Selasa, 23 Februari 2010

Tentang Televisi, yang Makin Tak Bisa Diandalkan

Oleh: Hayu Hamemayu

Saya sudah sering mengeluh tentang televisi. Tapi kali ini saya ingin mengeluh lagi.

Ini tentang ketidakmampuan televisi menjawab kebutuhan dasar saya, atas informasi, dan juga hiburan. Awalnya saya masih mengira bahwa televisi mampu menjadi penyedia hiburan yang cukup ampuh. Kotak ajaib yang bisa menghapus lelah dan gundah di kala luang. Tapi ternyata saya salah. Televisi tak cuma tak pandai dalam menyampaikan informasi, tapi juga gagal dalam menghibur.

Bagaimana tidak? Tayangan apa yang bisa menghibur saya saat ini ketika televisi didominasi oleh acara-cara tidak bermutu yang membosankan dan begitu-begitu saja. Berita yang monoton. Reality show yang sok menggurui. Sinetron yang aktingnya pas-pasan dan adegannya menangis saja. Hingga tayangan komedi yang terus-terusan merusak properti.

Mulanya ada beberapa tayangan yang bisa saya andalkan. Macam Ninja Warrior, America’s Got Talent, atau TV Champion. Tapi lagi-lagi saya harus kecewa karena jadwal yang tidak menentu dan diubah-ubah sesuka hati stasiun televisi. Tak lagi bisa saya melihat acara yang cukup menarik dan apik dalam kacamata hiburan itu. Lalu apa yang saya dapat dari media yang penetrasinya paling besar di Indonesia ini? Jangankan informasi, hiburan saja sudah tak bisa dinikmati.

Belum soal “kepandaian” televisi dalam “mengajari” masyarakat sehingga orang sekarang bangga sekali jika kesedihan dan ruang privatnya diekspose di media. Mereka berlomba-lomba menangis, meratap, dan media memberikan ruang (yang sangat lebar) untuk itu. Bahkan ketika ratapan dan tangisan itu hanya untuk sekedar eksistensi, bukan untuk mencari dukungan atau meraih simpati.

Orang kemudian berbondong-bondong meniru, mengikuti apa yang mereka lihat di televisi. Kasus yang paling sering terjadi saat ini adalah soal kenakalan anak kecil (biasanya SD) yang berujung ke pengadilan. Entah dengan motivasi apa, orang tua zaman sekarang gemar sekali mengadukan perkelahian anaknya hingga pengadilan. Meskipun itu hanya gara-gara ketidaksengajaan atau ejek-ejekan khas anak kecil. Misal memanggil dengan nama bapak atau mengejek nama orang tua. Suatu hal yang sangat umum terjadi di saat kita SD atau SMP.

Saya masih ingat benar, ketika saya sekolah dulu, saya dibilang anak dalang karena nama bapak saya Sugito, hampir sama dengan nama dalang terkenal di masa itu: Hadi Sugito. Bahkan saat SMA, David, salah seorang sahabat saya “memfitnah” saya dengan mengatakan bahwa bapak saya adalah calon bupati Gunungkidul. Gara-garanya, nama salah satu kandidat calonnya adalah Sugito, meskipun bukan Sugito bapak saya. Tapi saya tidak marah, saya hanya ketawa-ketawa. Bahkan bapak saya pun tak tersinggung. Meski dia tahu benar apa yang menjadi permainan anaknya. Begitu juga dengan teman saya yang lain, dengan orang tua dan panggilan mereka masing-masing.

Lain dengan orang tua sekarang yang gemar sekali mengajak anaknya ke meja hijau untuk permasalahan yang menurut saya kadang terlalu sepele, bisa diselesaikan tanpa pengadilan. Mereka tidak mempertimbangkan kondisi psikologis anak, yang belum akil baliq saja sudah dilabeli sebagai terdakwa. Saya dengar, ada anak yang sampai stres, pingsan dan muntah-muntah segala. Kasihan, dalam kasus ini, justru anak yang jadi korban. Sementara orang tua sibuk sok-sokan menuntut tanpa mempedulikan duduk perkara yang sebenarnya.

Menurut saya, hal ini salah satunya disebabkan oleh apa yang mereka tonton di televisi. Ketika televisi menayangkan kasus-kasus seperti itu, mereka jarang menggulirkan wacana bahwa sebenarnya hal-hal seperti ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja. Misal dengan meminjam komentar ahli, psikolog anak atau hakim sendiri yang sering menekankan bahwa kasus-kasus seperti ini tidak perlu dibawa ke pengadilan. Media terutama televisi justru gencar memberitakan, mengekspos muka si anak dan menggembar-gemborkan informasi tentang kenakalan anak tanpa mempertimbangkan beban anak yang masih sangat belia tersebut.

Rupa-rupanya, selain tak lagi bisa diandalkan, televisi juga masih memberi dampak negatif bagi masyarakat. Meski studi tentang audiens pasif telah lama dikritik dan ditinggalkan, bagi saya, barangkali kemungkinan adanya tipe masayarakat yang seperti itu masih perlu kita kaji lagi. Karena ternyata, media tak hanya punya dampak bagi anak-anak tapi juga untuk orang dewasa.


note:
gambar dipinjam dari sini

2 komentar:

  1. wah sayapun sangat prihatin dengan perkembangan media kita saat ini, dimanakah keperpihakan hati nurani mereka untuk membangun bangsa ini?

    salam Bala Tidar

    BalasHapus
  2. Ndoro seten, monggo kami aturi sharing juga tentang keprihatinannya disini. Sharing bisa dikirim ke email kami. Nuwun

    BalasHapus