Rabu, 30 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Panggung Imajinasi

Oleh: Gita Lovusa

Cha senang sekali membaca ilustrasi di buku, tabloid, majalah, selebaran atau apa pun. Dengan tekun ia memerhatikan gambar-gambar yang tertera di sana. Matanya melirik ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Semua sudut gambar ditelusuri. Tak jarang ia berbicara dengan sang gambar. “Mamam. Yo, mamam..” Tangannya menunjuk-nunjuk pada seekor kelinci kecil. “Mii. Inci. Mamam.” Kalau ia sudah menegur saya, saatnya saya masuk ke dalam dunianya. “Kelincinya lagi makan ya?” “Iya..,” jawabnya ceria. “Siapa yang kasih makan?” Cha terdiam. Matanya berbinar melihat gambar-gambar yang lain. Saya pun ikut terdiam. “Mamam...,” ujarnya kembali sambil tertawa.

Sebuah gambar kelinci di buku dapat berlanjut dengan dongeng ajaib ciptaan saya. Ketika Cha sudah puas dengan gambar-gambarnya, saya ambil sebuah boneka kelinci miliknya. Suara mulai saya sesuaikan, mimik muka pun saya ubah. Lalu berkata,
“Kakak Cha, aku lapar. Mau makan...” Cha menengok dengan senyum yang sungguh sumringah. Membuat imajinasi saya semakin lancar berjalan.
“Waw! Hai, Inci..,” katanya.
“Kakak Cha punya makanan? Aku mau, Kak. Aku lapar.”
Lalu Cha mengambil makanan dengan tangan dan menyuapkannya padaku, “Aaa..” “Enyak?” tanya Kakak Cha.
“Enaaakkk. Makasih ya, Kakak Cha.”
“Ma..,” artinya ‘sama-sama’.
Dongeng ajaib bin interaktif ini bisa terus berlanjut dan berkembang ke hal-hal lain, atau bisa juga hanya seperti itu saja. Kadang panjang dan penuh dengan tokoh, kadang singkat dan pemainnya sedikit. Semua saya sesuaikan dengan situasi saat itu. Kalau Cha masih terlihat antusias, akan saya lanjutkan. Tapi kalau Cha mulai mengajak hal lain, dongeng itu akan saya hentikan dan melanjutkan dengan kegiatan yang lain.
Awalnya saya sedikit khawatir dengan kebiasaan Cha yang lebih senang memerhatikan gambar. Jika saya membacakan buku untuknya, maka hanya akan bertahan sebanyak 3-4 halaman. Sesudah itu, bukunya akan ia ambil dan ia kembali menekuni gambar-gambar yang atraktif itu. Lalu saya menemukan kata ini di sampul belakang Anne of Green Gables, “Imagination is more important than knowledge” – Albert Einstein. Saya terhenyak dan memandang lama kata-kata itu. Mencoba mencernanya lebih dalam.
Kalau saja seorang genius seperti beliau mengatakan hal seperti itu, maka hampir bisa dipastikan bahwa itu adalah benar. Mungkin saja, teori-teori yang diciptakannya itu bermula dari sebuah imajinasi. Setelah saya membaca buku karangan Lucy M.Montgomery tersebut, saya semakin terkaget-kaget ketika mengetahui bahwa Anne, tokoh utama dalam kisah itu, adalah anak yang sangat senang berimajinasi. Ia menamakan semua jenis tempat, semua jenis pohon dengan nama-nama yang sangat cantik dan imajinatif.

Saya menjadi mengerti dan membiarkan Cha melakukan hobinya itu. Membacakan buku tetap saya lakukan, namun dengan porsi yang disesuaikan.
Suatu ketika, saat Cha sedang asyik mengamati gambar di tabloid anak. Ia berujar, “Ayah...Ayah..,” sambil menunjuk sebuah foto dokter yang mengasuh suatu rubrik di tabloid tersebut. Saya tertawa, “Ayahnya siapa itu, Cha?” “Ayah, Ayah.” Kosakatanya yang masih terbatas di usia yang hampir menginjak 2,5 tahun terkadang membuat acara dongeng ajaib berjalan hanya satu arah. Tak apa. Saya yakini ini sebagai bagian dari proses, sebisa mungkin saya hargai apa pun yang keluar dari mulutnya.
Membaca atau mendongeng bisa kami lakukan di manapun. Kasur di kamar tidur atau lantai dapur bisa menjadi panggungnya. Masjid, mobil atau alam luas bisa menjadi gedungnya. Selama Cha atau saya menemukan obyek asyik yang meningkatkan daya imajinasi, di situlah panggung imajinasi kami berada.

Panggung imajinasi: Ruang tamu, ruang bermain, ruang perpustakaan yang bergabung menjadi satu.
Saya melilit sebuah kain sarung di leher. Merapikannya lalu terbang ke sana ke mari layaknya seekor kupu-kupu. Hinggap di satu bunga dan menikmati waktu dengan menghisap manisnya. Tanpa kata-kata. Tapi Cha memerhatikan saya dengan begitu seksama. Kemudian ia pun mengambil kain bedong dan meminta saya untuk melilitkan di lehernya. Kupu-kupu kecil itu pun mulai terbang, mencari bunga yang akan dihinggapinya.

Panggung imajinasi: Dapur
Cha sedang asyik memegang dua kertas kado gulung, kemudian ia memberikannya satu pada saya. Ia mengajak saya bermain pedang-pedangan, kata-kata yang terucap dari bibir kami hanya, “Tring..tring..” yang mengesankan bahwa itu adalah bunyi pedang yang beradu. Saya biarkan saja permainan kami terus berlanjut meski hanya dengan kata ‘tring’ dan senyuman. Cha sudah terlihat lelah lalu ia menghentikan permainannya.
“Cha capek ya?” tanya saya.
“Iya..”
“Tadi Cha main apa?”
“Mai...”
Ia menjawab pertanyaan dengan mengulang kata ‘main’. Saya tak melanjutkan pertanyaan. Sambil meluruskan kaki, saya teringat ucapan Kak Andi Yudha Asfandiyar sewaktu mengisi pelatihan di Masjid Salman ITB beberapa tahun lalu. Isinya kurang lebih begini, “Jangan paksa anak untuk menjawab pertanyaan kita. Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan akan membatasi imajinasinya. Biarkanlah mereka asyik bermain di dunianya.”
Meski kadang ada rasa penasaran di dalam hati untuk mendengar apa yang ada di pikirannya, tetapi sebisa mungkin saya tahan keinginan itu. Khawatir malah akan merubuhkan imajinasinya.

Panggung imajinasi: Jalan raya dan taman kecil di dekat rumah
Ketika sedang asyik berjalan, saya melihat seekor capung yang sedang sekarat. Saya memberi tahu Cha. “Cha, lihat! Capungnya kasihan.” Cha melihat ke arah capung itu dan mendekat ke saya. Menarik-narik tangan saya untuk segera pergi menjauh. Oh, rupanya Cha takut. Saya ikuti langkah kakinya sampai di sebuah taman rumput kecil yang penuh ilalang.
“Cha, capung tadi kasihan ya. Lagi sakit kayanya.” Cha diam saja karena sedang asyik bermain dengan ilalang.
“Eh, ada kupu-kupu,” kata saya memecah keheningan. Cha pandangi kupu-kupu yang terbang dengan gemulai.
“Capung tadi juga temannya kupu-kupu loh, Cha. Kupu-kupu ini tau ngga ya kalau temannya, capung, sedang sakit?”
“Ngga..,” kata Cha.
“Oh, kupu-kupunya ngga tau? Kita kasih tau yuk!” Cha mengangguk-angguk girang.
“Eh, Cha. Nama kupu-kupunya siapa ya?”
“Mimi...”
“Nama yang bagus. Mimi. Terus nama capungnya siapa?”
“Upi..”
“Oke. Kita kasih tau Mimi yuk, kalau Upi lagi sakit.”
Kami mendekati Mimi secara perlahan lalu berbisik, “Mimi, tadi kami lihat, Upi sedang sakit di jalanan. Coba kamu tengok ya.”
Cha mengikuti gaya saya yang berbisik, lalu tertawa kecil. Mimi kemudian terbang, mungkin ia segera mencari Upi untuk menolongnya. Ketika kami berjalan pulang, Upi sudah tidak lagi sekarat di jalan aspal. Mata saya mencari.
“Oh, itu dia. Mimi dan Upi sedang bermain bersama. Senangnya.”
Lalu kami berdua berjalan pulang. Menyusuri sungai kecil yang airnya hitam, melewati deretan warung dan berlari ketika hampir sampai di rumah.
Esok hari, panggung imajinasi kami akan berada di mana ya?

Sumber referensi:
Anne of Green Gables, Lucy M.Montgomery, Penerbit Qanita. Maret, 2009.

(Diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel “Cinta Dongeng, Cinta Baca”)

note : gambar dipinjam dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar