Kamis, 23 Juli 2009

Terima Kasih, Jalu. Upaya mendidik melalui lirik

Ditulis oleh Fakhri Zakaria
Diikutsertakan dalam Kuis Media Diet for Kids

Beberapa hari belakangan ini saya bisa tidur siang dengan nyaman di kamar belakang. Setidaknya sepupu saya dan teman-temannya yang masih kelas 5 SD , yang biasa bermain di lorong sempit tepat kamar saya menempel di temboknya tak lagi teriak-teriak menyanyikan lagu-lagu seperti, ”Lelaki buaya darat busyet aku tertipu lagi…” atau “Wo..o..kamu ketauan pacaran lagi..”. Gantinya adalah, “Persahabatan bagai kepompong..”

Ya, Sind3ntosca. Nama yang membuat pendengaran saya terasa nyaman beberapa hari ini. Paling tidak sepupu saya juga anak-anak di sekitar rumah saya punya lagu yang memang pantas untuk mereka nyanyikan. Miris rasanya jika melihat apa yang terjadi belakangan ini. Anak-anak “dipaksa” untuk menikmati fase waktu dimana mereka memang belum waktunya untuk menjalani itu semua. Salah satu contohnya ya ketiadaan lagu yang pantas bagi perkembangan psikologis anak-anak. Saya lumayan terkejut ketika melihat sepupu saya tadi asyik di depan tivi menonton Idola Cilik, sebuah ajang pencarian bakat yang (katanya) ditujukan bagi anak-anak. Sekali lagi anak-anak, karena jika melihat rata-rata usia kontestannya sebagian besar ada di rentang umur 6 hingga 10 tahun. Nah, pangkal masalahnya adalah dari lagu-lagu yang dinyanyikan. Kok bisa-bisanya lagu-lagu sadis mereka nyanyikan. Salah satunya adalah lagu bertema pembunuhan milik D’Masiv yang liriknya seperti ini
“Lelah hati ini meyakinkanmu, cinta ini membunuhku…”.

Memang kalau dirunut, belakangan ini anak-anak tak punya lagi lagu-lagu yang pantas mereka nyanyikan. Dalam artian lagu-lagu yang liriknya memang pantas untuk mereka nyanyikan. Pasca medio 1990-an, era dimana pengamat musik Denny Sakrie menyebutnya sebagai periode yang melahirkan lusinan penyanyi cilik (http://dennysak.multiply.com/journal/item/155/Masa_Transisi_Penyanyi_Cilik_), praktis tak ada lagi penyanyi anak-anak yang benar-benar berkibar seprti dulu halnya Sherina, Tasya dan teman-temannya meramaikan industri musik tanah air. Ya mereka juga seperti halnya manusia biasa, tumbuh dan berkembang dari anak-anak menuju usia remaja. Tak selamanya mereka menjadi anak-anak manis. Kosongnya penyanyi cilik ini kemudian diisi oleh pop-pop easy listening bertema percintaan remaja (perselingkuhan, cinta ditolak, ditinggal minggat, dsb) ala Ungu, D’Masiv, ST 12 dan sejawatnya. Lirik lagu dan aransemen yang catchy membuat anak-anak jadi gampang menyanyikannya. Orang tua pun adem-adem saja, terlalu sibuk dengan urusan mencukupi kebutuhan pokok mungkin. Wajar. Kalau boleh saya bilang, pasar musik anak-anak adalah pasar yang sempit. Targetnya terbatas hanya pada anak-anak saja. Dan yang bisa menikmatinya pun ya hanya terbatas pada anak-anak saja.

Tentunya ini harus menjadi perhatian kita bersama, ada sesuatu yang tak beres disini. Karena industri musik adalah industri kreatif, maka kita juga harus menggunakan cara yang kreatif. Musik-musik bertema perselingkuhan dan semacamnya yang sudah mengotori mulut anak-anak musti dilawan dengan musik juga. Sempitnya pasar musik anak-anak bisa diakali dengan membuat musik anak-anak yang bisa dinikmati semua kalangan. Jadi para remaja gaul pun tak risih menyanyikannya. Lagu Kepompong milik Sind3ntosca tadi adalah salah satu jawabannya. Sebetulnya band ini adalah band remaja kalau melihat usia Jalu Hikmat Fitriadi, personelnya. Sekedar catatan Sind3ntosca semula adalah proyek Jalu yang berformat band, namun dalam perjalanannya personel band yang semula berjumlah orang tadi satu demi satu memutuskan hengkang. Hingga tinggal Jalu sendiri yang mengulik instrumen musik di kamarnya. Dengan berbekal aransemen dan lirik lagu yang sederhana tapi mengena, lagu yang ada dalam album kompilasi Nu Buzz 1.1 : Your Stuff produksi Nu Buzz Network ini cepat diingat, tak terkecuali oleh anak-anak. Liriknya pun mendidik, mengajarkan mereka akan indahnya menjalin persahabatan dan menerima perbedaan yang ada dalam sebuah hubungan.

Ya, Kepompong akhirnya bisa diterima oleh semua. Terbukti anak-anak kecil tadi cepat hafal liriknya sekaligus menjadikan lagu itu sebagai anthem mereka sehari-hari. Ini yang semestinya diperhatikan oleh para musisi. Industri musik adalah industri yang dinamis dan penuh persaingan. Istilahnya tak ada waktu untuk berleha-leha. Harus ada sesuatu yang baru, menyegarkan telinga. Okelah mungkin untuk jangka waktu sekarang Ungu menikmati kesuksesan dengan pop mendayu-dayu, tapi lama kelamaan pendengaran pun bosan dihajar musik yang itu-itu melulu. Pendek kata dari saya, terima kasih, Jalu.

Kamar belakang, 141208, ditemani Sind3ntosca dan Pure Saturday dengan dosis yang cukup….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar