Senin, 13 Juli 2009

Media Diet for Kids

Ditulis oleh Heni Prasetyorini, SSi

Kebiasaan menonton televisi sebenarnya sudah mendarah daging di keluarga saya. Sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, sebagian waktu kami ditemani oleh benda berlayar satu ini. Dulu ibu saya bilang, daripada main kelayapan keluar nggak karuan, lebih baik diam di rumah nonton tv. Maklum juga, anak ibu ada delapan. Dengan jarak 2-4 tahun. Jika kebijakan main diluar dicanangkan, kebayang betapa repotnya beliau. Tanpa pembantu rumah tangga, televisi adalah asisten pengasuh yang sangat membantu. Minimal anaknya adem anteng dan aman.

Kebiasaan ini berlanjut sebenarnya. Namun ketika sudah SMA dan kuliah di luar kota. Tidak serumah lagi dengan ibu. Juga tidak adanya televisi. Saya mempunyai kemampuan baru untuk tidak membutuhkan televisi sebagai teman saya. Saya beralih pada radio dan walkman atau buku. Ngobrol atau main dengan teman [hang out] jarang saya lakukan. Karena ya itu tadi. Sudah dibiasakan ibu untuk duduk manis di rumah. Dan dengan tujuh saudara di rumah, sepertinya ketika kecil saya tidak butuh teman lebih banyak lagi.

Televisi bukan masalah besar buat kami. Karena walaupun terbiasa nonton televisi berjam-jam, prestasi kami bisa dibilang bagus. Minimal bisa sarjana semua. Dan dari universitas negeri. Bukan main-main saja kan ?

Masalah muncul ketika saya mempunyai anak. Dengan berjalannya waktu, informasi pun juga bertambah. Entah karena dari televisi atau kebetulan muncul sebagai hasil browsing di internet. Tentang efek buruk televise pada kecerdasan. Termasuk bahaya sinar biru pada retina anak terutama balita. Yang terdengar cukup mengerikan. Juga, karena tayangan televisi sekarang menuntut orang tua harus cermat dan tega.

Saya tidak habis pikir, tayangan untuk anak-anak, misalnya film si Entong. Tokoh yang baik cuma Entong seorang. Yang lain amburadul. Masak ibu si Entong saja, gemar kentut di depan orang. Tidak ada penyakit apapun yang bisa melegitimasi hal ini. Juga bukan kelucuan dan norma paling sederhana saja dilanggar. Tidak mungkin orang sedewasa ibunya Entong tidak tahu adat istiadat untuk tidak seenaknya buang angin di depan orang. Bisa saja jika itu dimasukkan dalam kategori tidak sengaja. Misalnya ketika melihat orang yang bisa bikin dia kentut, kenapa dia tidak lari terbirit-birit untuk sembunyi. Sehingga bisa mengajarkan nilai usaha untuk menjadi baik. Maka biarpun sedang ngetrend saat itu. Saya selalu mengomentari “Kok yang baik Cuma Entong saja. Yang lain suka mengumpat, mengolok-olok, dll”

Saya melakukan pendampingan aktif. Saya ikut menonton acara anak. Mendengar, melihat dan memikirkan apakah ini baik atau tidak. Saya segera berkomentar ketika ada adegan yang tidak pantas. Bahkan untuk iklan pun saya ikut komentari. Seperti, ‘wah bajunya malu ya.’ Ketika ada iklan film India misalnya. ‘Untuk orang dewasa’. Lama kelamaan anak saya terbiasa dengan larangan itu. Dan bisa spontan mengingatkan adiknya ketika ada tayangan tersebut. Memang kadang-kadang saja terlewat. Tetapi spontan juga mereka akan bercerita. Dan kami menertawakan pelanggaran itu dengan tetap menganggapnya perbuatan yang memalukan. Konsep sebagai lelaki harus menghormati perempuan sangat saya tegakkan. Bahkan ketika ada gambar perempuan berbikini, saya katakan, payudara itu diciptakan Tuhan untuk memberikan gizi dan makanan yang baik untuk bayi. Bukan mainan untuk dipegang atau dipamerkan. Tidak sopan ah. Sebisa mungkin saya gunakan bahasa mereka.

Tegas dan tega. Biarpun seru dan menarik. Kalau itu kejam, horror, porno. Langsung saja saya rebut remotenya dan saya ganti. Jika mereka masih protes, saya ancam begini. nonton yang baik atau tv dimatikan. Kepala kita, otak anak itu harus diisi yang lucu-lucu dan bagus. Jadi tidak berpikir yang aneh-aneh. Penjelasan saya terkadang ‘terlalu dewasa’ untuk mereka, tapi saya cuek saja. Siapa tahu mereka paham. Jangan meremehkan kemampuan anak kan?

Memberi teladan. Saya tidak suka sinetron. Saya suka talk show, berita dan sejenis discovery channel. Anak pun mengikuti. Ketika ada kartun yang bagus, saya dorong mereka nonton itu. Dan memujinya. Seperti Dora….dll

Beberapa waktu lalu saya biarkan anak-anak nonton tv tanpa batas. Sesekali saja saya tegur tetapi saya tenang-tenang saja. Toh ketika kecil saya juga begitu. Lalu saya dan anak pertama kebetulan ketemu website yang menunjukkan bahaya sinar biru. Beruntung saya juga terbantu film Magic School Bus ttg hal ini. Jadi ketika saya katakan , ternyata nonton tv bahaya ya mas, dia langsung menyahut, “ya kata bu Pretzel tidak sehat”. Saya lega. Tapi masih ada PR. Apa yang menjadi alternatif pilihan ketika anak tidak nonton tv. Karena ternyata ketika nonton tv itu waktu bergerak cepat. Tetapi ketika tidak, waktu berjalan lebih lambat. Menulis, membaca dll pun waktu masih panjang rasanya.

Komputer menjadi alternatif saya. Manjur, karena anak suka dengan game dan internet. Tetapi di layarnya apakah tidak ada bahaya seperti televisi ? saya berpikir ulang. Ketika anak diperbolehkan keluar. Eh di kampung sebelah ada rental PS. Layar TV juga. Sama juga bohong. PS bukan pilihan. Benar-benar larangan. Saya berusaha keras menunjukkan bahwa ps sampai pada keretakan tulang jempol dan epilepsy karena kecanduan ps pada anak saya. Dan cukup berpengaruh juga.

Buku. Kebetulan sedang murahnya buku di masa liburan. Saya borong komik. Mengingat cerita Yohanes Surya, yg pertamanya senang komik lalu senang baca buku Fisikanya orang Belanda. Minimal saya ingin anak senang membaca. Dan tepat pilihan saya. Komik tentang mobil Tamiya dibacanya berulang kali dengan senang dan semangat. Karena dari situ dia tahu, buku bisa bermanfaat. Sampai-sampai dia tahu cara merakit tamiya yang super cepat. Tujuan saya tercapai. Anak pun meminta dibelikan mobil Tamiya rakitan mencoba merakitnya sendiri. Meski akhirnya bingung dengan banyaknya onderdil, minimal ada kegiatan alternatif yang mulai digagas sendiri.

Tapi waktu masih banyak sisa. Saya berpikir untuk mengoptimalkan melatih kebiasaan anak untuk sholat lima waktu. Dan mengaji di masjid. Setidaknya melebarkan sayap pemikiran dan imajinasinya. Juga memberikan pembiasaan yang lain. Yang pasti menyerap waktu lebih banyak dan lebih bermanfaat.

Bagi yang mampu, membeli layanan televisi lain seperti ASTRO memberikan alternatif tayangan yang bermutu. Tetapi apa tidak semakin menjadikan anak menjadi lapar tv? Konsep memberikan kegiatan yang bersifat fisikally mobile adalah tepat. Terbaik. Karena semakin bergerak, anak akan semakin pintar karena otaknya termielinisasi dengan baik. Penyediaan sarana dan kesempatan untuk anak inilah yang perlu diusahakan. Memerlukan kerjasama pemerintah terutama penyediaan taman bermain.

Untuk ekonomi bawah, dimana orang tua sangat tersita untuk bekerja. Dan mentah-mentah menyerahkan anak pada sekolah dan alam semesta, maka pendekatan pada sekolah yang harus digalakkan. Juga kelompok sosial seperti arisan, karang taruna dan sebagainya. Adanya taman bacaan sampai gang terpencil juga impian kami. Agar anak tak hanya dibombardir dengan bahaya TV. Tetapi juga diberikan benda dan kegiatan lain yang bisa mereka nikmati dan tentu saja berguna bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar