kasur, asalkan tanamkan pula kebiasaan tanggung jawab kepadanya untuk selalu membereskan barang-barang miliknya selesai dipakai.

11. Tetap biasakan anak membaca walaupun sedang berlibur
Aktivitas membaca jangan sampai terhenti hanya karena anak-anak sedang libur sekolah. Selalu biasakan mereka membaca kapan pun dan di mana pun. Saya selalu menyediakan satu tas penuh bukunya jika bepergian jauh atau minimal satu buku bacaan untuk kedua anak saya jika bepergian yang tidak terlalu jauh.

12. Variasikan bacaan anak
Ajarkan anak-anak untuk menyukai majalah, koran, komik atau bacaan apa pun untuk memvariasikan bacaannya. Kenalkan mereka dan berpetualanglah dengan anak-anak untuk menggali ilmu-ilmu yang ada di balik bacaan-bacaan tersebut.

Demikian beberapa tip yang bisa penulis sharekan di sini. Harapannya agar semakin banyak anak-anak Indonesia yang menjadikan membaca sebagai satu kegiatan yang mengasyikkan baginya, sehingga akan lahir generasi-generasi yang lebih bermutu.

(Diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel ”Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note: gambar dipinjam dari sini

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] I Love to Tell a Story and My Baby Loves to Read

Oleh : Dewi Mora Rizkiana

Menuliskan kecerdasan si kecil serasa menemukan sebuah buku kosong yang setiap kali kita ingin mengisinya, tiba – tiba halaman demi halaman menjadi penuh. Namun saat ‘dipaksa’ untuk menuliskannya serasa semua kembali ‘kosong’ atau boleh dibilang kita menemukan ‘a new book’.

Saya suka buku, suka menulis, suka mendongeng, dan suka sekali -belajar- ‘menggambar’ -at least but not last- untuk konsumsi anak – anak dibawah asuhan saya. Saat Tuhan mengaruniakan ‘amanah’ terindahnya pada tahun 2008 tepatnya 17 September, saya menemukan ‘something’ new. Anak saya terasa begitu cepat bertambah kecerdasannya, mulai cuma bisa nangis, teriak, dan tidur, pelan namun pasti dia bisa tengkurap, duduk, merangkak, berjalan, dan sekarang sudah bisa berlari dan berkomunikasi. Subhanalloh!

Sejak awal, saya suka sekali mendongeng untuk anak saya, dan hal itu terbantu dengan adanya buku – buku untuk balita -yang kadang- saya buat sendiri. Pada awalnya anak saya cuma suka memegang, merebut, dan melempar, namun saya pantang menyerah, saya lebih suka -nantinya- anak saya akan menjadi kutu buku daripada TV-mania (meski bukan antipati, karena ada banyak program anak – anak yang saya ikuti cukup bagus di beberapa stasiun TV).

Tahapan ‘perkenalan’ anak saya dengan buku :

1. Awal saya kenalkan buku pada anak saya sejak di kandungan, dari inspirasi yang saya dapatkan saya menuliskan naskah – naskah dongeng yang saya dongengkan untuk anak – anak di bawah asuhan saya.
2. Dalam setiap dongeng yang saya ceritakan, suara masing – masing tokoh selalu saya bedakan, dengan intonasi naik turun dan ekspresi sesuai situasi dan kondisi alur cerita.
3. Beberapa hari setelah dia lahir saya suka menceritakan tentang kisah – kisah inspiratif kepadanya.
4. Usia 1 bulan saat dia bisa mengangkat kepalanya saya ‘kenalkan’ dengan buku sebenarnya, dia tersenyum melihat -meski tak sepenuhnya paham-, tapi saya berprasangka baik dia suka.
5. Setelah dia bisa memegang, saya berikan buku padanya, dan dia mulai bersahabat.
6. Setelah dia duduk dan merangkak, dia mulai bisa meraih buku kesukaannya, meski sebatas dilihat, dipegang, dan bahkan dilempar.
7. Usia 1 tahun, saat dia mulai bisa berjalan, hal yang membuat saya ‘surprise’ adalah saat ia membawakan buku kesukaannya ke depan saya dan membuka, serta menunjuk gambarnya sambil berkata ‘tu’ berkali – kali.
8. Hal lain yang saya lakukan adalah mengajaknya ke toko buku sejak dia masih bayi, ke pameran – pameran buku, dan berusaha membelikannya sebuah buku untuk dibacakan kepadanya.
9. Saat anak saya berusia 14 bulan, saat saya bilang ‘sayang, tolong ambil bukumu, ayo kita baca bersama….” Dengan bergegas dia akan mendapatkan bukunya dan duduk di depan saya, membukanya dengan semangat dan menunjuk – nunjuk gambar sambil berkata ‘tu tu tu!’. Terkadang saat dia membaca bagian dimana disitu ada anak yang bersahabat dengan binatang, dia akan mengelus – elus bukunya seperti biasa saya ajarkan. Lucu sekali!
10. Sekarang anak saya berusia 15 bulan, dia suka membawa buku apa saja ke depan saya dan mengulurkannya dengan harapan saya akan membacakan buku itu untuknya meski hanya satu kata. Seumpama saya tak memperhatikannya dia akan ngambeg sampai saya membacakan buku itu untuknya.

Saya percaya setiap anak memiliki begitu banyak kecerdasan yang bisa diasah oleh kita sebagai orangtua. Dan kecerdasan anak tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lain karena mereka memiliki ‘keunikan’ tersendiri.

Ada sebuah kejadian lucu saat saya sekeluarga mengurus paspor ke kantor imigrasi, si kecil yang suka berlarian melihat pamflet di sekitar loket ruang tunggu, dia menunjuk apa saja dengan isyarat ingin dibacakan, jadilah kami keliling dan saya bacakan setiap kata yang ditunjuknya.

Hanya do’a beserta harap dalam setiap aktivitas saya sebagai bunda, semoga kelak si kecil menjadi manusia yang berguna bagi lingkungan sekitarnya, minimal untuk dirinya, amiin….


(diikutsertakan dalam lomba "Cinta Dongen, Cinta Baca")

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Menggurui Anak-anak dengan Dongeng

Oleh : Isti Zusrianah

Mendongeng merupakan aktifitas favorit saya sebagai pengajar TK di sebuah kampung kecil di Bantul, Yogyakarta. Ekspresi anak-anak ketika mendengarkan cerita saya, antusiasme mereka menebak-nebak akhir cerita dan semangat mereka berebutan menjawab pertanyaan “ujian” saya ketika cerita sudah selesai merupakan kepuasan tersendiri bagi saya.

Dulu, saya tidak menganggap penting kegiatan mendongeng, hanya sekedar bagian dari aktifitas mengajar karena tuntutan Satuan Kegiatan Harian yang harus saya laksanakan. Atau menjadi aktifitas andalan saya ketika anak-anak ribut dan tidak bisa dikendalikan. Apalagi saya tidak melihat hasil yang signifikan dari kegiatan mendongeng, seperti yang pernah saya tanyakan di sebuah seminar. Saya katakan waktu itu, anak-anak itu begitu antusias mendengarkan cerita saya, bisa menangkap pesan moral yang saya sampaikan. Tapi kenapa setelah saya selesai bercerita mereka kembali bersikap “liar” seolah yang saya sampaikan hilang begitu saja. Kang Puji nara sumber seminar itu mengatakan bahwa, jangan heran ketika kita bercerita anak-anak itu begitu antusias tapi setelah itu mereka juga masih “antusias” menakali temannya, hanya perlu diingat bahwa apa yang kita sampaikan itu tidak hilang tetapi akan selalu berada di “alam bawah sadar” mereka dan bahkan bisa mereka ingat sepanjang masa.

Ini mengingatkan saya akan deskripsi Teoritis Maria Montessori tentang tahap-tahap yang yang harus dilalui seorang anak untuk memunculkan kedisiplinan batin. Pada tahap ketidakteraturan gerakan-gerakan tubuh, anak-anak cenderung mengalami kekacauan gerakan yang memerlukan bantuan orang tua dan guru dengan cara-cara yang menarik agar gerakan-gerakan tubuh itu menjadi lebih harmonis. Tahapan yang menyertai “kekacauan” ini adalah kesulitan atau ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada benda-benda nyata. Pikirannya lebih suka berkelana dalam dunia fantasi. Orang beranggapan bahwa fantasi itu berciri kreatif, padahal menurut Montessori justru sebaliknya, fantasi itu tidak ada nilainya atau sekedar bayang-bayang. Pikiran yang melanglang buana yang terlepas dari realita juga terlepas dari kondisi yang normal dan sehat. Di dunia fantasi yang khayalan memang tumbuh subur, tidak ada kontrol kesalahan, tidak ada upaya untuk mengkoordinasikan pikiran.

Dalam kondisi “kacau” inilah menurut saya, orang tua dan guru bisa menanamkan nilai-nilai melaui media dongeng. Dunia fantasi anak yang tidak ada kontrol kesalahan itu bisa dimasuki konsep benar salah menurut nilai-nilai agama, sosial dan budaya di mana mereka tinggal. Bahwa, keinginan kita dibatasi oleh aturan yang jika itu dilanggar akan menyebabkan berkurang atau hilangnya penerimaan lingkungan terhadap keberadaan kita.

Maka kegiatan mendongeng dipastikan bisa merubah perilaku anak, tentu jika dilakukan dengan baik dan disesuaikan dengan tingkat penerimaan anak akan sebuah nilai yang akan disampaikan. Menurut Kak Andi Yudha, seorang trainer dongeng anak-anak dan penulis buku anak, segala sesuatu yang disimpan dalam bentuk cerita jauh lebih bermakna daripada segala sesuatu yang dijejalkan ke dalam otak hanya dalam bentuk fakta. Pada dasarnya bercerita adalah kegiatan berbagi rasa, membuka diri secara tulus, menyampaikan perasaan, mengungkapkan nilai-nilai dan menyampaikan pengalaman dengan sungguh-sungguh sehingga dapat diterima dan diserap oleh anak-anak.

Karenanya orang tua tidak perlu khawatir jika belum bisa menjadi pendongeng seperti Kak Bimo atau Kak WeeS, tidak perlu berkecil hati jika belum bisa mempraktekkan tehnik-tehnik mendongeng seperti yang ada di buku-buku panduan mendongeng. Kejadian sehari-hari yang anak-anak atau orang tua temui bisa dijadikan bahan cerita, tentu dengan bumbu-bumbu yang pas dan tidak lupa memasukkan nilai-nilai moral dalam cerita itu. Bisa juga menggunakan media buku cerita yang banyak dijual di Toko Buku, kalau perlu bisa mengajak anak ke toko buku dan memilih sendiri cerita yang disukainya. Meskipun belum bisa membaca, anak-anak bisa “membaca” ilustrasi buku yang biasanya menjadi daya tarik tersendiri bagi anak. Para ahli pendidikan sepakat bahwa, lingkungan yang selalu mendukung anak dengan merangsangsangnya melalui pendekatan visual dengan cara memperkenalkan buku secara fisik, kemudian membacakan atau menceritakannya akan membuat anak termotivasi untuk lebih jauh mendalami buku sehingga suatu saat buku menjadi sebuah kebutuhan.

Untuk para guru, tentu ada kiat khusus agar kegiatan mendongeng menjadi lebih menyenangkan. Yang selama ini saya praktekkan, selain menggunakan media buku cerita bergambar dan menggunakan ekspresi wajah dan perubahan intonasi suara, saya biasanya menjadikan beberapa anak sebagai contoh kakakter seperti dalam dongeng. Anak yang disebut namanya akan merasa senang dan ia terpancing untuk bercerita tentang keluarganya, hewan peliharaannya atau kejadian yang menimpanya. Memang akan sedikit terjadi “kekacauan” karena anak-anak yang lain juga akan berebut bercerita, tetapi komunikasi dua arah ini diperlukan untuk menghindari kebosanan anak-anak, yang penting masih berada dalam alur cerita yang sudah dibangun.

Selain itu, saya sering memberi “pertanyaan ujian” setelah cerita selesai dibacakan, dan anak-anak akan antusias menjawabnya. Ini juga bisa kita jadikan indikator kesuksesan kita dalam menyampaikan cerita, jika anak-anak bisa menjawab pertanyaan seputar cerita yang telah kita bacakan berarti mereka benar-benar mendengarkan apa yang kita sampaikan.
Tentu, cerita atau dongeng hanya salah satu media untuk menanamkan nilai, tapi sejauh ini dongeng dianggap yang paling efektif untuk “menggurui” anak-anak sehingga tanpa sadar anak-anak itu menerima nilai-nilai agama, sosial dan budaya yang Insya Allah akan selalu tertanam di hati mereka. Seperti halnya orang tua, anak-anak juga tidak suka digurui dengan kata-kata : tidak boleh, jangan, harus begini harus begitu, tetapi dengan dongeng mereka tidak akan merasa digurui. Jadi, menggurui anak-anak dengan dongeng, kenapa tidak kita biasakan dari sekarang?


Yogyakarta, 30 Desember 2009

Bahan Bacaan :
1. Maria Montessori, “The Absorbent Mind, Pikiran Yang Mudah Menyerap”, Pustaka Pelajar : 2008.
2. Kak Andi Yudha, “Cara Pintar Mendongeng”, DAR! Mizan : 2007

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca")

note: gambar dipinjam dari sini