Rabu, 30 Desember 2009

[Cinta Dongeng, Cinta Baca] Menggurui Anak-anak dengan Dongeng

Oleh : Isti Zusrianah

Mendongeng merupakan aktifitas favorit saya sebagai pengajar TK di sebuah kampung kecil di Bantul, Yogyakarta. Ekspresi anak-anak ketika mendengarkan cerita saya, antusiasme mereka menebak-nebak akhir cerita dan semangat mereka berebutan menjawab pertanyaan “ujian” saya ketika cerita sudah selesai merupakan kepuasan tersendiri bagi saya.

Dulu, saya tidak menganggap penting kegiatan mendongeng, hanya sekedar bagian dari aktifitas mengajar karena tuntutan Satuan Kegiatan Harian yang harus saya laksanakan. Atau menjadi aktifitas andalan saya ketika anak-anak ribut dan tidak bisa dikendalikan. Apalagi saya tidak melihat hasil yang signifikan dari kegiatan mendongeng, seperti yang pernah saya tanyakan di sebuah seminar. Saya katakan waktu itu, anak-anak itu begitu antusias mendengarkan cerita saya, bisa menangkap pesan moral yang saya sampaikan. Tapi kenapa setelah saya selesai bercerita mereka kembali bersikap “liar” seolah yang saya sampaikan hilang begitu saja. Kang Puji nara sumber seminar itu mengatakan bahwa, jangan heran ketika kita bercerita anak-anak itu begitu antusias tapi setelah itu mereka juga masih “antusias” menakali temannya, hanya perlu diingat bahwa apa yang kita sampaikan itu tidak hilang tetapi akan selalu berada di “alam bawah sadar” mereka dan bahkan bisa mereka ingat sepanjang masa.

Ini mengingatkan saya akan deskripsi Teoritis Maria Montessori tentang tahap-tahap yang yang harus dilalui seorang anak untuk memunculkan kedisiplinan batin. Pada tahap ketidakteraturan gerakan-gerakan tubuh, anak-anak cenderung mengalami kekacauan gerakan yang memerlukan bantuan orang tua dan guru dengan cara-cara yang menarik agar gerakan-gerakan tubuh itu menjadi lebih harmonis. Tahapan yang menyertai “kekacauan” ini adalah kesulitan atau ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada benda-benda nyata. Pikirannya lebih suka berkelana dalam dunia fantasi. Orang beranggapan bahwa fantasi itu berciri kreatif, padahal menurut Montessori justru sebaliknya, fantasi itu tidak ada nilainya atau sekedar bayang-bayang. Pikiran yang melanglang buana yang terlepas dari realita juga terlepas dari kondisi yang normal dan sehat. Di dunia fantasi yang khayalan memang tumbuh subur, tidak ada kontrol kesalahan, tidak ada upaya untuk mengkoordinasikan pikiran.

Dalam kondisi “kacau” inilah menurut saya, orang tua dan guru bisa menanamkan nilai-nilai melaui media dongeng. Dunia fantasi anak yang tidak ada kontrol kesalahan itu bisa dimasuki konsep benar salah menurut nilai-nilai agama, sosial dan budaya di mana mereka tinggal. Bahwa, keinginan kita dibatasi oleh aturan yang jika itu dilanggar akan menyebabkan berkurang atau hilangnya penerimaan lingkungan terhadap keberadaan kita.

Maka kegiatan mendongeng dipastikan bisa merubah perilaku anak, tentu jika dilakukan dengan baik dan disesuaikan dengan tingkat penerimaan anak akan sebuah nilai yang akan disampaikan. Menurut Kak Andi Yudha, seorang trainer dongeng anak-anak dan penulis buku anak, segala sesuatu yang disimpan dalam bentuk cerita jauh lebih bermakna daripada segala sesuatu yang dijejalkan ke dalam otak hanya dalam bentuk fakta. Pada dasarnya bercerita adalah kegiatan berbagi rasa, membuka diri secara tulus, menyampaikan perasaan, mengungkapkan nilai-nilai dan menyampaikan pengalaman dengan sungguh-sungguh sehingga dapat diterima dan diserap oleh anak-anak.

Karenanya orang tua tidak perlu khawatir jika belum bisa menjadi pendongeng seperti Kak Bimo atau Kak WeeS, tidak perlu berkecil hati jika belum bisa mempraktekkan tehnik-tehnik mendongeng seperti yang ada di buku-buku panduan mendongeng. Kejadian sehari-hari yang anak-anak atau orang tua temui bisa dijadikan bahan cerita, tentu dengan bumbu-bumbu yang pas dan tidak lupa memasukkan nilai-nilai moral dalam cerita itu. Bisa juga menggunakan media buku cerita yang banyak dijual di Toko Buku, kalau perlu bisa mengajak anak ke toko buku dan memilih sendiri cerita yang disukainya. Meskipun belum bisa membaca, anak-anak bisa “membaca” ilustrasi buku yang biasanya menjadi daya tarik tersendiri bagi anak. Para ahli pendidikan sepakat bahwa, lingkungan yang selalu mendukung anak dengan merangsangsangnya melalui pendekatan visual dengan cara memperkenalkan buku secara fisik, kemudian membacakan atau menceritakannya akan membuat anak termotivasi untuk lebih jauh mendalami buku sehingga suatu saat buku menjadi sebuah kebutuhan.

Untuk para guru, tentu ada kiat khusus agar kegiatan mendongeng menjadi lebih menyenangkan. Yang selama ini saya praktekkan, selain menggunakan media buku cerita bergambar dan menggunakan ekspresi wajah dan perubahan intonasi suara, saya biasanya menjadikan beberapa anak sebagai contoh kakakter seperti dalam dongeng. Anak yang disebut namanya akan merasa senang dan ia terpancing untuk bercerita tentang keluarganya, hewan peliharaannya atau kejadian yang menimpanya. Memang akan sedikit terjadi “kekacauan” karena anak-anak yang lain juga akan berebut bercerita, tetapi komunikasi dua arah ini diperlukan untuk menghindari kebosanan anak-anak, yang penting masih berada dalam alur cerita yang sudah dibangun.

Selain itu, saya sering memberi “pertanyaan ujian” setelah cerita selesai dibacakan, dan anak-anak akan antusias menjawabnya. Ini juga bisa kita jadikan indikator kesuksesan kita dalam menyampaikan cerita, jika anak-anak bisa menjawab pertanyaan seputar cerita yang telah kita bacakan berarti mereka benar-benar mendengarkan apa yang kita sampaikan.
Tentu, cerita atau dongeng hanya salah satu media untuk menanamkan nilai, tapi sejauh ini dongeng dianggap yang paling efektif untuk “menggurui” anak-anak sehingga tanpa sadar anak-anak itu menerima nilai-nilai agama, sosial dan budaya yang Insya Allah akan selalu tertanam di hati mereka. Seperti halnya orang tua, anak-anak juga tidak suka digurui dengan kata-kata : tidak boleh, jangan, harus begini harus begitu, tetapi dengan dongeng mereka tidak akan merasa digurui. Jadi, menggurui anak-anak dengan dongeng, kenapa tidak kita biasakan dari sekarang?


Yogyakarta, 30 Desember 2009

Bahan Bacaan :
1. Maria Montessori, “The Absorbent Mind, Pikiran Yang Mudah Menyerap”, Pustaka Pelajar : 2008.
2. Kak Andi Yudha, “Cara Pintar Mendongeng”, DAR! Mizan : 2007

(diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel "Cinta Dongeng, Cinta Baca")

note: gambar dipinjam dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar