Senin, 28 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Membuka Dunia Bersama Si Kecil

Oleh : Dian Arymami

“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited
to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world,
and all there ever will be to know and understand.”
-- Albert Einstein


Dongeng? Siapa yang tak suka?
Saya teringat waktu mengecam pendidikan sekolah, ada tiga mata pelajaran yang sangat saya sukai; bahasa, kimia dan sejarah. Persoalannya hanya satu, gurunya selalu memulai kelas itu dengan sebuah cerita. Dari cerita mereka dapat menjelaskan berbagai hal dengan menyenangkan, membuat siswa tertarik dan semangat untuk mempelajari lebih materi yang diberikan. Inilah yang coba saya lakukan bila harus berbicara didepan para mahasiswa, atau presentasi di publik. Mengawali dengan sebuah cerita. Cerita begitu leluasa menjelaskan berbagai persoalan, bisa menjadi contoh yang lebih aktual atau setidaknya bisa membuat publik sebentar terhenyak dalam keheningan untuk mendengarkan kita. Semua orang pasti tertarik untuk mendengarkan sebuah cerita. Tanpa ada batasan umur.

Banyak orang tua bercerita kepada anak-anak mereka, khususnya sebagai ritual mendongeng sebelum tidur. Hal ini tidak hanya memberikan waktu berharga membangun ikatan relasi bersama anak, namun juga menginisiasi pengenalan buku pada anak-anak. Bercerita sembari membuka lembaran buku, secara tidak langsung membuat anak-anak menyukai buku. Mengenalkan tulisan dan mempercepat proses belajar membaca. Marjanovic-Umek dkk, juga menyatakan bahwa dongeng sangat signikan untuk perkembangan bahasa anak-anak. Namun tentu, bukan hanya proses membaca dan membaca buku yang menjadi penting, apalagi dengan prasyarat pendidikan ‘bisa membaca’ yang kian diterapkan sangat dini belakangan ini, atau sebagai patokan intelektualitas anak, tapi juga persoalan imajinasi.

Imajinasi dalam kamus psikologi mendeskripsikan imajinasi sebagai pengorganisasian data dari pengalaman masa lampau dengan relasi baru dalam pengalaman ide masa sekarang. Dengan kata lain dengan mencampur atau mengkombinasikan hal-hal lama dengan yang baru untuk membentuk sebuah gambaran dalam pikiran. Kenapa imajinasi begitu penting? Bukankan semua orang dengan mudah dapat melakukan imajinasi, sehingga kita tidak perlu susah payah menumbuhkan imajinasi pada anak? Setidaknya itu yang sempat melintas dalam pikiran saya mengenai imajinasi. Namun saya mulai mendapat pandangan lain, saat saya mendengar cerita seorang rekan yang sedang melakukan penelitian di Taman Kanak-kanank (TK) untuk tesis di bidang psikologi pendidikannya.

Sebuah sekolah TK yang cukup ternama, dengan metode pembelajaran berbagai bahasa dan dipandang sangat baik oleh banyak keluarga. Sekolah itu sangat bagus, rapi dengan jumlah perbandingan pengajar dan siswa yang baik. Siswa-siswanya sudah sangat pandai membaca, mengeja dan berbicara dalam berbagai bahasa, tapi kelas itu sangat sepi. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada teriakan, tangis atau canda tawa. Ini sebuah TK. Mereka membaca bersama, berdoa bersama, menyanyi bersama. Lebih mengejutkan lagi, saat bel istirahat berdering, tidak ada satu siswa pun yang keluar untuk bermain, hanya duduk dikelas, menanti pelajaran berikutnya dengan sangat rapi. Maaf, saya tak dapat menahan untuk mengulanginya; ini sebuah TK. Siswa-siswa ini tampaknya takut untuk keluar dari pola. Saya sangat terkejut dan prihatin mendengar cerita ini. Akan jadi apa siswa-siswa ini kelak? Pintar, disiplin, rajin membaca, itu pasti. Tapi apakah hanya ini yang modal dibutuhkan kelak saat anak-anak beranjak menginjak dunia sendiri. Kepintaran, kedisiplinan tanpa ada keberanian untuk menginisiasi, mencoba, menciptakan hal baru. Ada yang kurang? Ya. Imajinasi.

Banyak orang menganggap sepele imajinasi, sebagai proses yang tidak membumi, irasional dan membuang waktu. Namun dengan imaginasi kita sebenarnya mengasah kecerdasan, mengasah pengelolaan emosi hingga mengasah proses pemecahan masalah. Bayangkan saja, dalam kondisi darurat, tersesat di hutan misalnya, bila kita tidak pernah memiliki imajinasi, kita dapat duduk berhari-hari menanti pertolongan tanpa inisiasi untuk menolong diri sendiri. Mungkin ini contoh yang terlalu ekstrim, tentu banyak hambatan sehari-hari yang dapat dibayangkan tak mampu terpecahkan bila tak ada campur tangan imaginasi. Imajinasi essensial dalam pertahanan hidup.

Ada dua jenis dasar imajinasi; imajinasi imitative dan imajinasi kreatif. Imajinasi imitative merupakan imajinasi dari rekonstruksi masa lampau yang dikreasi, seperti anak bermain dokter-pasien, tapi dokter yang disuntik oleh pasiennya. Ini merupakan proses-proses kreasi imajinasi imitatif. Imajinasi kreatif disisi lain merupakan restrukturisasi impresi masa lalu yang melibatkan gambaran-gambaran dalam pikiran dan pengalaman untuk menciptakan sensasi atau kondisi yang belum pernah dialami. Misalnya saja seorang anak bermain dengan mobil-mobilan yang kemudian mendarat di planet Pluto. Tentu anak ini belum pernah ke Pluto, namun memiliki berbagai gambaran tentang Pluto dan gambaran kemampuan control pada mobil-mobilannya.

John Thompson dalam bukunya Natural Childhood mengatakan bahwa bila imaginasi diasuh sejak dini, ia dapat menjadi jangkar darurat dalam hidup. Imaginasi memberikan basis untuk tumbuh kembang anak dan akhirnya di dunia kelak. Anak-anak bila diberikan ruang dan dukungan untuk mengembangkan imajinasi, berarti mereka dibekali dan diasah untuk menjadi orang dewasa yang fleksibel, cerdas dan sukses.

Banyak cara untuk mengasuh imajinasi anak. Mulai dari memberi mainan yang ‘kurang sempurna’ hingga yang paling mudah; mendongeng. Tak ragu lagi saat keponakan saya berumur 2 tahun berlari membawa buku resep kepada saya untuk meminta saya menceritakan buku tersebut. Saya dengan senang membuka buku itu, terpampang foto ayam yang lezat dan deretan bumbu-bumbu, saya memulai cerita dengan, ‘suatu hari, se-ekor ayam datang kekota...’. Baru satu kalimat itu, mata keponakan saya berbinar melihat gambar dan senyumnya mengembang lebar. Proses kreasi imajinasi dimulai. Tentu sekarang dia sudah besar dan bisa membedakan buku cerita dan buku resep.

Sekarang, saya sudah mempunyai satu anak. Proses mendongeng, memperkenalkan buku, mengasah imajinasi saya harap dapat saya lakukan, sebab mungkin pernyataan Albert Einstein diatas memang benar. Jadi kenapa tidak mendongeng, selain begitu banyak manfaatnya, ia sangat menyenangkan!


Refrensi:
Robertson, Ian. Opening the Mind’s Eye: How Images and Language Teach us How to See. New York: St. Martin’s Press, 2002.
Roeckelein, Jon E. Imagery in Psychology, A Reference Guide. Connecticut: Praeger,2004.
Thomson, John. Natural Childhood. New York: Simon & Schuster, 1994.
Marjanovic-Umek, dkk. Developmental Levels of Child’s Story telling. Dipresentasikan dalam European Annual Meeting of Early Childhood Education Research Association. Lefkosia, Cyprus. 2002

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca)

note: gambar dipinjam dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar