Minggu, 27 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Mendongeng Satu Menit

Oleh : Yudith Fabiola

Awal Mula Mendongeng


“Ummi...itaaa.” pinta anak sulungku.
Maksudnya, ia memintaku bercerita tapi gaya bicaranya sengaja ia cadel-cadelkan.
Memintaku bercerita adalah ritual yang selalu dilakukannya sebelum tidur malam. Tidak pandang tidur di awal malam atau tidur tengah malam. Biasanya sehabis bepergian seharian dan sampai rumah malam hari, sulungku akan tidur larut malam. Meski demikian, ia selalu menagihku bercerita. Kalau tubuhku tak lelah, dengan senang hati kulayani keinginannya. Tapi, kalau badanku sudah penat, kantuk membuat mataku berat, ingin rasanya kutampik rengekannya. Namun, aku lebih sering tidak tega menolaknya. Maka kupenuhi permintaannya meski hanya mendongeng satu menit!

Kebiasaan bercerita atau mendongeng ini telah berlangsung sekitar tiga tahun terakhir. Kebiasaan yang bermula karena tidak sengaja. Sejak anakku tak lagi memintaku membacakan buku untuknya sebelum tidur. Tiga tahun lampau, anakku senang sekali dibacakan buku sebelum tidur. Tentu saja aku meresponnya dengan gembira. Sudah menjadi cita-citaku sejak lama bahwa aku ingin anakku gemar membaca. Maka, kuperkenalkan ia pada buku sejak ia berumur 5 bulan. Jika dulu aku yang memilih buku yang akan dibacakan sebelum tidur, lama-lama ia sendiri yang mengambil buku-buku untuk kubacakan. Dari satu buku, bertambah-tambah menjadi selusin buku. Ya, selusin buku untuk dibaca sebelum tidur!

Suatu hari, seperti biasa anakku membawa banyak buku untuk dibacakan sebelum tidur. Hari itu aku tak bisa berkompromi dengan rasa lelah maka aku minta padanya hanya membaca satu atau dua buku. Ia tak mau. Aku juga keukeuh. Akhirnya ia memang menuruti perintahku tapi...apa yang terjadi keesokan hari dan seterusnya? Ia tak mau dibacakan satu bukupun sebelum tidur! Alangkah terkejutnya aku. Sedih dan menyesal berbaur menjadi satu. Tak kusangka dampak penolakanku kemarin begitu dahsyat membekas dalam dirinya. Penyesalanku tak habis-habis hingga hari ini. Oleh karena itu, aku tak mau mengulangi kesalahan tersebut di anak keduaku. Kembali ke cerita tadi, karena anakku tidak mau dibacakan buku, aku pun mendongeng untuknya. Rupanya, dongeng yang kusampaikan padanya membuatnya senang. Sejak hari itu hingga tadi malam anakku ketagihan dongeng sebelum tidur. Entah mengapa, ia sulit tidur jika aku belum mendongeng. Sedangkan baca buku, ia melakukannya sendiri sejak mulai lancar membaca. Fiuuuh...rasa berdosaku berkurang sedikit demi sedikit demi melihat hobi membacanya tak luntur karena ulahku bertahun silam.

Dongeng Sebelum Tidur

Aku biasa mendongeng sebelum anakku tidur di malam hari. Siang hari rasanya tak nyaman untuk mendongeng. Aku sibuk dengan pekerjaan rumah tangga dan urusan di luar rumah. Anakku pun sibuk sekolah, membaca atau bermain. Meski awalnya tak sengaja, aku dan anakku menyepakati (tanpa tertulis) bahwa dongeng lebih sering sebagai pengantar tidur malam.
Ada saja yang kudongengkan untuknya. Mulai legenda masa lampau hingga cerita yang kureka-reka sendiri. Aku merasa mendongeng banyak manfaatnya untukku dan anakku. Mendongeng setali tiga uang dengan membaca. Anak-anak dapat dinasehati lewat dongeng tanpa merasa digurui. Jika awalnya aku menganggap kegiatan ini hanya kegiatan 'asal, belakangan pandanganku berubah. Apalagi setelah membaca buku Cara Pintar Mendongeng karya Andi Yudha Asfandiyar. Dongeng ternyata bukan pekerjaan ecek-ecek. Meski aku hanya mendongeng di depan anakku sendiri, meski dongengku hanya beberapa menit tapi aku merasa harus mempersiapkan diri sebelum mendongeng. Persiapan yang kulakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin amunisi cerita dengan banyak membaca dan 'membaca'. Membaca berbagai buku, termasuk buku anak-anak. Juga 'membaca' alam dan kejadian di sekitar dan seputar kehidupan.

Aku senang mendongeng untuk anakku sebab:
  • Mendongeng menyuruhku untuk berpikir. Dongeng apa yang akan kuceritakan malam ini? Bagaimana isinya? Siapa tokohnya? Kadang-kadang, anakku yang menentukan tokoh dalam dongeng yang akan kuceritakan. Ia mengarang nama dan usia si tokoh lalu aku membuat cerita dengan tokoh rekaannya itu.
  • Mendongeng melatih anak untuk menyimak perkataan seseorang. Hal ini yang kulihat dari anakku. Ia akan serius menyimak uraianku. Ia tidak pernah tertidur sebelum dongeng berakhir. Terkadang ia menyela, bertanya bahkan memrotes isi dongengku :D. Ia juga kerap melisankan kembali cerita yang disampaikan gurunya di sekolah. Kemarin-kemarin ia sempat bilang padaku bahwa ia akan merindukan wali kelasnya di kelas dua (kini ia akan memulai kelas tiga). Ketika kutanya alasannya, jawabannya singkat saja karena gurunya senang bercerita.
  • Mendongeng menantangku untuk kreatif. Aku adalah seorang yang minim imajinasi dan kreativitas. Dongeng yang kuceritakan jarang berasal dari imajinasiku. Biasanya aku menceritakan ulang kisah yang pernah kudengar atau kubaca. Dulu, aku pernah menceritakan kisah Malin Kundang pada anakku. Apa yang terjadi padanya usai mendengar kisah itu? Ia menangis tersedu-sedu. Aku kaget dengan reaksinya dan merasa sangat bersalah. Aku pikir kisah Malin Kundang bisa memberi banyak hikmah. Namun, malah membuat anakku sedih dan terlihat ketakutan. Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindar dari menceritakan kisah sedih pada anakku sebelum tidur malam. Mungkin itu bukan waktu yang tepat. Cerita berhikmah tidak harus disampaikan lewat kisah sedih. Maka, aku berusaha memancing kreatifitas dengan mengarang cerita lucu yang kupaparkan dengan mimik dan intonasi yang mendukung kelucuan cerita itu. Sayangnya aku tak pandai melawak, cerita lucuku lebih sering terasa garing daripada jenaka. Aku tak selalu berhasil membuat anakku tertawa. Tapi, dari sinar matanya aku tahu bahwa ia senang dengan cerita 'lucu' yang kusampaikan.
  • Dongeng mempererat hubungan kami, aku dan anak-anakku. Seperti yang telah kutulis di atas, aku biasa mendongeng sebelum tidur malam. Pada saat itu, keadaan sangat nyaman, santai dan hangat. Segala 'keributan dan pertengkaran' antar anakku di siang hari lenyap tertutup tirai malam. Aku mendongeng, sulungku menyimak, tahu-tahu si bungsu menyeletuk. Celetukannya membahanakan tawa kami. Refleks kucium dan kupeluk si bungsu. Sulungku pun terkekeh mendengar celetukan adiknya, ia lupa bahwa tadi siang berantem dengan adiknya. Kadang-kadang, di tengah cerita malah aku yang terlelap sekejap sehingga ucapanku berubah jadi igauan. Untunglah anakku tak kesal, kami malah tergelak berdua menyadari kata-kataku yang ngaco akibat kantuk. Benar-benar suasana yang menentramkan hati.
  • Dongeng membuatku semakin mencintai buku. Aku telah menyinggung tentang hal ini di atas bahwa membaca adalah amunisi mendongeng. Tanpa membaca aku tak akan bisa mendongeng. Terkadang anakku bertanya,
“Kok Ummi tahu cerita itu?”
“Karena Ummi baca buku.” tandasku.
Anakku terlihat berpikir mendengar jawabanku. Sepertinya ia sepakat dengan jawaban itu. Terbukti, ia tambah suka 'berkencan' dengan buku. Tak jarang, ia menceritakan hasil bacaannya kepadaku dengan semangat dan menggebu-gebu. Gantian aku yang terpukau dan terpaku melihat wawasannya tentang sesuatu. Terima kasih dongeng, terima kasih buku!


Never Ending Story Telling
Nampaknya bukan hanya anakku yang adiksi mendengar dongeng. Aku sebagai penyampai dongeng juga merasa kecanduan untuk mendongeng. Terlebih jika mengingat 31 manfaat dongeng untuk anak-anak seperti yang terdapat dalam buku Cara Pintar Mendongeng. Sungguh dongeng adalah sarana edukasi yang murah, meriah dan menyenangkan.
Aku mematri tekad dalam hati untuk tidak malas mendongengkan anakku. Untuk memperbaiki kualitas cara dan isi dongengku. Untuk melestarikan hobi baik ini ke anak bungsuku (sekarang aku masih fokus mendongeng untuk anak pertamaku), kepada para keponakanku dan ke cucu-cucuku kelak. Untuk tidak pernah berhenti mendongeng, never ending story telling, walau hanya sehari kecuali kami telah sama-sama lelah.

Sumber bacaan:
Cara Pintar Mendongeng karya Andi Yudha Asfandiyar (Dar! Mizan, 2007)

(Diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca")

note:
gambar dipinjam dari google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar